Pernahkah kita instropeksi terhadap syahadat kita? Pernahkah
kita berpikir syahadat yang kita baca benar-benar original tanpa plagiasi? Pernahkah
kita merenungkan sejauh mana dampak dari syahadat yang kita baca terhadap
keyakinan dan perilaku kita? Dan pernahkah-pernahkah yang lain masih menunggu
kita untuk terus dijawab dari waktu ke waktu.
Bacaan dua kalimat syahadat yang berbunyi asy-hadu
alla ilaa-ha illallah, wa asyhadu anna muhammadan Ar-rosulillah. Tidak hanya
sekedar dari lisan tanpa makna apapun. Hal yang sepele saja, apakah kita
benar-benar khusuk membaca dua kalimat syahadat ini. Entah itu di dalam sholat
ataupun di luar sholat. Karena makna yang begitu luas dari dua kalimat syahadat
ini hanya terdefinisikan oleh pembaca yang benar-benar menghayati dengan penuh
ijtihad.
Saya masih sangat ragu-ragu ketika melihat perilaku
seharian yang masih jauh dari cermin dua kalimat yang dijadikan prasyarat
pertama untuk menjadi seorang muslim dan mukmin. Dan sepertinya perlu untuk
terus bersyahadat ulang. Rakusnya pada maksiat, tamaknya pada harta dan
kekayaan, kufurnya dari segala nikmat membuat hati ini semakin tidak tenang. Adakah
yang salah dengan hati ini ketika mengucapkan dua kalimat syahadat ini. Atau sama
sekali selama ini saya tidak pernah masuk ke hati persaksian atas keberadaan
Allah sebagai satu-satunya Tuhan saya dan Muhammad sebagai pembawa wahyunya.
Sungguh selama ini hati saya belum tersentuh sepenuhnya
dengan dua kalimat syahadat yang menjadi pondasi dari segala amal. Karena kesadaran
dan keyakinan dalam diri masih jauh dari perilaku yang tercermin dalam hidup
vertikal kepada Allah dan hidup vertikal kepada sesama umat Muhammad. Saya pun
tidak tahu caranya, harus bagaimana membaca ulang syahadat yang selama ini
sudah saya baca berkali-kali dalam setiap sholat. Dalam setiap adzan
berkumandang. Dalam setiap iqomat sebelum sholat. Bahkan dalam dzikir-dzikir
berjamaah.
Hati ini masing kosong dan gelap. Kering dari rohani
spritual yang sebanarnya. Ikut sana dan ikut sini seperti orang buta dan tuli. Sama
sekali tak mengerti dengan diri ini apalagi akan mengerti dengan sang ilahi. Iri,
dengki, hasud dan segala macam perbuatan tercela selalu manjadi-jadi setiap
waktu. Ribuan kotoran dalam hati sama sekali tak menggambarkan seorang saya
yang sudah bersyahadat anas nama Allah dan Rosulullah Muhammad.
Benar-benar diri ini harus membaca ulang syahadat secara
berulang-ulang. Yang tidak sekedar dibaca seperti membaca teks puisi atau
sastra. Tidak sekedar diteriakkan seperti adzan dan iqomah. Tidak hanya menjadi
ritual istghosah dengan nada-nada. Tapi harus kita baca dari hati dan
keheningan dengan penuh persaksian yang sebenar-benarnya. “aku bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah”.
Kata kerja “bersaksi” sangat jauh artinya dari pada
melihat atau memandang. Bersaksi lebih kepada menghadirkan segala jiwanya,
ruhnya, dan bathinnya atas segala apa yang disaksikan. Bersaksi juga lebih
kepada merasakan akan apa yang disaksikan. Dan selama ini saya belum sepenuhnya
merasakan akan kebesaran, kekuasaan, dan agungnya Allah serta kehadiran
Rosululllah Muhammad dalam kehidupan yang akan berahir tidak lama lagi. Saya pun
harus bersyahadat dengan cara apa, masih tidak tahu dan penuh ambigu. Semoga Allah
memberikan petunjuk kepada kita semua. Wallahu a’lam bisshowab.
Posting Komentar