Oleh: Misbahuddin
Lembaga pendidikan bagi kebanyakan orang tua siswa
ibarat bengkel yang memperbaiki peserta didik, dari yang tidak tahu menjadi tahu,
dari yang kurang beradab menjadi lebih beradab, dari yang kurang manusiawi
menjadi lebih manusiawi. Maka dari itu banyak orang tua akan memilih lembaga
mana yang menurutnya pas untuk memperbaiki apa yang perlu diperbaiki dari
anaknya.
Jika lembaga pendidikan ibarat sebagai sebuah bengkel,
maka juga tidak menutup kemungkinan semua yang diharapkan sesuai dengan
keinginan. Tidak semua sepeda motor yang masuk bengkel tambah bagus. Bergantung
profesionalitas dari si pekerja di bengkel tersebut. Artinya belum tentu juga
siswa yang awalnya tidak mengerti apa-apa lalu seketika berubah menjadi cerdas.
Yang awalnya moralnya kurang bagus di masyarakat lalu seketika menjadi panutan
umat. Semua itu belum tentu akan terjadi.
Akan tetapi harapan itu harus terus disadari oleh
lembaga pendidikan sebagai sebuah tujuan. Dengan menganggap semua siswa ibarat
pasien rumah sakit yang perlu dilayani tanpa pandang bulu. Yang semua harus
mendapat perhatian tanpa pilih kasih. Untuk mewujudkan itu, maka ketersediaan
lembaga pendidikan harus benar-benar memadai. Baik dari segi pendidiknya,
fasilitas sarana dan prasarananya dan sistemnya yang membuat semua elemen
merasa nyaman.
Jika lembaga pendidikan menganggap siswa adalah
sebagai pasien rumah sakit yang harus mendapat perhatian satu persatu. Maka
pihak pasien juga ada yang berhasil sembuh ketika keluar rumah sakit, ada juga
yang tambah parah dan bahkan berujung kematian. Begitu pun di lembaga
pendidikan, kita sebagai pendidik sudah berusaha maksimal mendidik, mengajar,
bahkan memperhatikan, mengasihi dan mendoakan untuk keberhasilan siswa, tapi
hasilnya pun bisa jadi sesuai harapan atau tidak.
Memperbaiki manusia tentunya tidak semudah memperbaiki
mahluk mati, seperti mesin, bangunan dan barang-barang pakai lainnya. Maka
jangan heran jika kemudian, di MI Kalifa Nusantara dari sekian guru yang
berjuang mendidik siswa terdapat hal yang membuat orang tua merasa sakit hati,
misalnya terjadi perlakuan yang kasar, atau kejanggalan-kejanggalan yang lain.
Hal-hal itu seperti itu perlu dimaklumi dengan terbuka.
Mengurus siswa yang notabene berbeda sifat, karakter
dan bahkan tingkah lakunya tidak semudah sepeda motor di bengkel yang dibongkar
dan dibredel semaunya yang memperbaiki. Tidak semudah pasien rumah sakit yang
ketika disuntik bius ia akan rela diberi tindakan apa saja. Konsep pendidikan
tidak selamanya bisa diibaratkan pada hal yang praktis. Walaupun sekilas memang
sama dari segi tujuan dan harapannya.
Maka diharapkan para orang tua juga dapat bekerjasama
dengan baik. Dapat memahami lembaga pendidikan dan sistem yang berlaku.
Sesekali terdapat hal yang tidak diinginkan dari orang tua atas perlakuan guru
terhadap anaknya, maka proses penyelesaian pun harus dengan cara yang etis,
prosedural dan saling keterbukaan.
Kemampuan orang tua mendidik dua atau tiga anak di
rumah, belum tentu mampu mengurus sekian siswa di kelas, bahkan berkelas-kelas
banyaknya. Dan juga sifat siswa di rumah belum tentu mencerminkan sifat dan
sikap siswa di sekolah. Bisa lebih baik dan juga bisa lebih buruk. Maka keterbukaan
saling berpendapat, memberi masukan demi kebaikan dan saling pengertian untuk
kemajuan bersama.
Usaha guru yang sudah maksimal, terkadang tercoreng
dari hal kecil yang mungkin hal kecil tersebut yang mampu mengantarkan siswa
menjadi lebih baik. Yang mungkin hal kecil tersebut menjadi kenangan indah
siswa untuk sadar di masa depan nanti ketika sudah sukses. Yang mungkin hal
kecil tersebut terus ia ingat sebagai sebuah proses yang menjadi salah satu
sebab keberhasilannya kelak.
Karakter dari sekian banyak guru pun berbeda. Ada guru
yang diam atas segala sikap siswa, ia acuh tak acuh dengan siswanya, mau patuh
atau tidak, mau sopan atau tidak, ia diam saja. Di sisi lain ada juga guru yang
memang benar-benar ingin siswanya menjadi lebih baik, bahkan ia harus keraskan
suara sekerasnya, dan sampai hilang kesabarannya ia harus nyubit, dan berbagai
peringatan lain yang ia lakukan. Tentunya semua itu terkadang terjadi di luar
ekspektasi yang kita harapkan. Karena mengurus manusia itu, setiap waktu akan
terus bergerak.
Orang tua dan guru di lembaga pendidikan MI Kalifa
Nusantara harus menaruh kepercayaan sepenuhnya. Orang tua harus percaya
sepenuhnya pada guru di sekolah, dan sebaliknya guru mempercayakan sepenuhnya
kepada siswa ketika di rumah. Dan adanya kepercayaan itu ditopang dengan
kerjasama yang baik, melalui komunikasi terbuka, komunikasi belas kasih, dan
satu visi dan misi. Insyaallah Kalifa Nusantara ke depannya akan lebih baik dan
sesuai dengan apa yang kita harapkan bersama.
Wallahu a'lam bisshowab.
Wallahu a'lam bisshowab.
Denpasar, 09 Oktober 2018
Posting Komentar