"KehinlanganMu Adalah Kehilangan
Kemanusiaan"
Barangkali ada benarnya ungkapan kuno
yang mengatakan bahwa pahlawan itu tidak pernah dilahirkan melainkan
“diciptakan”.
Siapa pun agapan bahwa setiap
masyarakat, budaya, atau Negara - bangsa membutuhkan pahlawan sebagai simbol
sekaligus wahana untuk mengukuhkan suatu sejarah yang dapat diwariskan kepada
generasi-generasi berikutnya. Pengukuhan sejarah tersebut tentu didasari oleh
bermacam-macam preferensi dan kesepakatan kolektif yang terbentuk oleh
kepentingan yang bermacam-macam pula.
Mulai zaman kesukuan (tribalisme),
kerajaan, sampai zaman ke-negaraan mutakhir, ternyata pahlawan diciptakan
cenderung untuk mengukuhkan sejarah versi kaum yang berkuasa. Pahlawan dan
klaim-klaim kepahlawanan adalah hasil ciptaan kelompok yang dominan berupa
sekumpulan kisah personal tentang penaklukan demi penaklukan, hikayat perihal
“kemenangan” kolektif yang dipersonifikasikan pada kekuatan moral seorang
individu yang visioner dan seolah-olah mengatasi sejarah.
Atau sekurang-kurangnya sebuah kisah
kekuatan moral yang luar biasa dari seorang individu yang mewakili kehebatan
dan kecemerlangan manusia sebagai makhluk yang tak tertaklukkan oleh apa pun
selain cita-cita kemanusiaan itu sendiri. Ini adalah jenis pehlawan universal.
Dan kita mafhum bahwa pahlawan jenis ini sesungguhnya dapat dijumpai di
mana-mana, hidup dan mati di tengah masyarakatnya dengan atau tanpa pemujaan.
Sebagian dibuatkan monumen dan sebagian yang lain dilupakan.
Artinya, pahlawan kemanusiaan memang
berbeda dengan pahlawan sebagai monumen dan simbol penaklukan serta kemenangan
politik. Pahlawan jenis ini tidak selalu dapat tampil karena tidak berkaitan
langsung dengan arus gelora politik-kekuasaan yang berada di panggung utama
sejarah masyarakat. Sementara pahlawan jenis ketiga, yakni pahlawan kemanusiaan
sekaligus pahlawan politik pada dirinya adalah tipe ideal yang dicari oleh
masyarakat. Mereka dibuatkan monumen yang megah dan tentu diciptakan pula
kisah-kisah kebesarannya yang terkadang sangat berlebihan hingga diselubungi
mitos dan bahkan takhayul.
Salah satu tujuan menciptakan pahlawan
adalah, sebagaimana dijelaskan oleh Ben Anderson dalam bukunya Immmagined
Communities, adalah untuk mengekalkan “rasa” ikatan kebangsaan yang sebenarnya
sangat abstrak itu. Orang yang berada di pelosok Papua, di tepi Danau Toba, di
Bantul atau di Sambas sana tiba-tiba merasa satu bangsa satu negara dan seolah
terikat oleh sesuatu yang tidak nyata tapi tidak dapat melepaskan diri dari
ikatan tersebut. Salah satu wahana untuk menjaga ikatan itu dibuatlah monumen
kebangsaan beserta para pahlawannya yang kemudian diajarkan di sekolah-sekolah
sebagai acuan moral yang juga sangat abstrak.
Tentu, karena yang menciptakan pahlawan
itu adalah “negara” maka pahlawan resmi yang harus dijunjung tinggi itu adalah
versi dari pihak penguasa yang dominan. Jika pihak yang dominan itu berpijak
pada paradigma kebangsaan yang berpusat pada penakukan (pahlawan jenis
pertama), maka pahlawan yang tampil adalah para kesatria politik dan tentara.
Taman Makam Pahlawan penuh dengan nama-nama para Jenderal.
Tapi apakah arti atau makna para
pahlawan resmi itu buat kita manusia Indonesia sekarang ini yang hidup dalam
ketidak pastian sosial-ekonomi dan disorientasi yang kian melelahkan ini? Apa
arti pahlawan dan nilai kepahlawanan bagi anak-anak dan generasi muda kita?
Siapa saja pahlawan mereka? Apakah para pemimpin kita yang berada di
pucuk-pucuk kekuasan itu dapat dijadikan pahlawan? Jika tidak ada sosok yang
patut dijadikan pahlawan hari ini, apakah kita hidup tanpa panutan dan acuan
moral-simbolik sama sekali? Tapi bukankah masyarakat kita adalah masyarakat
yang paternalistik sehingga selalu membutuhkan acuan atau teladan dari atas?
Senior saya, seorang guru SMU bercerita
bahwa dia pernah bertanya kepada murid-muridnya, siapa di antara tokoh nasional
kita yang patut dijadikan pahlawan, dan mereka menjawab dengan mantap: tidak
ada. Tapi mereka segera menambahkan dengan ungkapan keprihatinan, “Dulu ada.
Namanya Munir! Tapi sial, Pak, punya pahlawan satu saja mati dibunuh”. Teman
saya itu sangat terkejut tapi tiba-tiba menyadari dua hal. Pertama, bahwa
anak-anak sekolah tidak semuanya buta mengenai arti pahlawan dan nilai
kepahlawanan yang sebenar-benarnya. Mereka memang punya tokoh-tokoh idola dari
dunia selebritas, tapi ternyata juga dapat memilih panutan atau idola
kemanusiaan secara kritis.
Kedua, tokoh pejuang kemanusiaan
seperti Munir itu memang sudah mati, tapi dia harus dihidupkan terus supaya
sosoknya, sejarah hidup dan nilai-nilai yang diperjuangkannya tetap diingat dan
dijadikan inspirasi dan teladan oleh masyarakat luas. Salah satu cara untuk
menegakkan nilai-nilai kemanusiaan adalah dengan mengawetkan memori masyarakat
terhadap personifikasi dari tokoh-tokoh besarnya. Kita harus terus-menerus
mengangkat kisah dan wacana mengenai orang-orang seperti Munir. Tapi kita tahu
bahwa hingga hari ini keberadaan tokoh seperti Munir terancam untuk dilupakan,
dan kisah kematiannya bisa jadi sedang menuju penggelapan.
Jadi, menciptakan pahlawan adalah juga
sebuah upaya untuk mereproduksi, mengkampanyekan dan mempromosikan secara
berkelanjutan agar tidak lenyap dari wacana publik. Perjuangan menegakkan
kebenaran adalah perjuangan melawan lupa, kata seorang pujangga. Menegakkan
kebenaran berarti juga sebuah pertarungan wacana. Publikasi, pengkajian,
penceritaan, pemberitan penghargaan atau apresiasi terhadap tokoh-tokoh
kemanusiaan semacam itu harus terus dilakukan dalam bentuk apa pun. Semakin
banyak dan lama pewacanaan dan pencitraan seorang pejuang maka akan semakin
besar kemungkinannya untuk diterima oleh masyarakat.
Salah satu contoh pewacanaan yang
berhasil dari seorang pejuang kemanusiaan adalah berita dan pembicaraan
mengenai Mohammad Yunus dari Bangladesh yang menerima hadiah Nobel Perdamaian 2006.
Pewacanaan dan pencitraan tokoh ini telah membuka mata dunia bahwa pahlawan
bagi negara berkembang (termasuk Indonesia) bukan para tokoh politik resmi yang
bersemayam di gemerlapnya singgasana kekuasaan melainkan sosok-sosok sederhana
yang telah melakukan tindakan besar dan memiliki kontribusi yang nyata bagi
sesamanya.
Jadi, pejuang kemanusiaan memang harus
diciptakan. Di tengah miskinnya figur pemimpin yang layak dijadikan panutan,
inspirasi dan idola, kita musti pintar-pintar mempromosikan ketokohan orang
seperti Munir secara terus menerus bagi diri sendiri maupun kepada masyarakat
luas agar tidak lenyap dalam memori kolektif. (Boleh jadi kita memerlukan
pelajaran khusus di sekolah-sekolah mengenai bagaimana mempelajari dan
tokoh-tokoh pejuang kemanusiaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka).
Sampai hari ini kita tidak tahu
bagaimana masa depan kasus pembunuhan Munir yang artinya juga pembunuhan
terhadap kemanusiaan itu, siapa pembunuhnya dan untuk apa dia dibunuh. Tapi
terlepas dari itu semua, apakah nanti hokum mampu mengungkap kebenaran di balik
pembunuhan itu, di negeri yang tengah terjerembab dalam kubangan masalah
kemanusiaan yang begitu banyak dan gelap ini diperlukan seribu Munir sebagai
pelita penerang agar dapat keluar dari kegelapan di masa datang.
Akhir Tulisan ini harap siapapun
pelakunya adalah kejahatan maka harus di pertanggung jawabkan sekalipun kejahatan
Negara.
Turius w – Peace
Posting Komentar