Teringat ketika masih kanak-kanak dulu, ibu dan bapak selalu
mendidik untuk rajin pergi ke surau (langgar tempat mengaji Al-Quran atau
TPQ). Sekali saja tidak ke langgar langsung pukulan dan ancaman
datang bertubi-tubi. Ancaman yang paling saya ingat. Mun tak ngajiyeh jhek
tedung eroma reyah, tedung ka kandeng sapeh (Kalau tidak mau ngaji ke
langgar jangan tidur di sini, sana tidur ke kandang sapi). Begitu keras
pendidikan yang orang tua tanamkan. Karena orang tua yang tidak terlalu bisa
mengaji tidak mau terulang lagi pada anak-anak dan keturunannya. Saya pun
bersama teman-teman dididik oleh Almarhum kyai Ahmad Sya’rani guru sepuh
ngaji di kampung.
Proses mengaji saya bisa dibilang lebih cepat daripada
teman-teman yang seumuran. Bahkan ketika saya sudah di tingkat Al-Quran saya
lebih fasih dari teman-teman yang lebih tua 5-6 tahun di atas saya. Bagi saya
karena saya dididik untuk rajin dan ulet dari kedua orang tua. Di langgar yang
diasuh oleh Kyai Ahmad ini sistem mengajinya bermula dari mengeja alif fathah A
– alif kasroh I- alif dhommah U kemudian A-I-U yang ditulis menggunakan kapus
putih di papan hitam. Baru setelah ini fasih bisa langsung ikut tadarus.
Selain pembelajaran Al-Quran, di langgar biasanya disuruh
belajar bersama setelah Isya, lebih-lebih mau menjelang ujian di Sekolah yang
masuk pagi atau mau menjelang haflatul imtihan di Madrasah Diniyah yang
masuk sore. Beranika ragam santri yang dibaca, mulai dari kitab-kitab turos,
buku-buku di sekolah, bahkan ada yang menghafalkan hafalan yang ditugasi
ustadz di Madrasah Diniyah. Jadi mengaji sekaligus belajar banyak hal. Pada malam
jumat biasanya membaca tahlil dan mengaji yasin dan waqiah bersama. Sedangkan pada
Jumat pagi mengaji surah Al-Kahfi. Malam selasa mengevaluasi doa-doa harian,
bacaan-bacaan sholat dan praktik sholat janazah. Selasa pagi mengaji surah-surah
munjiyat yang terdiri dari 7 surah.
Sistem belajar ngaji di kampung tidak sama dengan ketika
saya mengajar TPQ di kota walaupun sama-sama di pulau Madura. Pembelajaran Al-Quran
di kampung lebih cepat dan lebih tepat dari pada di Kota. Cepat karena mengaji
diantara maghrib dan isya dan lebih tepat karena ditambah setelah subuh, jadi
santri di kampung bermalam di langgar dan baru pulang sekitar pukul 06.00 WITA
pagi. Tapi kalau di kota sewaktu saya menjadi siswa Madrasah Aliyah dan waktu
itu sudah mengajar TPQ, santri hanya mengaji setelah Maghrib dan setelah sholat
Isya para santri pulang ke rumah. Itu pun sudah menggunakan buku Iqra tanpa
papan tulis lagi.
Dua sistem pembelajaran dalam satu kabupaten ini sangat dirasakan
perbedaan hasil kefasihan dan kelancaran mengajinya, mulai dari makhorijul
hurufnya, tajwidnya, dan kelancaran menyambung antar satu ayat ke ayat
berikutnya. Lain lagi dengan sistem pembelajaran Al-Quran saat saya menjadi
mahasiswa di Kota Malang. Santri TPQ di kota Malang mengaji Al-Quran pada waktu
setelah Asar sampai menjelang Maghrib, jadi santri tidak merasakan sholat
berjamaah di tempat belajar mengaji. Ilmu lain seperti doa-doa wudhu, sholat,
doa harian terkadang jarang diprogramkan. Santri datang hanya sekedar belajar
mengaji setelah itu pulang lagi.
Dinamika pembelajaran Al-Quran yang bervariasi ini
mempunyai dampak besar pada ketepatan dan kefasihan mengaji. Manakah yang lebih
baik dan manakah yang seharusnya mendapatkan evaluasi agar lebih baik, bisa
kita lihat sendiri dari pemaparan di atas. Tapi yang terpenting selagi kita
meyakini bahwa agama yang kita anut adalah agama yang berpedoman pada kitab
Al-Quran, maka didiklah anak-anak, saudara-saudara, teman-teman, dan para
generasi untuk mengaji. Semoga kita semua diberikan kekuatan oleh Tuhan untuk
melanjutkan para guru sepuh yang telah mewariskan alif-ba’-ta’. Untuk kita
amalkan dan ajarkan pada anak-anak dan generasi kita. Wallahu a’lam
bisshowab.
Posting Komentar