Penulis menyebut dalam judul ini dengan kata "kita". Mungkin pembaca berkata, kita...??? loe aja kali, gue nggk. Saya sangat tidak berat hati, namun jika kita sama-sama menyadari maka saya sangat terbuka hati untuk diskusi.
Dengan sebuah alasan agar kita bersama-sama mampu mengintrospeksi diri, walaupun tujuan utama dari tulisan ini adalah perbaikan diri saya pribadi. Siapa tahu pembaca juga menyadari akan hal ini, sehingga tulisan ini menjadi manfaat untuk banyak orang.
Lagi-lagi penulis mengingatkan kembali, bahwa pembaca sangat boleh tidak setuju dengan tulisan ini karena itu adalah fitrah. Namun juga sangat terbuka lebar untuk kita berdsikusi lewat tulis-menulis, dengan saling memberikan sumbangsih ide dan pemikiran atau berbagi pengalaman. Hal ini untuk menunjang keterbukaan wawasan keilmuan kita.
Dengan sebuah alasan agar kita bersama-sama mampu mengintrospeksi diri, walaupun tujuan utama dari tulisan ini adalah perbaikan diri saya pribadi. Siapa tahu pembaca juga menyadari akan hal ini, sehingga tulisan ini menjadi manfaat untuk banyak orang.
Lagi-lagi penulis mengingatkan kembali, bahwa pembaca sangat boleh tidak setuju dengan tulisan ini karena itu adalah fitrah. Namun juga sangat terbuka lebar untuk kita berdsikusi lewat tulis-menulis, dengan saling memberikan sumbangsih ide dan pemikiran atau berbagi pengalaman. Hal ini untuk menunjang keterbukaan wawasan keilmuan kita.
Kita selalu punya banyak
waktu, kita selalu punya banyak tempat, dan kita selalu berpindah dan berubah. Seiring
proses perubahan itu, tentu kita tahu tidak semuanya berada pada koridor yang
benar, pastilah kita mendapat nilai salah. Entah salah berinteraksi, salah
berkata, salah bertingkah. Namun sedetik kesalahan terkadang mencoreng nama
baik dalam satu menit. Begitupun mencoreng kesalahan satu menit akan mencoreng
kebaikan satu jam. Dan begitupun seterusnya.
“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Benarkah? Karena satu kesalahan, lalu semua hal baik juga ikut rusak? Karena
kesalahan satu orang, lalu seluruh kelompoknya juga ikut bersalah?
Inilah salah satu
pertanyaan terpenting yang perlu kita ajukan sekarang ini. Banyak orang hidup
dengan prasangka. Pikirannya melihat sesuatu, lalu menyamaratakan kesalahan itu
ke konteks yang lebih luas. Misalnya, ada satu orang Ambon yang menjadi preman.
Lalu, kita dengan gampangnya menarik kesimpulan, “semua orang Ambon itu
preman”. Dalam konteks yang lain misalkan, ada satu atau dua orang Madura yang
melakukan marah, maka seakan semua orang madura pemarah.
Kesalahan satu orang
lalu dianggap sebagai kesalahan kelompok. Ada orang asing berbuat kriminal,
maka semua orang asing lalu dicurigai sebagai kriminal. Inilah yang sekarang
ini berkembang di Jerman, mungkin juga bisa ditemui di Indonesia, dan di
berbagai tempat lainnya. Saya menyebut gejala ini sebagai pola pikir
“menyamaratakan”.
Kecenderungan ini lalu
juga meluas. Kesalahan kelompok dianggap sebagai kesalahan ras. Kesalahan ras
lalu dianggap sebagai kesalahan seluruh peradaban. Dunia lalu terpecah di
antara berbagai kelompok yang saling membenci satu sama lain.
Prasangka
Pola pikir
menyamaratakan adalah ibu kandung dari prasangka. Prasangka adalah pandangan
kita akan sesuatu, sebelum sesuatu itu terjadi. Ia tidak nyata. Ia hanya
khayalan di kepala kita yang berpijak pada ketakutan dan kesalahpahaman.
Prasangka lalu
melahirkan diskriminasi. Kita menilai orang berdasarkan warna kulit, ras, suku
atau agamanya. Kita bersikap keras dan tidak adil kepada seseorang, karena ia
memiliki latar belakang yang tidak sama dengan kita. Dengan cara berpikir ini,
kita bisa menjadi pelaku pembunuhan massal.
Dunia sekarang ini hidup
dalam bayang-bayang diskriminasi dan rasisme. Orang dipisahkan oleh tembok
warna kulit dan agama. Berita-berita di media dipelintir, guna memanaskan
keadaan. Banyak keluarga harus menderita, karena mengalami ketidakadilan di
berbagai segi kehidupannya.
Keadaan ini bagaikan bom
waktu. Konflik besar antar kelompok menanti di depan mata. Ketegangan politis
dan militer membawa penderitaan bagi banyak orang yang tak bersalah. Keadaan
ini diperparah oleh rusaknya alam, akibat dari kerakusan dan kebodohan manusia.
Pembunuhan massal etnis
Yahudi tak jauh dari ingatan kita. Orang-orang Yahudi ditangkap dan dibunuh,
tanpa alasan yang jelas. Di Indonesia, jutaan anggota PKI dan
organisasi-organisasinya ditangkap, ditahan dan dibunuh demi kekuasaan belaka.
Pola pikir menyamaratakan ada di balik semua peristiwa mengerikan ini.
Akar
Memang, sulit bagi kita
untuk tidak menyamaratakan, ketika kita secara langsung menjadi korban dari
suatu bentuk kejahatan. Kita mengalami trauma dan sakit hati, akibat penghinaan
dan ketidakadilan yang secara langsung kita alami. Berpijak pada kekalutan
batin semacam itu, kita lalu menyamaratakan. Selama konflik dan trauma tidak
mengalami rekonsiliasi, selama itu pula pola pikir menyamaratakan akan
berkembang, dan mendorong berbagai bentuk diskriminasi.
Misalnya, kita diancam
oleh preman yang berasal dari Medan. Maka sulit bagi kita untuk menolak logika
berpikir, bahwa “semua orang Batak adalah preman”. Ada semacam ketakutan yang
menutupi pikiran kita di dalam peristiwa ini. Akibatnya, kita tidak lagi mampu
berpikir jernih, dan kemudian menyamaratakan.
Ini juga seringkali
terkait dengan harga diri kita sebagai manusia. Korban penghinaan terluka harga
dirinya. Kemarahan dan kebencian menutupi matanya, sehingga ia berpikir dengan
menyamaratakan, dan mendorong terjadinya diskriminasi serta konflik. Hal yang
sama terjadi dengan harga diri kelompok, sehingga konflik perorangan berubah
menjadi konflik antar kelompok.
Pola pikir
“menyamaratakan” ini juga diakibatkan oleh hubungan sebab akibat semu di dalam
kepala. Kita membuat hubungan tanpa dasar antara dua peristiwa. Kita melihat
sebab dari suatu akibat (penderitaan kita), walaupun sesungguhnya tidak ada
hubungan langsung. Analisis kita dikotori oleh rasa takut, trauma dan
kebencian.
Keadaan ini juga disebut
sebagai ketidakberpikiran. Kita mengira ketakutan kita sebagai kebenaran. Kita
mengira pikiran kita sebagai kebenaran. Pikiran yang diyakini sebagai kebenaran
justru melahirkan ketidakberpikiran.
Pada saat yang sama,
keadaan ini juga bisa disebut tindak berpikir yang berlebihan. Para master Zen
di dalam filsafat Timur berulang kali menegaskan, pikiran adalah sumber dari
segala penderitaan. Pikiran dan analisis memisahkan manusia dengan manusia
lainnya, dan manusia dengan alam. Keadaan ini berpotensi besar untuk mendorong
konflik.
Pola pikir
menyamaratakan bisa dilampaui, jika orang menyadari pikirannya sendiri. Ia lalu
bisa mengambil jarak dari prasangka yang bercokol di kepalanya. Ketakutannya
tetap ada, tetapi tidak mempengaruhinya. Setelah prasangka dan ketakutan
lenyap, orang lalu masuk ke dalam kejernihan.
Orang juga tak perlu
takut dan marah, jika ia mengalami diskriminasi, akibat penyamarataan. Para
pelaku diskriminasi adalah orang-orang yang takut dan menderita. Justru, mereka
harus dibantu dengan berbagai cara yang mungkin. Kekuatan terbesar manusia
adalah kelembutannya di dalam menghadapi segala sesuatu. wallahu a'lam bisshowab
Posting Komentar