Menjadi Manusia Pembelajar - Allah menciptakan manusia tiada lain hanya untuk
beribadah kepada-Nya. Penyataan ini diyakini bagi kita yang berkeyakinan bahwa
Allah adalah tuhan yang tiada duanya dan Muhammad utusan pembawa risalah-Nya. Konteks
ibadah pun dalam realitanya terbagi menjadi dua meminjam bahasa Ahmad Musthofa
Bisri (baca:gus mus) yaitu ibadah ritual dan ibadah sosial. Dalam bahasa Arab
yang biasa diungkapkan oleh kebanyakan orang disebut ibadah mahdhoh dan
ibadah ghoiru mahdoh. Dalam kaidah Indonesia dikenal ibadah langsung dan
tidak langsung. Bahasa akademik pun menyebutnya sebagai ibadah vertikal dan
horizontal.
Dalam konteks beribadah inilah manusia tentu selalu
membutuhkan yang namanya wawasan keilmuan. Untuk bisa beribadah dengan baik
manusia harus memiliki bekal yang cukup. Bekal itu didasari oleh ilmu
pengetahuan. Untuk mendapatkan keilmuan tersebut tentunya manusia akan terus
mencari dan mencari sampai kemudian menemukannya. Saat yang satu ditemukan
ternyata semakin menyadari ada banyak hal lain yang perlu dicari lagi. Setelah menemukan
lagi semakin tidak puas dengan apa yang ditemukannya itu. Sehingga proses ini
berlangsung sampai kemudian manusia berahir menjalani hidupnya di dunia.
Saya menyebutnya proses ini dengan manusia pembelajar. Tidak
semua manusia yang menyadarinya untuk terus mencari dan menggali ilmu. Padahal hakikat
keberadaan manusia tidak tahu apa-apa. Ketidak tahuan ini menjadi dorongan yang
seharusnya dimiliki oleh manusia untuk membaca, mengaji, dan memikirkan baik
yang bersifat teks keilmuan maupun konteks pengetahuan secara terus menerus.
Dalam kehidupan kita banyak kita jumpai, manusia berhenti
belajar ketika sudah berada pada posisi pengajar. Sampai akhirnya akhir-akhir
ini ada sebutan “jadilah guru pembelajar”. Karena realita yang banyak para guru, dosen,
kyai, da’i, dan penyampa-penyampai ilmu yang lain tidak mau membaca, mengolah,
dan terus memperbarui pikirannya. Sehingga dampaknya apa yang beliau sampaikan
dari tempat ke tempat, situasi ke situasi hanya berdiri dalam satu konteks. Dikatakan
juga bahwa guru (penyampai ilmu) yang baik adalah guru yang suka mengintropeksi
diri dan kemudian belajar dari kondisi yang ada dan mengembangkan wawasannya.
Ada kondisi yang lebih parah lagi bahwa manusia terkadang
sudah merasa cukup dengan keilmuan yang dimiliki dan ia tidak mau untuk belajar
lagi. Hal ini berefek besar karena bisa jadi ia mendoktrin dirinya sebagai
orang paling benar. Ditambah lagi menganggap orang lain yang berbeda menjadi
keliru dan salah. Dari kasus ini bisa kita sebut bahwa manusia dalam tipe ini
belum belajar tentang hakikat kebenaran.
Dengan terus belajar perilaku seperti ini nantinya hilang
dari sifat manusia. Karena sejatinya mencari ilmu Allah tidak cukup dalam waktu
umur yang disediakan pada manusianya. Ilmu pengetahun tidak akan pernah
kehabisan bahan. Teruslah belajar dan belajar. Agar tidak kesasar apalagi
sampai bersifat kasar. Wallahu a’lam bisshowab.
Posting Komentar