Begitu
banyak para pejabat negara baik pegawai
negeri sipil maupun pemimpin pemerintahan yang seharusnya menjadi teladan bagi
rakyatnya, kini justru bersikap cengeng dan emosional. Ini menandakan bahwa
kita benar-benar hidup di memang serba aneh.
Bahasa pergaulan remaja menyebutnya mereka termasuk
orang-orang baper alias bawa perasaan. Sikap gegabah dan emosional dalam
menanggapi masukan dan kritikan masyarakat menjadi gugoyonan para masyarakat
luas.
Kita bisa melihat dua negara besar sebagai contohnya. Kalau
di Amerika Serikat presiden menggunakan sosial media berupa twiternya untuk
meluapkan sikap marahnya sehingga yang terjadi kehebohan yang kurang
diperlukan. Kalau di Indonesia, beberapa hari kemarin terjadi di berbagai
televisi yang serupa dengan di AS tapi lebih kepada bentuk ratapan dan keluhan.
Tentu seorang pemimpin negara tidak pantas bersikap
emosional berlebihan. Lebih-lebih emosi yang tidak masuk akal, hanya saja
karena ketakukan yang tidak penting dan tidak masuk akal. Hal ini tentu tidak
bisa dibiarkan. Hidup sosial di masyarakat akan menjadi ricuh, gaduh, dan tidak
enak. Maka tidak kaget lagi ketika masyarakat menganggapnya sebagai obyek humor
dan celaan kepada para pemimpin negara baper karena suasana yang ingin
dikembalikan seperti semula.
Mengapa harus bersikap baper?
Banyak hal yang melatarbelakangi para politisi bersikap
baper. Pertama, mereka sering bersikap narsisme, yakni perasaan bahwanya
dirinya sangat penting, dan merasa lebih penting dari orang-orang di
sekitarnya. Hal ini menjadi akar dari sikap baper itu sendiri. Ketika orang itu
merasa penting maka rasa humor yang dimilikinya akan hilang dengan sendirinya. Misalnya,
ketika orang lain mengejek, mengcela, mengolok-olok maka seakan-akan harga
dirinya ternoda bahkan kemudian menanggapi dengan kasar.
Kalau bahasa guyonnya, ketika orang itu merasa punya peran
penting sebenarnya yang terjadi bukan orang penting. Kalau bisa dibilang mereka
itu orang-orang lemah yang sangat membutuhkan pengakuan sosial sebagai
perwujudan dirinya.
Kedua, biasanya para politisi itu sendiri sering
menyembunyikan rahasia kelam. Misalnya berupa kejahatan-kejahatan di masa lalu,
korupsi, nepotisme, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Mereka akan terpancing
untuk memunculkan emosionalnya ketika ada pihak yang mencoba membredel rahasi
gelap mereka.
Akibat dari itu semua, maka mereka akan memberikan respon
balik berupa tanggapan keras dan berlebihan. Seperti halnya adanya tuntutan
yang dikaitkan dengan pasal-pasal primitif atau sekedar menghebohkan media
sosial. Tentu tidak bisa dipungkiri lagi masyarakat yang semakin pintar ini
akan merasa ada udang di balik batu. Maksudnya ada hal yang di sembunyikan dari
koaran mereka di media sosial.
Domba diburu srigala
Kita semua harus hati-hati dan peka ketika melihat
situasi politik yang didominasi para politisi baper. Intinya kita bisa
memilih dan memilah mereka, mana yang berkepentingan atas dirinya atau orang
lain.
Para politisi baper diibaratkan domba yang sedang
diburu serigala. Mereka menampakkan muka lemah, walaupun dibalik layar suka dan
gemar bertindak semena-mena. Banyak yang mereka korbankan identitas mereka hanya
demi sebuah kepentingan yang seperti angin lewat. Yakni mendapatkan pengakuan
dan simpati dari masyarakat luas.
Setelah semua yang diinginkan itu tercapai, maka barulah
taring mereka ditunjukkan, seperti halnya pengaruhnya lewat uang dan penipuan
pada politik yang didukung. Di tengah-tengah masukan dan kritikan, maka para
politisi baper berubah menjadi pengecut. Seakan-akan mereka menjadi
korban dari alam semesta. Wallahu a'lam Bisshowab
Posting Komentar