sumber gambar: Duniakampus.net
Berawal dari apa yang dikatakan Dr. Alam dalam pemaparan
terkait tulis menulis karya ilmiah bahwa kemajuan perguruan tinggi dilihat dari
banyaknya akademisi yang aktif menulis. Kampus akan lebih hidup ketika para
dosen dan mahasiswanya kreatif untuk menulis berbagai karya di bidangnya maupun
dalam keahliannya. Ia menyampaikan bahwa menulis merupukan bentuk kemampuan
sejauh mana bacaannya. Semakin bagus apa yang ia tulis maka semakin bagus
bacaan yang ia baca.
Tulisan tak bisa dikalahkan oleh orang yang pandai
berkata dengan lisan atau berorasi. Di zaman dahulu baik sejarah Islam maupun
kerajaan semua terpatahkan oleh tulisan. Banyak kerajaan hancur oleh karena
mereka putus menulis dan dengan sifat iri kepada penulis maka ia pun membunuh
para penulis dan membakar karyanya. Kritik dan komentar rakyat yang dicetak
selalu dibakar oleh para penguasa.
Di era yang tergandrung dengan teknologi, mengetik begitu
mudah, menyimpan dan menerbitkan begitu bebas, tapi yang terjadi kemorosotan
minat untuk menulis semakin tampak. Walaupun penulis-penulis yang tersisa masih
ada mereka sudah memasuki masa sepuh yang tidak lama lagi akan menjadikan
tulisannya sebagai warisan. Maka apa yang terjadi ketika di kalangan perguruan
tinggi saja sudah malas menulis dan tidak mau melanjutkan warisan kepenulisan
terdahulu?
Banyak kejadian memalukan yang kita lihat. Budaya copy
paste yang sudah dianggap biasa tanpa melanggar hak cipta. Tradisi mencuri
rangkaian tulisan orang lain yang kemudian diakui sebagai miliknya. Hal yang
tidak sepele menjadi disepelekan. Semua inilah yang mengawali keruntuhan etika
sosial manusia. Bukankah setiap akademisi punya potensi yang bisa diasah untuk
jadi penulis. Mewariskan segudang ilmunya yang ia peroleh. Mengembangkan seribu
pengetahuannya yang ia dapatkan. Kalau bukan dengan tulisan maka dengan apa?
Ketika tulisan tak lagi dibudayakan maka ilmu pengetahuan
seakan berada di titik stagnan. Tak bergerak apalagi berkembang. Kecepatannya
kalah dengan kecepatan teknologi. Tak menyadari bahwa teknologi adalah alat,
bukan kebutuhan. Tak mampu menggunakan teknologi sebagai media untuk
mempermudah hidup, tapi malah menjadikannya dirinya terhantui dan terkurung.
Tak bisa bergerak dan melangkah lebih jauh. Oleh karena kesibukan waktunya
untuk satu barang berupa teknologi.
Walaupun ada perkataan yang sempat terdengar
kalau semua jadi penulis, terus
siapa yang mau membaca. Tampaknya itu perlu dibalik kalau semua tidak menulis
apa yang mau dibaca. Maka perguruan tinggi sebagai pengembang ilmu pengetahuan
dan teknologi seharusnya selalu bisa mengembangkan kepenulisan, baik dari hasil
riset maupun pengabdian. Termasuk kalangan guru besar, para dosen, dan
mahasiswa. wallahu a’lam bisshowab
Posting Komentar