sumberfoto:koransindo
Pepatah lama mengatakan, bahwa kita
harus belajar sampai negeri Cina. Tentu, banyak sekali yang bisa dipelajari
disana, mulai dari seni sampai dengan politik.
Namun, ada region yang jauh lebih
menarik untuk dikaji sekarang ini. Prestasinya di tingkat nasional maupun
internasional amat diperhitungkan di awal abad 21 ini.
Letaknya sedikit lebih jauh dari Cina,
tepatnya di Eropa Utara. Mereka adalah negara-negara Skandinavia, yakni
Norwegia, Finlandia, Swedia dan Denmark.
Kemakmuran
Skandinavia
Mereka adalah negara-negara makmur yang
menjadi bahan kajian menarik dari ilmu hubungan internasional. Sampai detik
tulisan ini dibuat, negara-negara tersebut memiliki tingkat pendapatan
tertinggi di dunia, program pajak progresif yang mapan, serikat buruh yang
kokoh dan tingkat pengangguran yang amat rendah.
Padahal, ilmu ekonomi kontemporer
mengajarkan cara-cara yang berlawanan untuk sampai pada kemakmuran bersama,
yakni pajak yang rendah, peraturan bisnis dan ekonomi yang sedikit, dan serikat
buruh yang lemah. Namun, negara-negara Skandinavia justru menerapkan hal-hal
yang bertentangan dengan ilmu ekonomi kontemporer tersebut, namun tetap maju,
kuat dan makmur dari berbagai ukuran.
Banyak ahli ekonomi, yang mayoritas
berasal dari Inggris dan AS, berpendapat, bahwa model negara kesejahteraan di
negara-negara Skandinavia akan segera runtuh. Model tersebut, menurut mereka,
memakan biaya tinggi, dan beresiko besar untuk gagal.
Jerman, dan beberapa negara Eropa
lainnya, sebenarnya menganut paham yang sama dengan negara-negara Skandinavia
dalam hal perumusan kebijakan ekonomi maupun politik. Mereka pun menuai hasil
yang kurang lebih sama, yakni stabilitas ekonomi politik yang mengantarkan pada
kemakmuran bersama.
Beberapa pendapat miring mengatakan,
bahwa program ini berhasil, karena masyarakatnya yang homogen. Di dalam
masyarakat tersebut, orang-orang hidup dengan nilai-nilai kehidupan yang sama,
sehingga bisa bekerja sama untuk mencapai kemakmuran. Sistem demokrasi sosial
yang sama tidak akan berhasil di dalam masyarakat majemuk.
Pandangan ini amat jauh dari apa yang
sesungguhnya terjadi. Ada enam hal yang kiranya menjadi titik dasar bagi
kemakmuran negara-negara Skandinavia.
Mengapa Berhasil?
Pertama,
gerakan sosial politik dan partai-partai politik disana bersifat moderat.
Mereka menghindari segala bentuk ekstremisme yang menutup segala peluang untuk
berdialog. Dari dialog yang moderat inilah lahir program-program ekonomi yang
mendorong keadilan dan kemakmuran bersama.
Dua,
perjuangan kelas pekerja di negara-negara Skandinavia amat gigih dan
terorganisir. Perjuangan tersebut menuntut hak-hak dasar kaum pekerja, dan
telah berlangsung puluhan tahun dengan intensitas yang luar biasa tinggi.
Tiga,
gerakan kelas pekerja tersebut mampu membentuk persekutuan dengan gerakan-gerakan
lainnya, seperti gerakan perempuan dan gerakan kaum petani. Kerja sama tersebut
membawa isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama, seperti pendidikan dan
kesehatan yang bermutu untuk semua.
Empat,
pemerintah negara-negara Skandinavia memiliki kepedulian amat tinggi terhadap
kebutuhan serta kepentingan warganya. Kepedulian ini dijaga terus menerus, dan
terwujud secara nyata di dalam berbagai program politik dan ekonomi yang mereka
jalankan.
Lima,
letak geografis negara-negara Skandinavia juga mendukung proyek kesejahteraan
mereka. Mereka dekat dengan negara-negara industrial dan kolonialistik, seperti
Inggris, Belanda, Prancis dan Belgia, sekaligus dipisahkan oleh laut, sehingga
tetap memiliki kemandirian tersendiri.
Enam,
letak geografis tersebut juga didukung oleh sumber daya alam yang melimpah,
seperti minyak dan beragam logam berharga lainnya. Semua ini adalah bahan dasar
yang mendukung proses industrialisasi mereka.
Keberhasilan negara-negara Skandinavia
tidak ada hubungannya dengan homogenitas masyarakat mereka. Yang berperan amat
kuat adalah persekutuan beragam gerakan sosial yang moderat dan terorganisir
dengan baik, sehingga bisa bertahan lama untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang
terkait dengan kepentingan bersama.
Beberapa Tantangan
Namun, seperti segala hal di muka bumi
ini, tata politik dan ekonomi negara-negara Skandinavia pun tidak kebal dari
permasalahan. Ada dua hal yang kiranya penting untuk diperhatikan.
Pertama,
terpaan badai neoliberalisme yang mengedepankan kepentingan bisnis dan ekonomi
di atas segala-galanya juga terjadi di negara-negara Skandinavia. Banyak
program politik dan ekonomi yang menunjang kesejahteraan rakyat harus
dihentikan, karena dianggap tidak menguntungkan. Ini semua menghasilkan
goncangan sosial bagi banyak orang, dan menjadi sumber dari beragam bentuk
masalah sosial, mulai dari kriminalitas sampai dengan prasangka negatif
terhadap orang asing.
Dua, partai
politik yang bergerak sebagai jauh dari kebutuhan dan kepentingan rakyat
banyak. Banyak partai politik disana yang semakin menjadi teknokratik, yakni
sibuk dengan hitung-hitungan matematik akademik, dan semakin tidak peduli pada
keadaan nyata di lapangan.
Dua kelemahan ini tidak menjadi
halangan bagi Indonesia untuk belajar dari negara-negara Skandinavia. Ada empat
hal yang kiranya perlu diperhatikan, ketika berbicara tentang Indonesia.
Keadaan Indonesia
Pertama,
gerakan sosial di Indonesia masih lemah. Misi yang dikejar kebanyakan berbau
agama, sehingga hanya memperjuangkan kepentingan segelintir pihak tertentu,
sambil mengabaikan kepentingan pihak-pihak lainnya.
Ini tentu harus berubah. Pada dasarnya,
masyarakat Indonesia itu amat toleran serta terbuka. Ini menjadi peluang besar
bagi terciptanya kerja sama yang baik dari berbagai pihak.
Dua,
gerakan sosial juga masih dianggap jelek oleh masyarakat luas. Hampir setiap
gerakan progresif yang memperjuangkan kepentingan kelas pekerja dianggap
sebagai komunis, sehingga harus segera dibasmi.
Ini sebenarnya pandangan salah warisan
masa lampau yang mesti diperbaiki. Gerakan progresif tidak identik dengan
komunisme.
Tiga,
gerakan sosial juga masih terserak, dan saling berlomba untuk mendapatkan
kepentingannya masing-masing. Kerja sama yang berpijak pada pandangan yang
moderat masih sulit untuk berkembang, karena politisasi gerakan-gerakan sosial
tersebut oleh kepentingan politik yang cacat.
Empat,
pemerintah Indonesia juga masih belum sepenuhnya berkomitmen untuk
menyejahterakan rakyatnya. Banyak proyek pengembangan justru menjadi ladang
untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Banyak pekerjaan yang mesti dilakukan,
jika kita ingin belajar dari negara-negara Skandinavia. Jika keempat hal di
atas tidak diperbaiki, maka Indonesia akan terus terjebak pada kesenjangan
sosial yang semakin tinggi antara yang kaya dan yang miskin. Ini tentunya
menjadi akar bagi banyak persoalan lainnya di masyarakat.
Belajar sampai ke Skandinavia berarti
belajar tentang solidaritas. Ini juga berarti belajar tentang kerja sama dan
sikap moderat yang menolak jatuh pada sikap keras meyakini suatu pandangan
tertentu.
Jadi, tunggu apa lagi?
Posting Komentar