Saya
menyebut dua kampus dalam judul tulisan ini karena saya kebetulan berada di
lingkungan keduanya. Dalam tulisan ini pun, mungkin juga tidak jauh berbeda
bagi kampus yang lain di seluruh Indonesia.
Tulisan
lepas ini berdasarkan pengalaman sekilas antara UNISMA dan juga UIN MALIKI tiada berbeda. Yang saya maksud disini adalah
pola pikir, bukan pakaian maupun sepatu. Di dua kampus ini saat ini sudah mati
ekologi intelektualnyanya. Banyak kalangan mahasiswa yang sudah seakan tak
peduli dengan hakikat kemahasiswaanya. Sudah tidak peduli kalau sedang berada
di lingkungan akademik Tinggi. Bahkan lingkungan akademik Islamnya.
Saya
pun mencoba beropini lewat tulisan ini, agar tidak bergerumul di otak secara
terus menerus. Mungkin anda akan banyak komentar dari tulisan singkat ini. Tapi
begitulah hidup kata teman saya Roesdy SH dalam blognya roesdypost, agar lebih
baik harus selalu dikomentari. Termasuk tulisan ini yang mengkomentari para
teman-teman saya yang sedang menjabat mahasiswa. Dengan tujuan saya juga bisa
lebih baik.
Sudah
sewajarnya di dalam kampus banyak orang yang membaca buku, berdiskusi, dan
proses kreatif dalam berkesenian. Semua itu seharusnya menjadi hal yang biasa
dan lumrah
selayaknya disebut dengan ‘dunia kampus’. Tapi, akan menjadi aneh ketika hal
itu semua malah tidak ada dalam dunia kampus. Seperti yang saya lihat di
kedua kampus ini, Kampus yang sepi dari hiruk pikuk diskusi, membaca buku,
pentas seni, bahkan demo sekalipun menjadi salah satu tanda matinya ekologi
intelektual kampus.
Apa
yang saya sebut dengan matinya ekologi intrlektual dua kampus ini, bedasarkan
pada perilaku mahasiswa yang belagak sibuk dengan segala aktivitasnya yang di
sini tidak menunjang untuk menambah kemampuan intelektualnya. Beberapa bentuk
yang disebutkan di atas tadi seperti membaca buku, diskusi, dan lain-lain,
disadari atau tidak adalah bentuk laku kebudayaan, yang telah terbukti dapat
menumbuhkan wacana akan pengetahuan. Maka wajar ketika kampus di hari ini tidak
lagi banyak melakukan hal-hal tersebut, mejadi salah satu tanda kemunduran
dalam sisi intelektual dunia kampus.
Kemunduran
sisi intelektual kampus hari ini bisa kita lihat melalui dua sisi, pertama
semakin jarangnya lulusan kampus yang memiliki spesisifikasi keilmuan yang
secara matang dapat dipertangungjawabkan dalam lanjutan proses akademik,
sehingga ia menjadi pakar dalam bidang keilmuan. Kemudian yang kedua adalah
semakin jarangnya intelektual organik yang setelah memalui proses dunia kampus
dapat menciptakan suatu perubahan di dalam masyrakat.
Padahal
kalau kita gali lebih dalam, fasilitas kampus lebih maju. Gedung-gedung
menjulang dengan berbagai fasilitas super lengkap. Mulai dari jaringan
internet, ruang kampus yang nyaman dilengkapi AC, fasilitas video visual juga
lengkap. Yang tidak kalah penting lagi perpustakaannya juga lengkap
dengan ribuan judul buku. (walaupun UIN Maliki yang katanya WCU, kelasnya
masih pengap dan panas, hehe, apalagi UNISMA). Pertanyan satu, kenapa matinya
intelektual kampus bisa terjadi?
Hal
ini bisa kita lihat dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Pertama,
pembangunan kampus yang hanya bertumpu pada sektor fisik saja, kita bisa lihat
UNISMA dalam beberapa tahun terahir ini, dan tentunya juga UIN MALIKI. Hal ini
menjadi salah instrumen yang mengakibatkan matinya gairah intelektual di dalam
kampus. Padahal untuk menciptakan dinamika intelektual kampus berjalan,
semestinya kondisi psikologis orang yang ada di dunia kampus menjadi penting
untuk diperhatikan.
Yang
dimaksud dengan pembangunan psikologi dalam dunia kampus adalah bagaimana
mahasiswa yang menjadi objek, bisa terpantik secara kesadaran bahwa kampus
adalah suatu wadah untuk berdialektika secara kreatif untuk menunjang wawasan
intelektualnya. Hal inilah yang selama ini tidak diperhatikan oleh pihak
kampus.
Memang
beban berat untuk membangun kesadaran massa akan pentingnya dimensi
pembelajaran tidak bisa kita limpahkan semuanya kepada pihak kampus. Pasalnya,
kondisi yang sudah sedemikian rupa membelenggu kesadaran massa sehingga massa
seolah tercrabut dari idealita kampus yang semestinya. Maka dari itu hal ini
Bukan semata-mata dikarenakan kondisi internal di dalam kampus saja yang
meliputi kurikulum dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak kampus. Tapi melihat
kondisi yang seperti ini, banyak faktor eksternal, seperti halnya budaya
kosmopolitan yang dipengaruhi pasar yang mengakibatkan kondisi semakin runyam.
Namun,
yang perlu dingat juga bahwa sebagai pemangku kebijakan kampus baik UNISMA
maupun UIN MALIKI, seharusnya juga memiliki tangung jawab besar dalam hal ini,
dengan upaya semaksimal mungkin untuk membangun budaya berintelektual di dalam
kampus. Tetapi kecenderungan sekarang, kampus mengebu-gebu untuk menjadikan
kampus setara World
Class University, terutama di UIN MALIKI nih.. walaupun UNISMA juga
ikut-ikutan. Dua kampus ini hanya memberikan perhatikan pada standarisasi untuk
menjadi kampus mendunia. Implementasinya tidak memepertimbangkan kondisi yang
terjadi di tataran akar rumput, yaitu mahasiswa yang sekarang sedang mengalami
penurunan secara kesadaran akan pentingnya wacana intelektual.
Selain
itu kuatnya hegemoni kepentingan yang masuk di dalam dunia kampus, sehingga
disadari ataupun tidak telah merasuk ketulang sum-sum orang yang ada
didalamnya. Yang secara tidak lasngsung menyempitkan makna pendidikan ataupun
intelektual. Hanya beroriaentasi pada (kerja), yang menjanjikan imaji-imaji
kenikmatan. Yang tak ayal adalah belenggu untuk dirinya. Padahal, marwah
pembebasan yang tertanam kuat dalam pendidikan sebenarnya menjadi spirit untuk
mencapai perubahan.
Kemandekan
ini bisa menjadi bencana jika tidak disikapi bersama melalui mekanisme yang
dikonsep secara matang. Diperlukan suatu konsep yang jelas dan terukur untuk
membangkitkan kampus menjadi wadah untuk berdialektika secara keilmuan
lagi. Memang, hal ini tidaklah mudah, tapi bukan lantas diam dan menunggu
bencana ketidak produktian wacana dalam kampus akan muncul.
Hal
yang bisa dilakukan oleh birokrasi adalah mengkaji ulang kebijakan kampus yang
membatasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan.
Selain itu menciptakan sub hegemoni baru dalam kampus dengan mengkampanyekan
kegiatan kegiatan keilmuan yang lebih inklusif, yang tidak hanya dilakukan
diruang-ruang kelas maupun di ruang seminar. Sementara itu menumbuhkan budaya
komunikasi secara aktif antara dosen dan mahasiswa, yang tidak hanya melalui
ruang kelas juga perlu dilakukan. Agar gairah intelektual itu tidak tersekat
aturan-aturan formal yang selama ini membatasi tumbuhnya budaya berintelektual
dalam kampus.
Dari
pada itu yang tidak kalah penting untuk dilakukan oleh semua elemen kampus
termasuk mahasiswa adalah menciptakan ruang-ruang baru secara kreatif untuk
membendung budaya formalistik yang diciptakan kampus saat ini. Dengan
memasifkan kegiatan-kegiatan kajian keilmuan yang dilakukan di lingkungan
kampus secara berkala dan konsisten. Hal ini bisa menjadi salah satu tawaran
yang bisa dilakukan untuk membentuk budaya ekologi intelektual yang ada dalam
kampus.
Agar
kampus tidak dipenuhi orang yang berjejal mencari jaringan wi–fi yang saat ini
sudah kelewat batas. Karena ruang yang disediakan di luar kelas seperti
taman-taman dan kantin juga sudah beralih fungsi menjadi ruang internet dan
tidak digunakan secara bijak. Walaupun mungkin UIN MALIKI dan UNISMA, masih
tertinggal dengan hal ini. Buktinya belum ada tamannya, kantinnya pun masih
satu-dua. Yaah…
Yang
lebih parah lagi kondisi ini juga telah masuk ke dalam ruang-ruang kelas,
sehingga ketika dosen menerangkan, mahasiswanya malah sibuk membaca status dan
itu menjengkelkan bagi orang-orang yang mengharapkan ruang kelas menjadi ruang
yang kondusif untuk berdialektika secara keilmuan. Sehingga apa yang terjadi menjadi
virus yang menjangkiti disemua lini yang ada di dalam kampus.
Begitulah
kiranya kondisi yang kita hadapi saat ini. Pembacaan yang sama sekali tidak
dalam ini mungkin bentuk akumulasi kegelisahan penulis saat melihat kondisi
yang terjadi saat ini. Maka perlu kiranya untuk terus mencari formulasi yang
kontekstual dalam membaca kondisi matinya budaya ekologi intelektual saat ini.
Salam
buat kita semua, semoga mahasiswa UIN MALIKI yang lagi KRS-an dan semua
mahasiswa UNISMA yang mau liburan bisa lebih berilmu, berahlak, dan beramal
sholeh. Amin. Wallahu a’lam bisshowab.
+ komentar + 3 komentar
Permasalahnnya sama nih kak..
Saya dari uin malang juga. Kira2 solusi untuk mengatasinya gimana ya.. Ditulis juga dong.
Secara sekilas tulisan diatas mencakup permasalahan dan akarnya. Lebih baik lagi jika akarnya dikasih data yg valid.
Tapi inikan tulisan bebas ya.. Cuma saran aja sih tadi, supaya prmbaca tidak ada yg tersinggung dgn alasan yg diungkapkan. Kan kalo ada data valid, pembaca juga jadi lebih tau.
Kalo ditelaah si kita bisa menemukan solusinya. Tapi alangkah lebih baik jika penulis juga menuangkannya disana.
Salam literasi
Itu sudah ada diatas. Cobak baca lagi atau saya copykan.
"
Hal yang bisa dilakukan oleh birokrasi adalah mengkaji ulang kebijakan kampus yang membatasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan. Selain itu menciptakan sub hegemoni baru dalam kampus dengan mengkampanyekan kegiatan kegiatan keilmuan yang lebih inklusif, yang tidak hanya dilakukan diruang-ruang kelas maupun di ruang seminar. Sementara itu menumbuhkan budaya komunikasi secara aktif antara dosen dan mahasiswa, yang tidak hanya melalui ruang kelas juga perlu dilakukan. Agar gairah intelektual itu tidak tersekat aturan-aturan formal yang selama ini membatasi tumbuhnya budaya berintelektual dalam kampus.
Dari pada itu yang tidak kalah penting untuk dilakukan oleh semua elemen kampus termasuk mahasiswa adalah menciptakan ruang-ruang baru secara kreatif untuk membendung budaya formalistik yang diciptakan kampus saat ini. Dengan memasifkan kegiatan-kegiatan kajian keilmuan yang dilakukan di lingkungan kampus secara berkala dan konsisten. Hal ini bisa menjadi salah satu tawaran yang bisa dilakukan untuk membentuk budaya ekologi intelektual yang ada dalam kampus."
Sebelumnya saya ucapkan terimakasih.
Posting Komentar