Saya tertarik
untuk mengulas lebih kepada konselingnya dari pada bimbingannya. Karena dalam
benak penulis, menjadi konselor lebih sulit dari pada menjadi pembimbing.
Konselor yang baik akan menggambarkan pembimbing yang baik pula.
Tulisan singkat
ini untuk mengajukan pendapat pribadi terkait problema guru BK saat penulis
terjun di salah satu sekolah menegah pertama (SMP) di kota Malang. Dan penulis
tertarik pada pernyataan yand disampaikan oleh Moh. Surya (1975/23), mengatakan bahwa
perbedaan bimbingan dan konseling yaitu:
“Bimbingan
adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada
individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan
untuk dapat memahami dirinya (self understanding),
kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance),
kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan
kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai
dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga,
sekolah dan masyarakat. Sedangkan konseling merupakan suatu hubungan
rofessional antara seorang konselor yang terlatih dengan klien. Hubungan ini
biasanya bersifat individual atau seorang-seorang, meskipun kadang-kadang
melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu klien memahami dan
memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup hidupnya, sehingga dapat membuat
pilihan yang bermakna bagi dirinya.”
Sangat jelas perbedaan definisi di atas. Pembaca tentu
akan berpikir lain dari pada penulis. Saya menganggap bahwa konselor itu lebih
rumit karena capaiannya ruag lingkup hidup klien (dalam dunia sekolah disebut
siswa). Tidak seperti capaian bimbingan yang sudah jelas dengan empat tujuan
pemahaman yang ingin dicapai. Jadi target empat pemahaman tersebut menjadi
indikator jelas tanpa ambiguitas dalam menjalani proses bimbingan tidak seperti
halnya konseling.
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional
dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi
guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur
(UU No. 20 Tahun 2003). Masing-masing
kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki ekspektasi kinerja yang unik.
Jadi tanpa ada perbedaan mendasar bahwa konselor itu juga
menjadi bagian dari seorang pendidik. Dan ketika sudah menjadi pendidik maka
perannya juga kearah bimbingan. Sehingga seorang konselor dapat mencakup
berbagai jabatan sekaligus.
Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan
pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif
altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan
kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari
pelayanan yang diberikan (Permendiknas No. 27 tahun 2008). Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 dan
Pemendiknas No. 27 tahun 2008 tersebut memberikan penjelasan secara singkat bahwa bimbingan konseling
adalah salah satu komponen yang integral dalam mendorong tercapainya tujuan pendidikan.
Permasalahan
indvidu siswa dipengaruhi oleh perbedaan budaya dari setiap daerah yang berbeda
dalam menyelenggaran tradisi di sekolah. Hal ini bisa terlihat dari perilaku
individu siswa. Budaya yang dikembangkan siswa biasanya berasal dari berbagai
faktor misalnya dari
pergaulan individu dalam lingkup
keluarga, tetangga, sekolah dan masyarakat.
Dalam menghadapi dimanika siswa yang beranika ragam itu
tentu sekolah membutuhkan yang namanya konselor. Antara konselor dan konseli
tentu memeliki budaya yang berbeda. Jika konselor tidak memahami akan perbedaan
budaya tentu akan timbul masalah baru dalam penanganan konseli.
Dengan demikian seorang konselor harus mampu mengenal dan
memahami dari perbedaan budaya yang dimiliki setiap konseli dalam hal ini
siswa. Sebagai seorang konselor profesional, harus mampu
mengalihkan perhatian mereka untuk melakukan konseling dengan memasukkan
isu-isu lintas budaya (Wolfgang, 2011).
Terlebih
lagi Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam (Goodwin & Giles, 2003).
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 butir 2 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan
nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.
Maka dari uraian di atas, keberagaman budaya
(multikultural) di Indonesia menjadi tuntutan yang sangat penting sebagaimana
amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang secara jelas mengakomodasikan
nilai-nilai pancasila, nilai-nilai agama, kebudayaan, hak asasi manusia dan
semangat multikultural.
Sue
& Sue (2008) menyatakan terdapat tiga kompetensi lintas budaya yang harus
dimiliki konselor, yaitu: a) konselor menyadari asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan
bias-bias yang dimiliki individu; b) memahami pandangan dunia dari keberagaman
budaya konseli; dan c) mengembangkan strategi dan teknik intervensi yang sesuai.
Fakta di lapangan kesadaran multi budaya dalam konseling
tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana pengalaman penulis saat Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di
salah satu SMP Negeri di kota Malang, konselor belum memiliki kesadaran
multibudaya.
Contoh kecil yang bisa saya lihat waktu itu, konselor
terkesan ada pemaksaan dalam menanamkan nilai-nilainya untuk ditanamkan kepada
konseli. Sehinga dampaknya pada terdistorsinya hubungan antara konselor dan
konseli. Padahal kunci utama keberhasilan pencapaian tujuan dalam konseling
terletak pada hubungan konseling yang kuat.
Posting Komentar