Gambar di edit dari dua sumber : Dennichandra.com dan kupasbahasa.blogspot.com
Saya kemarin membaca tulisan singkat
Mas'ud Ali di facebook-nya yang membuat saya ingin menulis pagi ini. Dalam
statusnya itu dia berkata bahwa "banyak orang sibuk menulis sampai lupa
membaca, dan sebaliknya banyak sibuk membaca sampai lupa menulis". Saya
pun terpikir dan sependapat dengan tulisan singkat penuh makna itu. Karena
memang sesuai realita yang ada, terutama pada diri saya.
Membaca dalam perspektif saya diidentikkan dengan mengeja tulisan dalam berbagai sumber bacaan, bisa di
kertas, layar elektronik, bahkan membaca kehidupan. Dari itu semua yang
kemudian kita dapat memperoleh khazanah baru. Misalkan berupa pengalaman,
pengetahun, dan ilmu. Kemudian semua itu akan dikemanakan lagi, tentu ada yang disampaikan ke orang lain atau disimpan sendiri. Tentu walaupun kedua-duanya diinginkan
pasti ada alat untuk menyampaikannya salah satunya tulisan.
Menulis pun ada dua cara, ada yang
lebih cekatan dengan menulis di kertas dengan pena dengan tujuan menambah daya ingat dan juga yang secara
spontan menulis dengan mengetik di keyboard atau di layar kaca. Dalam tulisan
singkat ini saya ingin berbagi tulisan yang fokus membahasa tulisan dari hasil sebuah
bacaan dalam sebuah buku.
Sejauh mana buku mempengaruhi
kehidupan, tentu setiap orang punya pengalaman sendiri-sendiri. Ada orang yang
sekali baca, langsung buku mempengaruhinya. (saya jadi ingat seorang teman).
Suatu saat saya pinjam buku how to membudidayakan adeniu, sampai bagaimana
memasarkannya. Buku itu mempengaruhi hidupnya. Kini, berpapasan di mana pun
dengannya, selalu pokok pembicaraannya tantang adenium!). Namun, adapula telah
melahap sekali banyak buku, perilakunya tetap sama dengan kemarin.
Apakah setiap penulis adalah pembaca.
Secara acak, sebutlah siapa penulis yang anda kenal. Apakah dia seorang pembaca
ulung? Pasti. Paling tidak, membaca topik yang berkaitan dengan minat dan
dunianya. Jika misalnya dia novelis, yang berkaitan pasti sedang membaca karya
riwayat para novelis dunia (dan juga Indonesia).
Tali temali antara membaca dan menulis
sangat erat. Sebagimana kata-kata bijak di atas, tidak seorang pun dapat
memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Penulis pun demikian. Seorang penulis
tidak dapat memberikan sesuatu kepada pembaca kalau dia sendiri hampa. Dengan
membaca, seorang penulis mengisi dirinya. Ia tidak hanya memetik manfat yang
ada dalam apa yang dibacanya. Melalui dan dengan membaca, seorang penulis
menemukan ide baru. Tidak menjadi masalah, apakah ide itu mendukung atau
bertentangan dengan apa yang dibacanya. Yang penting,dari membaca, seorang
mendapatkan ilham.
Masih banyak manfaat dari membaca.
Lewat membaca, seorang penulis mempelajari trik-trik menulis dari penulis lain.
Bagaimana misalnya, Putu Wijaya untuk membuat judul untuk cerpennya (judul
cerpen-cerpen Putu Wijaya biasanya Cuma satu kata). Bagaiman cara Ayu Utami
mendeskripsikan (Ayu Utami dikenal paling kuat dalam mendiskripsikan). Atau
seperti apa proses kreatif Dyotami Febriani membuat komik (Dyotami dikenal
sangat kreatif, ia menentang arus berani melawan dominasi komik Indonesia yang
dibanjiri komikus Jepang). Manusia makluk yang berkembang karena meniru.
Seorang bocah bisa mengucapkan kata
“mama” dan “papa” dari meniru bunyi yang ia dengar. Karena itu, pelajaran
pertama bagaimana menulis dan mengarang ialah meniru. Bukanlah ada pepatah,
“tidak ada sesuatu yang baru di muka bumi ini”? Maka, meniru apa yang pernah ada
sebelumnya adalah langkah yang paling mudah dalam menulis. Perlu dicamkan,
bukan berarti meniru begitu saja. Tanpa diolah kembali.
Menjiplak adalah perbuatan tercela. Tak
hanya itu, buntutnya bisa panjang, bisa-bisa penjiplak dituntut pidana atau pun
perdata kerena menjiplak karya orang lain. Karena itu, meskipun ide awal dari
pembaca, seorang penulis perlu tahu tata krama dunia penulisan. Jika tidak
mengutip karya orang lain ada mekanismenya. Ada aturannya jangan sampai kutipan
melebihi sekian persen dari gagasan orisinal. Jadi, kaitan membaca dan menulis
sangat erat. Kepala seorang penulis ibarat yang memiliki dua saluran yang satu
berfungsi untuk mengisi air, sedangkan yang yang lain untuk menyalurkannya ke
luar. Keduanya harus selalu keluar-masuk dan seimbang.
Sebab jika banyak yang keluar
(menulis), tanpa ada yang masuk (membaca), kendi (ember) itu menjadi kering.
Kalau sudah kering apa lagi yang bisa disalurkan ke luar? Kaitan membaca dan
menulis paling kongkret ialah Dari Buku ke Buku karya P. Swantoro (KPG, 2002).
Dalam buku setebal 435 halaman itu, penulis mengisahkan kembali isi buku-buku
kuno yang pernah dibacanya. Saya sendiri sangat menikmati buku ini, kerena
mendapatkan sesuatu yang yang berharga. Apalagi, Swantoro yang mahir bahasa
Belanda dan berlatar sejarah, dengan amat cerdik mengisahkan kembali buku-buku
tua, sumber primer, yang pernah dibacanya. (Saya sering merasa “cemburu” dengan
orang yang dapat menguasai bahasa Belanda. Mereka dapat membaca sumber primer
tentang sejarah dan peradaban Nusantara, sedangkan saya merupakan sumber dari
bahasa Inggris).
Dari apa yang dibacanya, Swantoro
menghadirkan angle, sesuatu yang terasa baru untuk kemudian. Betapa kita merasa
tertarik melihat lambang-lambang kotapraja Hindia Belanda tahun 1939-an, semacam
lambang kabupaten sekarang. Betapa kita juga tertarik mengetahui apa judul buku
yang mengupas tuntas PKI. Contoh lain, Indra Gunawan, yang berlatar pendidikan
wartawan, menulis buku Menelusuri Buku Kehidupan. Gamblang dikatakan, buku ini
lahir dari membaca. Topik yang diangkat biasa-biasa saja. Namun, disajikan
secara menarik. Penulis yang juga melebarkan minat dari manajemen sampai
penyebaran ini tahu betul, betapa antara bungkusan dan isi buku saling terkait.
Bahwa orang akan bosan membaca harga
yang berguna kalau tidak disajikan dengan menarik. Bahwa juga orang akan
meninggalkan bacaan yang hanya menghibur saja kalau ia tidak memperoleh manfaat
apapun dari bacaan itu. Swantoro dan Indra Gunawan sekadar contoh penulis yang
langsung memetik dari manfaat dari membaca. Dengan membaca, seorang penulis
mengisi diri. Ibarat baterai atau aki, dengan membaca, otak seorang penulis
dicas. Setelah penuh, baterai siap digunakan. Nasihat supaya bertekun ihwal apa
pun, jika tidak ditekuni, tidak akan membuahkan hasil.
Demikian pula menulis. Tidak ada orang
yang sekali terjun, langsung menjadi penulis andal. Didalam proses menjadi,
seorang penulis jatuh bangun. Ada yang kuat dalam ujian, tetapi tidak sedikit
yang gagal. Pada awal, banyak penulis patah arang. Tulisannya ditolak di
mana-mana. Sudah susah-susah, akhirnya kerjaan sia-sia. Banyak pikiran dan
waktu terkuras, tapi tak menghasilkan apa-apa. Bagaimana menghadapi kenyataan
seperti itu? Nasihat empu para penulis, Mark Twain barang kali membesarkan
hati. Katanya, “Write without pay until somebody offers pay!” Karena itu,
menulis. Menulis, sekali lagi, menulis. Menulislah terus, tanpa bayaran, hingga
suatu saat menawarkan bayaran bagi Anda karena menulis. Kata-kata Mark Twain
sungguh meneguhkan.
Menulis pertama-tama adalah ekspresi
dan hobi. Baru kemudian, hobi yang ditekuni mendatangkan hasil (imbalan) baik
berupa gaji atau honor. Jika tidak disederhanakan kalimat di atas menjadi:
latih dan pertajam terus keterampilan menulis, hingga suatu saat upaya anda
mendatangkan hasil. Banyak penulis patah arang karena tidak tekun dan malas
berlatih. Padahal, ada pepatah yang mengatakan “alah bisa karena biasa”
(sesuatu yang pada awalnya dirasakan sulit bila sudah biasa dikerjakan akan
menjadi mudah). “tajam pisau karena diasah” (orang bodoh yang menjadi pintar
bila belajar keras dan tekun). Pepatah yang sungguh dalam maknanya,
mengingatkan kepada kita bahwa apapun dapat dikerjakan dan pasti membuahkan
hasil, asalkan ditekuni dengan sungguh-sungguh. Demikian pula halnya dengan menulis.
Menulis pertama-tama bukanlah talenta,
tetapi suatu keterampilan yang harus digali dan ditingkatkan. Seorang penulis
dalam proses “menjadi”, tentu mengalami banyak hambatan. Mula-mula ia merasa
kosong, tidak ada bahan yang dapat dijadikan bahan tulisan. Jika hambatan
pertama ini berhasil diatasi datang halangan lain:bagaimana menuangkan bahan
itu ke dalam suatu tulisan?
Jika ia sudah menuangkan gagasan ke
dalam tulisan, sering tulisan itu ditolak karena berbagai alasan. Jangan
mengalami hambatan kedua atau ketiga, ada orang yang baru sampai pada halangan
pertama saja, sudah menyerah. Ia lalu sampai pada kesimpulan, tidak mempunyai
bakat menulis jika begini, orang tersebut—dalam istilah Stoltz—termasuk quitter
atau orang yang mudah menyerah, tidak memiliki cukup AQ di dalam mengatasi
hambatan. Padahal, semua penulis dan pengarang hebat mengalami jatuh bangun.
Mereka menjadi seperti itu karena ketekunan, didasari semangat tidak mudah
menyerah. Wallahu a'lam Bisshowab
Sumber: Majalah SELANGKAH
Sebagian di edit berdasarkan komentar dan tambahan dari penulis.
Bisa diakses juga lewat online bersama Lembaga Pendidikan
Papua
Posting Komentar