Senin, 23 Januari 2017
Adzan subuh berkumandang pertanda
aktifitas kehidupan manusia dimulai. Tak terkecuali saya yang mau berangkat
dalam acara Pengembaraan Intelektual dan Spritual ke Bandung - Jakarta. Hari
ini dalam jadwal yang disebar akan berangkat setelat-telatnya jam 06.30 WIB.
Namun apalah daya, kita baru berangkat jam 08.00 WIB, dan ini menjadi
pelanggaran pertama dari jadwal yang telah disusun dengan musyawarah para
panitia. Jika tidak telat maka bukan kita.
Dalam rundown yang tertera pada plan A
kunjungan ziaroh di makam gusdur menjadi kunjungan terahir, tapi rundown itu
lagi-lagi dilanggar sehingga berbalik menjadi kunjungan pertama. Ada alasan
dari sopir bus yang disetujui panitia. Akhirnya jam 10.45 WIB baru tiba di
Kawasan makam presiden ke - 4 yang dikenal dengan nama akrab Gusdur. Di tempat
ini pun kita banyak menghabiskan waktu dengan sia-sia, sampai akhirnya kita
baru bisa berkumpul di Bus jam 11.15 WIB.
Setelah itu kita menuju Makam sunan
Bonang, perjalanan kurang lebih 3-4 jam itu saya habiskan dengan tidur
berbantal gelombang berselimut AC. Tiba-tiba dengan sekejap sudah masuk di
kawasan makam Sunan Bonang, seorang sunan yang merupakan bagian dari sembilan
wali yang menyebarkan Islam di pelosok Nusantara. Lokasi yang jauh dari parkir
bus tempat peserta PIS turun menuju tempat peziaroh dapat menguras waktu dan
tenaga, sehingga akhirnya kita pun menghabiskan waktu 2-3 jam di tempat ini.
Jadwal yang tersusun rapi tercoreng hanya karena tidak ada kebijakan waktu yang
tegas. Banyak waktu terbuang sia-sia. Tapi itu manusia, salah dan lupa bagian
dari kehidupan.
Panitia juga tidak mungkin menginginkan
waktu molor, destinasi berkurang, dan kenyamanan peseta tercoreng. Mereka
menyiapkan segalanya jauh empat bulan sebelumnya. Belum lagi harus bersusah
payah menghubungi para menteri dan tokoh-tokoh yang akan dikunjungi di Jakarta.
Good job buat kalian relawan bidikmisi sang akademisi sejati.
Jam 16.45 kita baru bisa berangkat. Lagi-lagi saya melanjutkan mimpi saya untuk menghilangkan bau bus yang tidak sedap. Perjalanan malam menuju Jakarta harus berhenti sejenak di rest area daerah Demak untuk sekedar sholat maghrib-isya dan makan. Di tempat ini panitian mulai bijak dengan penegasan waktu peserta harus ada di bus lagi. Dikarenakan sudah mengurangi dsetinasi ke masjid raya demak dan ziaroh disana. Semoga jadwal kunjungan berikutnya sesuai schedule dan harapan kita semua. Jam 23.30 kita pun melanjutkanan lagi. Bersambung......
Jam 16.45 kita baru bisa berangkat. Lagi-lagi saya melanjutkan mimpi saya untuk menghilangkan bau bus yang tidak sedap. Perjalanan malam menuju Jakarta harus berhenti sejenak di rest area daerah Demak untuk sekedar sholat maghrib-isya dan makan. Di tempat ini panitian mulai bijak dengan penegasan waktu peserta harus ada di bus lagi. Dikarenakan sudah mengurangi dsetinasi ke masjid raya demak dan ziaroh disana. Semoga jadwal kunjungan berikutnya sesuai schedule dan harapan kita semua. Jam 23.30 kita pun melanjutkanan lagi. Bersambung......
Selasa, 24-Januari-2017
Suasana yang kurang menyejukkan hati
ketika harus sholat subuh di tengah perjalanan yang melelahkan. Berhenti di
sebuah tempat bernama rest area. Lokasi di jalan tol sebelum masuk Jakarta.
Belum lagi fasilitas yang tersedia tidak seimbang dengan pengguna. Sebagian
dari kami pun harus rela tubuh tidak terbasahi dengan segar. Namun prioritas
sholat adalah nomer satu. Tepat jam 08.00 WIB kita pun sudah mulai melihat
gedung-gedung bercakar langit. Dengan hiasan kabut hitam di sela-selanya, kabut
polusi namanya yang akan membuat manusia frustasi bahkan mati. Tapi entahlah
hal itu tidak bukan untuk dibahas dalam perjalanan ini.
Tujuan yang sudah diagendakan hari ini bisa
berkunung ke kantor kementerian Pemuda dan Olahraga dan Majelis Ulama Indonesia
dan berahir di Padepokan Ayaturrahmah. Schedule itu berjalan dengan
harapan yang kita harapkan. Walaupun memang, kendaraan sebesar bus yang kita
tumpangi tidak mungkin tidak terjebak macet. Sehingga kita pun memaklumi
telat-telat dikit asalkan memikat banyak ilmu manfaat.
Pertemuan aundiensi di kementerian
pemuda dan olahraga dapat bertatap muka langsung dengan Imam Nahrawi. Sehingga
beliau dengan waktu 30 menit mengulas singkat tentang pengalaman hidup semasa
kuliah dan 10 tahun menjabat DPR sampai akhirnya diangkat jadi seorang Menteri.
Dan beliau juga memaparkan tentang Indahnya rahmat dan rahim Allah pada
Indonesia. Paparan yang begitu menarik tentang indahnya Indonesia dari segala
aspek membuat pertemuan itu semakin terinspirasi untuk cinta Indonesia.
Belum lagi kulinernya, belum lagi seninya,
belum lagi pulaunya, belum lagi bahasanya, belum lagi sukunya, dan belum
lagi-lagi yang lain. Beliau dengan lugas menyadarkan kami peserta PIS untuk
bangkit berkarya sekecil apapun karya kita. Beliau berpesan di akhir paparannya
lakukan apapun yang menguntungkan kita walaupun itu sangat sederhana yang
penting halal.
Tidak terasa waktu 30 menit itu, kami
pun harus bertanya lewat hati yang tertuang dalam kertas. Semoga pertanyaan itu
tidak sekedar jadi sampah di rumah beliau. Namun setelah itu sambil menunggu
moment foto bersama beliau, kami diisi oleh bagian pengembangan pemuda tentang
"jiwa pemuda yang harus jauh dari narkotika dan giat membaca, lebih-lebih
membaca alqura'an". Ulasan ini walaupun sedikit membuat kami mengantuk,
namun pesan moril dan moralnya tetap teringat bahwa alquran adalah obat
intelektual yang paling ampuh memberantas kebodohan. Jam 11.30 WIB kami pun
harus meninggalkan gedung seorang Menteri dari Madura itu.
Rencana kedua kami safari to Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Kurang lebih perjalanan satu jam kami tiba di lokasi.
Kami disambut dengan sopan oleh tugas dengan menerima pesan "tidak boleh
langsung ke ruangan dikarenakan ada rapat pengurus". Selama hampir dua jam
kami berkeliaran menunggu panggilan untuk berdiskusi dengan pakar dan ulama
Indonesia. Jam 14.00 dalam keadaan perut kenyang kita pun duduk melingkar di
meja rapat ulama, zuama, dan cendikian muslim. Haha kita sedikit bergaya ulama
disini. Semoga dengan sedikit gaya ini kami bisa menjadi ulama yang intelektual
dan intelektual yang ulama sebagaimana misi UIN Maliki Malang.
Di ruangan ini kami diberi kesempatan
tiga pertanyaan untuk mengawali diskusi yang akan berahir pada adzan asar.
Suara tanya pertama dari ketum KBMB saudara fikri tentang agama dan negara,
yang kedua dari penulis tentang pluralitas bangsa, dan yang ketiga dari ira khoiriyah
tentang kepemimpinan muslim koruptor dan non muslim yang tidak koruptor. Tiga
pertanyaan menjadi bahasan utama ruangan itu yang dimoderatori oleh Pak Padil
selaku perwakilan dosen pendamping kita.
Diskusi yang meluruskan akan faham
terhadap kedudukan MUI yang sebenarnya dipertegas langsung oleh dua cendekian
yang saya lupa namanya. Beliau berasal dari dua ormas besar Indonesia
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Ulasan dari keduanya terangkum dalam kalimat
"jadilah muslim yang faham akan himayah wa ria'yatul ummah".
Mungkin para peserta sudah tidak asing
lagi dengan kalimat diatas. Adzan asar pun pertanda acara diskusi itu berahir
dan dilanjut foto bersama dua pemateri. Tepat jam 15.30 WIB kita keluar ruangan
itu. Dan menuju masjid di sebuah gang belakang gedung itu. Selama kurang lebih
satu jam, baru kita bisa rampung dalam deretan kursi hijau di bus berwarna
orange. Dan saatnya kita goes to padepokan ayaturrahmah.
Perjalanan berlika liku dengan jalan
suasana macetnya jakarta sudah biasa kita jalani. Dan akhirnya kita tiba di
padepokan jam 20.30 WIB. Kita pun disambut dengan hidangan menu nasi yang
terbungkus dengan daun pisang dan sayur yang aroma kampung. Perutpun kenyang,
kita siap-siap menjamak sholat dan kemudian kita mengukir mimpi di padepokan alquran.
Kita ketemu besok lagi....
Rabu, 25 Januari 2017
Kesejukan dan keheningan dengan angin
sepoi beraroma dedaunan yang sedang bertasbih di lingkungan Padepokan
Ayaturrahmah membuat kami terbangun dengan segar. Kami pun langsung bergegas
menuju sumber air untuk menyucikan diri dalam barisan subuh berjamaah. Dipimpin
langsung oleh pengasuh subuhpun terasa khusuk dan khidmat. Tanpa bergegas dari
barisan sajadah tempat kita sholat, dilanjutkan dengan kuliah satu bersma Ustadzah
Lilik istri dari sang pengasuh padepokan. Dengan tema "toleransi dalam
perspektif Al-quran". Beliau sang ustadzah memberikan maui'dhohnya dimulai
dari suguhan cerita humor pengalamannya bersama gusdur.
Gus dur baginya bukan hanya sosok
ulama, melainkan bapak toleransi. Sebagai alumni UIN sunan kalijaga Yogyakarta
beliau faham dan pakar di bidang sejarah hermeneutik. dengan tema
"toleransi dalam perspektif Al-quran". Beliau sang ustadzah
memberikan maui'dhohnya dimulai dari suguhan cerita humor pengalamannya bersama
gusdur. Gus dur baginya bukan hanya sosok ulama, melainkan bapak toleransi.
Beliau mengenal dekat dengan beliau lewat pertemuan pribadi dengannya ataupun
lewat cerita sang suami. Sebagai alumni UIN sunan kalijaga Yogyakarta beliau
faham dan pakar di bidang sejarah hermeneutik.
Untuk mengkaji sebuah teks al-quran
perlu digaris besarkan mengenai sejarah akan kalimat yang digunakan Allah.
Dengan cermat dan penuh kehati-hatian, beliau memaparkan empat potongan ayat
yang mengandung makna toleransi. Diantaranya "innaddina i'ndallahi
islam", "laa ikrahafiddin", "wamaa arsalnaka illa
rohmatallila'lamiin", "wa mayyabtaghi ghoirol islamidina".
Empat potongan ayat ini dikorelasikan dengan contoh yang beliau dapatkan dari
kehidupan gusdur dan pengalaman beliau sendiri.
Beliau tidak hanya mengasuh santri
hafidz-hafidzah, tapi juga mengasuh makhluk yang lain yaitu hewan dan tumbuhan.
Termasuk yang menjadi riuh tawa teman-teman ternyata nyamuk yang menggigit kita
semalem termasuk peliharaan beliau yang sudah sekian tahun hidup di rumahnya.
Pemaparan lugas dan humoris itu ditutup dengan empat kesimpulan, perbanyaklah
bergaul dengan siapapun tanpa memandag suku, ras, dan agama. Hargailah manusia
sebgaimana sifat kemanusiaan kita. Jagalah lingkungan tempat hidup kita sebagai
media mencintai mahluk Allah. Tanamkan diri kita untuk selalu bermanfaat bagi
lingkungan dan alam semesta.
Hidangan pagi sudah tertata rapi di
meja makan, pertanda kita dipesilahkan breakfast dulu. Satu persatu mulai antri
mengambil hidangan yang tersedia. Dalam waktu singkat perutpun terasa kenyang.
Tepat pukul 07.00 kita pun rampung menuju bus untuk melanjutkan pengembaraan ke
wahid institut. Dengan waktu kurang lebih dua jam akhirnya kita tiba di lokasi
rumah tua bernama the wahid institud. Sebuah rumah bersejarah mulai dari
perjuangan KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid. Disambut dengan senyum
sumringah dan kue-kue untuk ganjel perut.
Diskusi tentang kupasan radikalisme
dipaparkan langsung oleh tiga narasumber yang mewakili Wahid Fundation. Dalam
dialog interaktif kali ini pemateri dan audien sama-sama aktif. Karena tema
yang diangkat terkait isu-isu radikalisme terkini di negeri kita Indonesia.
Ribuan kasus dari sabang sampai merauke yang menyangkut kemanusian menjadi data
survey yang dipaparkan. Survey yang dikalkulasi berdasarkan respon-respon
muslim tehadap gerakan yang tersebar di Indonesia. Dalam pertemuan ini peserta
PIS mendapat khazanah baru dari rumah toleransi itu berupa game Negeri Kompak.
Kita dikarangtina untuk terlibat dalam game negeri kompak yang terisnpirasi
dari ular tangga dan monopoli. Kita pun bermain dalam kelompok yang terdiri
dari lima anggota.
Dalam pertemuan ini peserta PIS
mendapat khazanah baru dari rumah toleransi itu berupa game Negeri Kompak. Kita
dikarangtina untuk terlibat dalam game negeri kompak yang terisnpirasi dari
ular tangga dan monopoli. Kita pun bermain dalam kelompok yang terdiri dari
lima anggota. Game ini memberikan nilai positif untuk ikhtiar mempererat
toleransi di negeri bersemboyan bhinnika tunggal ika ini. Tak terasa waktu
menunjukkan 13.00 WIB, dan dengan segera kita harus menghadap Allah dalam
barisan singkat dzuhur-asar. Karena jarak yang tidak terlalu panjang dengan
masjid dalam waktu 10 menit kita bisa sampai masjid dengan jalan kaki. Dengan
waktu 15 menit, kita pun bisa rampung untuk menuju ke Kemensos.
Berhubung situasi jalan raya yang sudah
menjadi realita jakarta, walaupu jarak yang tidak jauh dari Wahid Institut dan
Kemensos kita menghabiskan waktu sampai 20 menit. Sehingga kita tiba di lokasi
tepat pukul 13.45 WIB. Tanpa basa basi mengambil jalan pasti kita langsung
disambut dan diantar ke ruang meeting pejabat. Dengan sejenak isi nama dan
nomor HP untuk mendapatkan dua kotak penghargaan pada kita berupa kue dan nasi.
Alhamdulillah barokah gratisan makan
dari sang pengembara. Menunggu pejabat dalam sebuah acara menjadi adat di
negeri berlandaskan pancasila ini. Itu pun kalau yang ditunggu bisa datang.
Seperti di kemensos kali ini sang pemangku jabatan menteri sosial Khofifah
Indar Parawangsa tidak bisa berdiskusi dengan kita dikarenakan ada rapat dengan
wakil kita di gedung sebelah. Ya tidak apalah, semoga pertemuan beliau demi
kesejahteraan sosial kita. Dialogpun tetap berjalan dan diisi oleh para staf
dari Kemensos dengan poin-poin kajian yang intinya program-program kemensos
yang sudah berjalan dan program yang direncanakan dalam lima tahun ke depan.
Catatan bloknote di gedung yang bersebelahan dengan perpusnas ini tidak
sebanyak diskusi di tempat lain, dengan alasan waktu untuk ikut serta di dalam
acara live matanajwa di metro tv.
Terlambat yang sangat memalukan kita
pun sabar dalam kecepatan 0 s.d 10km/jam. Namun inti dari ulasan dua pemateri
tertuju pada problematika kemiskinan dan penanganan korban bencana yang terjadi
di negeri ini. Sebagai kementerian yang menaungi problema sosial tentu tidak
mudah mengemban amanah dan tanggung jawab terhadap bangsa yang penduduknya
terbesar ke empat di dunia. Diskusi ini berahir pada pukul 15.00 WIB. Dengan
kilat kita sudah duduk rapi di kursi dingin dalam bus.
Jakarta tanpa macet bukan jakarta
namanya. Perjalanan menuju studio metrotv mebuang waktu lama. Sehingga keterlambatan
sampai dua jam dari jadwal yang disusun panitia. Dengan wajah terburu-buru kita
tiba di metrotv jam 19.30 atau 30 menit sebelum live matanajwa. Dengan
konsekuensi ini kita harus gunakan jurus siapa cepat akan dapat tempat. Tamu
dalam acara matanajwa kali ini kebetulan seorang mantan menteri pendidikan dan
kebudayaan dan sebagai calon nomor tiga pada pilkada Jakarta. Suara studio yang
gemuruh dengan semangat tepuk tangannya membuat antusiasme mahasiswa untuk
menyimak dengan seksama. Cerita yang tertuang dalam bingkai matanajwa ini bisa
pembaca ikuti tayangan ulangnya di metro tv hari ahad siang. Atau bisa tonton
di youtube.com.
Kita pun bergegas balik ke Bus ketika
tepuk tangan terahir berlangsung pada jam 23.00 yang menandakan acara itu
berahir. Safari berikutnya menuju pondok pesantren as-tsaqofa yang dirintis
oleh Kyai Aqiel Sirodj. Untuk numpang penginapan dan tafa'ul dalam bahasa kang
fikri selaku ketum KBMB. Jam 00.00 kita tiba dengan wajah lelah, payah, dan
gelisah. Akhirnya kita disegarkan dengan dua sholat yang masih harus dijamak
yaitu maghrib dan isya. Setelah itu... Kita lanjut di episode besok....
Kamis, 26 Januari 2017
Pagi yang cerah, dengan nuansa pondok
peradaban yang dirintis oleh sang ketua umum PBNU membawa energi pagi gembira
bagi kita peserta PIS 2017. Cahaya subuh itu mengingatkan kami yang pernah
nyantri akan sebuah perdamaian batin. Lantunan adzan subuh membuat kami bangkit
menuju barisan kemenangan dari melawan rasa malas. Di sebuah pondok yang tidak
hanya berkutat dengan kitab kuning, melainkan ikut andil dalam perkembangan
dunia. Kami dibina dalam diskusi berdurasi kurang lebih tiga jam dari pukul
07.00 s.d 09.30 WIB. Diskusi itu bertemakan "peran santri dalam mempererat
toleransi keindonesiaan".
Dua pemateri yang berwawasan
Ahlussunnah wal jamaah mewakili kehadiran Kyai Aqiel Siradj. Keluwesan
pemikirannya disampaikan dengan lugas dan humoris. Kami pun menyimak bersama
siswa siswi yang sudah menginjak kelas XII dengan nuansa aktif dan kondusif di
Lantai dua Masjid As-staqofah. Diskusi yang cukup membuat hati sadar akan
pentingnya peran santri dalam kemajuan bangsa. Sebuah sejarah santri yang
begitu mengikat terhadap bangsa diambil dari cerita-cerita perjuangan Kyai
Hasyim Asy-a'ri beserta sang anak Wahid Hasyim dan sang cucu Abdurrahman Wahid.
Tidak cuma itu, beliau mengulas juga santri-santri di seluruh penjuru
Indonesia.
Sebagai materi beraliansi Nahdatul Ulama
tentu materi-materi toleransinya tidak lepas dari contoh-contoh gagasan
pendiri-pendiri bangsa yang berasal dari NU. Sebuah kalimat yang memikat hati
berbunyi "Indonesia ini dibangun di atas dasar negara pancasila yang
dimusyawarhkan dari para santri yang faham betul dengan kitab kuning".
Sehingga peran santri dalam kemajuan bangsa ini dapat terlihat dari
"bun-yanul aqli" atau daya nalar yang berdasarkan kitab kuning.
Diskusi itu berkesimpulan bahwa santri
punya kekuatan dan daya nalar untuk membangun bangsa ini dari pemahaman teks
dan konteks keindonesiaan berdasarkan kitab kitab ulama. Jam dingding sudah
menunjukkan pukul 09.45 pertanda kita harus bersiap-siap mengemas baju untuk
melanjutkan tour ke Ragunan Zoo. Tak semangat rasanya jika tak mencicipi
hidangan pagi dalam bingkisan kotak berisikan nasi dan ayam ala pondok
pesantren yang ngetren itu. dalam waktu 15 menit Perut pun kenyang hati pun
senang. Saatnya kita nadzhab ila kebun binatang bernamakan ragunan zoo. Dalam
jarak dekat dengan waktu singkat kita pun tiba dengan cepat tepat pukul 10.30
Wib.
Durasi dengan batas waktu sampai pukul
14.00 Wib membuat kami lelah berkeliling menyapa aneka ragam binatang. Di
tempat ini kita diberi kebebasan safari sesuka hati tanpa rute pasti dari
panitia, yang penting kita foto bareng dulu. Menikmati tempat ini dapat membuat
pikiran hidup dan bangkit untuk berfikir akan indahnya beragam ciptaan Allah
SWT. Ternyata dari saking asyiknya menikmati binatang-binatang yang terbentang
luas di kebun membuat kita lupa akan batas waktu yang ditargetkan sebelumnya.
Kita pun harus menerima kenyataan untuk
kembali bermasalah dengan pihak bus. Bukan karena soal terlambat tapi ada
miskomunikasi antara perusahaan travel bus dan sopir. Itu terjadi tanpa kita
duga sama sekali. Yang awalnya kita rencanakan ke Monas. Akhirnya harus gagal
dengan keputusan panitia dalam rapat singkat bersama para peserta. Sebuah
tragedi yang mungkin itu sebuah permainan perusahaan atau permainan sopir yang
diantara keduanya tidak mendapat kerugian. Tentu kekecewaan peserta pasti ada
dalam dirinya yang harus gagal foto di sebuah Monumen Nasional.
Seakan kekecewaan itu tak bisa diobati
dalam sekejap, apalagi bagi penulis sendiri tanpa ke Monas maka saya belum ke
Jakarta. Apalagi pemula ke Jakarta tentu menginginkan foto di depan Mnumen
Negara kebanggaannya yang hanya ada di Jakarta itu. Tapi apa boleh buat, kita
tidak pernah tahu bahwa apa yang kita rencanakan selalu sesuai dengan apa yang
kita harapkan. Hanya bisa mengelus dada berusaha ikhlas dan sabar atas
keputusan yang tidak sesuai rencana ini. Kita pun dengan wajah tak seperti
biasa harus menuju ke penginapan di Ponpes Darut Tauhid. Sebuah Ponpes di bawah
naungan da'i terkenal dengan panggilan akrabnya AaGim.
Tiba pukul 20.30 WIB langsung melihat
nuansa pesantren harapan umat yang kebetulan berbarengan dengan acara
masyarakat yaitu nanti dan subuh berjamaah. Di lantai dua Masjid kami pun
bersatu dengan tamu-tamu yang lain dalam satu acara i'tikaf sampai tahajjud
tiba. Para penerima tamu dengan penuh tanggung jawab selalu mengingatkan
tamu-tamu untuk menjaga segala barang berharganya. Demi sebuah keamanan dan
kenyamanan. Kita pun melayang dalam deretan mimpi berselimut hamparan sajalah
lembut. Goes to dream.... Sampai ketemu besok episode berikutnya..
Jumat, 27 Januari 2017
Masjid itu tak lagi berantakan dengan
deretan tidur tak karuan. Suara merdu sang Imam sholat tahajjud membangunkan
raga dan jiwa kami untuk bergegas memercikkan tetesan wudhu. Dengan tanpa basa
basi kita langsung terobsesi untuk mengikuti barisan sholat malam itu. Lantunan
ayat yang dibaca sang pemimpin jamaah terangkai dengan nada merdu dan dan
khidmat. Membuat hati nikmat dan penuh tobat. Mengingat hati yang dekat dengan
maksiat dan jauh dari hidayah. Astaghfirullah hati ini bergetar dengan
sendirinya, mengingat dosa yang berjuta-juta. Sholat itu berakhir dengan doa
yang dipimpin dari AaGim.
Nada istighfar yang membuat hati
tentram dan mata bercucuran air kesedihan. Kita pun ngaji bersama menuju
mahligai subuh berjamaah. Suasana subuh yang syahdu diisi dengan tausiah
bertemakan "khoirukum anfau'kum lintas". Yang mengulas tuntas untuk
menjadi manusia berkualitas dihadapan manusia dan Allah. Beliau memaparkan
bagaimana egois jauh dari aktifitas kita. Dengan cara kita berbuat baik dan
terus berbuat baik untuk sesama. Beliau mengulas dakwaannya dengan ulasan
ceritanya lewat pedagang jeruk dan pembeli. Yang inti dari ceritanya terdapat
tiga tipe pembeli.
Pertama, pembeli menawar dibawah harga,
kedua pembeli menawar dengan harga yang pas, dan yang ketiga membeli tanpa
menawar melainkan membayar diatas harga. Tiga hal ini yang menjadi topik
bahasan dalam tausiah pagi itu. Disamping menyampaikan dari tiga hal itu,
beliau juga menyampaikan akan macam macam kecerdasan manusia yang tak bertumpu
pada kecerdasan akademik saja. Melainkan manusia punya banyak kecerdasan, yang
diantaranya kecerdasan akademik, sosial, entrepreneur, spritual. Ulasan demi
ulasan terangkai dengan santai sehingga dapat membuat jamaah rileks dan enjoy.
Ceramah pagi itu berhari pada jam 06.00
WIB. Dan ditutup oleh seorang ustadz yang melanjutkan dengan tanda tanda
kegelisahan manusia. Sesaat setelah ceramah pagi kami pun melangkahkan kaki
menuju parkir bus yang tak jauh dari lokasi. Kami dengan cepat harus tiba di
Institut Teknologi Bandung untuk berdiskusi tentang keorganisasian. Di ITB kita
mulai diskusi pada jam 10.00 WIB. Sambutan antusiasme dari Forum Mahasiswa
Bidikmisi ITB membuat hati ini serasa diapresiasi.
Tanya jawab antara kita menambah wawasan
tentang manajeman organisasi seperti halnya keungan di organisasi dan program
kerja organisasi. Dialog interaktif ini juga memberikan pengalaman menarik bagi
kita maupun mahasiswa ITB untuk terus aktif berpartisipasi mengabdi kepada
negara. Karena hakikat uang beasiswa kita adalah buah tangan negara. Tanpa
berlama lama sharing keorganisasian kita pun melanjutkan foto bersama
berbackgrun gedung kembar. Jerpat jepretan pun dengan satu gumpalan semangat.
After that, kita cus ke bus dan
menikmati nasi bungkus untuk menyiapkan tenaga ilmiah di balai kota nanti. Di
hari jumat ini, kita disuruh berniat untuk sholat dzuhur diJama ta'khir dengan
asar. Karena perjalanan selanjutnya kita gores to balai kota. Tapi sebelum jam
14.00 WIB kita ada kesempatan untuk bebas memanfaatkan waktu dengan sesuka
diri. Ada yang ke masjid untuk ikut sholat jumat, ada yang berfoto ria di
berbagai sudut kota bandung, dan ada yang sebagai menikmati diamnya bus di
prakiraan. Batas waktu jam yang sudah ditentukan tadi terlaksana dengan
disiplin.
Kitapun sudah di bus lagi untuk menuju
bangku kehormatan sang walikota bandung yang biasa dipanggil kan emil. Sejenak
di bus, tiba tiba kita sudah masuk parkir kawasan taman balaikota. Satpam
mengantarkan kita menuju istana walikota sang ibukota jawa barat. Dengan rapi
kita duduk dengan formasi oval. Sambutan manis sang mc dan senyum sang
pengantar minum teh tanpa rasa membuat hati berkata "alhamdulillah".
Lagi lagi seorang pemimpin tertinggi di Bandung itu tidak bisa bergabung dalam
barisan oval kita.
Tapi selembar kertas yang beliau
tulisan dibacakan oleh stafnya untuk didiskusikan bersama staf-staf yang lain.
Kami menyimak dengan aura senyum tanpa dosa, walaupun tehnya tak punya rasa.
Dua lagu terpadu oleh kita antara Lagu Indonesia Raya dan mars Bidik misi
mengawali diskusi toleransi dan harmonisasi berbangsa dan bernegara. Suguhan
rasa hormat dan penyampaian singkat membuat hati terpikat untuk berdebat. Tiga
pertanyaan dari kita membuat ruangan itu penuh makna dan langka untuk ada lagi.
Jawaban dari berbagai staf menjadi catatan penutup materi toleransi
keindonesian dari serangkaian acara Intelektual.
Dalam bahasa singkatnya kang emil
berpesan kepada kita untuk menjadikan toleransi sebagai pondasi utama dalam
berbangsa dan bernegara, kita juga diberi pesan dalam tulisannya untuk aktif
membangun negeri dari segala bidang kehidupan. Diskusi pun selesai. Saatnya
kita lanjut istirahat di sekitar lapangan gazebo tepat depan gedung sate. Di
tempat ini seakan waktu terbuang tanpa manfaat apapun.
Tiga jam hanya berjalan kesana dan
kesini, hanya jepretan foto berbackground gedung pemerintahan provinsi jawa
barat. Setelah itu pun berkumpul lagi ke bus untuk safari terahir ke rumah
ketum KBMB untuk acara silaturrahmi. Perjalanan dengan waktu yang sangat lama
akhirnya kita pun tiba pada pukul 03.00 WIB. Nuansa pesantren kampung mengajak
kita untuk bersama merindukan kedamaian ala kampung. Sebentar lagi subuh akan
tiba... Next di episode terahir...
Sabtu,
28 Januari 2017
Nuansa
subuh kali ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Suasana tubuh yang remuk
habis bermalam di bus malam membuat seakan hati rapuh dan lumpuh. Tapi sholat
subuh di masjid bersama masyarakat dan santri membuat binar mata kembali
bersinar layaknya fajar di Ciamis. Sebuah kampung bernuansa kolam ikan mujair
dan teman-teman menghiasi keliling masjid. Bukan lagi suara kongkok ayam yang
terdengar, tapi gemircik ikan berenang.
Di
tempat penginapan yang sekejap ini, kita bisa lebih santai sambil menikmati camilan
khas Ciamis yang disuguhkan oleh Fikri sekeluarga. Mereka begitu terlihat
senang kedatangan kita, dan tanpa rasa sungkan dan plin plan kita pun
pelan-pelan menelan makanan ringan itu. Satu persatu mulai habis. Jam 07.00 WIB
kita bersama-sama diajak sang pengasuh untuk berziarah di makam pendiri pondok
itu. Harapan sang generasi semoga rintisan pondok yang sudah berdiri
bertahun-tahun bisa menjadikan lulusan Insan kamilan.
Berkurang
rasanya jika nuansa silaturrahmi ini tidak berkomunikasi lewat tabuhan gendang
para santri. Para santri yang rata-rata masih tingkat tsawiyah itu sangat lihai
memainkan alat-alat musik marawis. Terdengar dendang dan rindang diiringi
sholawat oleh dua vokalis. Setelah itu salah satu santri memandu jalannya acara
untuk saling sambut menyambut. Kita diwakili oleh salah seorang mahasiswi untuk
mengenalkan kampus Ulul albab. Dari pihak pesantren diwakili oleh generasi
pengasuh ke tiga di pondok mifathul Ulum.
Acara
yang ditutup dengan pemberian cinderamata itu, membuat kita seakan meninggalkan
manis. Manis tutur katanya, logis bicaranya, dan humoris nuansanya. Muwajjahah
di ruangan dengan tabir yang memisahkan perempuan dan laki-laki membuat hati
tenang dan perasaan senang. Setelah acara itu berakhir, kami pun disuguhkan
makanan untuk makan bersama-sama. Ikan tawar khas kolam dipinggiran rumah
menjadi santapan sebagai ganjalan perut. Perut mulai kembung dan nyambung untuk
melanjutkan pulang ke malang. semula ingin ke pantai pengandaran, tapi waktu
dan jarak tak memberi kesempatan untuk ke sana.
Akhirnya
dengan jalan lain yang diberikan sopir dan panitia kita pun melanjutkan
perjalanan menuju Yogyakarta. Malioboro namanya, dinamika sejarah yang erat
dengan bangunan klasik membuat kita asyik nongkrong dan belanja. Dalam batas
waktu jam 00.00 WIB kita pun menelatkan diri tapi akhirnya kita rampung pada
pukul 01.00 WIB.
Dengan
cek dan ricek member of PIS panitia pun harus memastikan anggota dinyatakan
lengkap. Dalam barisan doa singkat di hati peserta PIS 2017 dan dengan berucap
basmalah kita tancap gas menuju kota Malang. Goodbye Jogja, goodbye Malioboro,
dan goodbye kenangan PIS 2017.
Posting Komentar