silvieandmaryl.com
Saya selalu termenung sendiri, memikirkan keberadaan diri ini,lingkungan, alam sekitar, bahkan dunia dan isinya. Bagaimana tidak, saya dilahirkan dalam keadaan telanjang tanpa membawa apapun, entah ilmu, pengetahuan, pengalaman, materi, dll. Lalu kemudian saya tumbuh dan terus tumbuh mengenal sedikit demi sedikit dunia ini.
Sejak awal keberadaannya,
manusia ingin memahami dunianya. Ia juga ingin memahami dirinya sendiri.
Dorongan ini bersifat alamiah. Ia akan selalu ada, selama manusia masih hidup.
Memahami dunia berarti
mengamati dunia apa adanya. Mengamati dunia apa adanya berarti mengamati dunia
di dalam perubahannya. Segala sesuatu terus berubah, tanpa henti. Kita tak akan
pernah menginjakkan kaki di sungai yang sama, begitu kata Herakleitos, filsuf
Yunani Kuno.
Apa yang kita lihat
sekarang bukanlah yang kita lihat sebelumnya. Setiap tujuh tahun, tubuh manusia
berganti sepenuhnya. Ia menjadi manusia yang sama sekali baru. Yang sama dari
manusia itu dengan manusia sebelumnya hanyalah namanya.
Apa yang kita anggap tetap
dan akan memuaskan kita pada akhirnya akan berubah, dan lenyap dari muka bumi
ini. Apa yang kita perolah akan berubah, dan akan lenyap. Apa yang kita pegang
erat-erat juga akan berubah. Apa yang kita perjuangkan dengan seluruh hidup
kita akan hilang ditelan angin.
Memahami kenyataan di
dalam perubahannya berarti juga memahami alam di dalam keterhubungannya. Segala
hal saling terhubung satu sama lain. Hukum-hukum fisika yang bekerja, ketika
kita mengangkat tangan kita, sama dengan hukum-hukum fisika yang menggerakan
meteor di ruang angkasa nan jauh disana. Perbedaan hanya merupakan ilusi yang
diciptakan oleh pikiran kita yang terbatas.
Kotoran bagi satu mahluk
adalah makanan bagi mahluk lain. Apa yang dianggap menjijikan oleh manusia
justru menjadi rumah bagi peradaban serangga atau tumbuhan tertentu. Lingkaran
saling keterhubungan adalah bentuk dari alam semesta kita. Tidak ada yang suci
dan tidak suci, karena semuanya saling membutuhkan satu sama lain.
Kenyataan juga tidak
memiliki konsep. Kenyataan adalah apa adanya, just as it is. Ia tidak
memiliki nama. Kata “kenyataan” juga sebenarnya salah kaprah. Ia membuat aliran
perubahan seolah-oleh menjadi tetap, dan bisa disebut sebagai “kenyataan”.
Konsep membuat sesuatu
tampak tetap. Padahal, sejatinya, segala hal terus berubah, tiap detik, tanpa
henti. Konsep bukanlah kenyataan. Bahkan seringkali, ia menghalangi kita untuk
memahami kenyataan.
Salah satu konsep yang
paling banyak digunakan manusia adalah konsep “awal dan akhir”. Di dalam alam,
tidak ada awal dan tidak ada akhir. Segalanya berubah, bergerak. Apa yang kita
sebut sebagai “awal” dan “akhir” juga merupakan sebuah perubahan yang tak
istimewa.
Jika tak ada awal dan
akhir, maka tidak ada hidup dan mati. Hidup dan mati hanyalah sebentuk
perubahan. Pikiran kitalah yang mencapnya sebagai sesuatu yang penting. Alam
semesta itu sejatinya tidak pernah hidup dan tidak pernah mati. Ia juga tidak
memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Ia hanya ada, dan terus ada.
“Awal-akhir”,
“hidup-mati”, itu adalah konsep-konsep di dalam pikiran kita. Kita lalu melekat
pada konsep-konsep itu. Kebahagiaan kita menjadi tergantung padanya. Jika
sesuatu hidup atau dimulai, kita senang. Sebaliknya, jika sesuatu berakhir atau
mati, kita lalu sedih. Ini adalah ilusi dari pikiran kita.
Ketika orang mati,
tubuhnya menjadi bangkai di tanah. Rumput dan tanaman tumbuh subur di tanah
yang berisi bangkai. Sapi lalu memakan rumput itu, lalu manusia memotong mati
untuk lauk pauk di meja makannya. Inilah lingkaran kehidupan yang tak mengenal
awal dan akhir, mati dan hidup.
Dalam arti ini, dapat juga
dikatakan, bahwa seluruh alam ini adalah satu kesatuan. Tidak ada perbedaan.
Semua terhubung, dan tidak hanya itu, semua adalah satu. Butiran pasir di
pantai dan bintang raksasa yang berukuran ratusan kali lebih besar dari matahari
adalah satu dan sama.
Argumen ini didukung oleh
penemuan terbaru di dalam fisika. Komponen terkecil alam semesta adalah satu
dan sama. Antara semut dan gajah tidak ada perbedaan, ketika kita melihat
komponen terkecilnya. Perbedaan hanya tampak di mata dan pikiran kita.
Kesatuan ini ditunjang
oleh harmoni di dalam alam semesta. Harmoni berarti segala sesuatu memiliki
tatanan tertentu. Ada hukum-hukum alam yang mengatur segalanya. Tidak pernah
ada chaos dan kekacauan, sebagaimana dibayangkan oleh manusia.
Sayangnya, banyak orang
tak paham akan hal ini. Mereka menganggap, apa yang mereka punya akan tetap dan
abadi. Mereka lalu melekat pada harta, ambisi dan nama besar. Mereka juga
mengira, diri mereka abadi dan tetap. Tak heran, mereka hidup dalam penderitaan.
Mereka juga hidup dalam
delusi. Mereka mengira, kematian adalah akhir. Lalu, mereka marah, takut serta
sedih, ketika orang yang mereka sayangi meninggal. Mereka juga berusaha untuk
bisa hidup sehat dan awet muda, serta berusaha untuk menghindari kematian.
Usaha yang sejatinya sia-sia.
Banyak orang juga
berambisi untuk memulai sesuatu. Lalu, mereka melekat pada ambisi dan pada
sesuatu itu. Ambisi membutakan mata mereka. Padahal, itu pun juga sejatinya
akan berakhir.
Orang yang hidup dalam
delusi berarti hidup dalam penderitaan. Mereka melekat dan memegang erat
hal-hal yang sejatinya terus berubah. Mereka mengira, bahwa pikiran dan
konsep-konsep mereka adalah kenyataan. Mereka juga takut pada kematian dan usia
tua.
Orang yang menderita akan
cenderung membuat orang lain menderita. Penderitaan kolektif akan mendorong
konflik antar kelompok. Perang antar negara juga bisa terjadi, karena
penderitaan batin yang amat besar dari kedua belah pihak yang berperang.
Perdamaian dunia tidak akan pernah tercapai, jika orang masih terjebak di dalam
delusinya masing-masing.
Bagaimana kita membangun
sikap hidup yang tepat dengan berpijak sebagaimana adanya? Bagaimana kita bisa
melepaskan segala harapan kosong dan pikiran-pikiran delusional yang menutupi
mata kita dari dunia apa adanya? Inilah pertanyaan yang menjadi pergulatan
filsafat Yunani Kuno dan filsafat Timur. Bagaimana kita bisa melepaskan
konsep-konsep pikiran kita, dan kemudian hidup mengalir mengikuti perubahan
semesta?
wallahu a'lam bisshowab.
+ komentar + 1 komentar
Wow terbaik 😊
Posting Komentar