Sumber foto : Facebook dari Akhmad Mu
Berbicara
tentang dosen tentu akan mempunyai ragam pendapat dari kalangan mahasiswa. Bagi
penulis sendiri seorang dosen harus mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang
lebih dari pada seorang mahasiswa. Seorang dosen tentu harus mempunyai keahlian
di bidang yang ia ajarkan ke mahasiswanya. Jika ada dosen yang tidak seperti
yang penulis gambarkan itu, saya kira banyak kampus harus dipertanyakan dalam
merekrut dosen.
Dalam
tulisan ini ada sedikit cerita yang penulis bagikan kepada pembaca bahwa ada salah
satu dosen di kelas saya yang mengampu mata kuliah Bimbingan Konseling di
semester VI ini. Beliau bernama Ahmad Mukhlis seorang dosen yang peduli untuk
memberikan ruang berfikir, berkreasi, dan berfantasi kepada mahasiswa untuk
menulis.
Baginya menulis merupakan senjata manusia untuk menyalurkan dan
mewariskan ilmu. Sehingga beliau mengajar dan mendidik mahasiswa untuk berlatih
dan membiasakan menulis. Salah satu metode yang ia suguhkan ke mahasiswa dengan
memberi tugas mingguan untuk menulis artikel mengenai pembelajaran yang sudah
diajarkan sebelumnya.
Beliau
termasuk satu dari sekian banyak dosen yang pernah saya jumpai untuk memberikan
ruang belajar menulis. Walaupun memang esensi dari mata kuliah ini tidak
menjurus dalam hal tulis menulis. Kebetulan di semester ini ada mata kuliah
Pendidikan Jurnalistik yang bisa jadi hanya menjadi mata kuliah bagaikan angin
lewat dari kuping kanan ke kuping kiri tanpa adanya pembiasaan seperti ini.
Membiasakan
menulis tentu harus ada dorongan internal dari setiap individu. Kalaupun ada
dosen yang dengan susah payah mengarahan mahasiswanya untuk menulis, tentu hal
itu akan jadi beban belaka yang menyiksa dan dengan hasil yang sia-sia. Karena
bagi saya kemampuan menulis juga bagian dari kecerdasan manusia yang tidak
semua orang mampu melakukannya. Ketika seseorang mampu mengolah pengalamannya
melalui pikiran kemudian tertuang dalam bentuk tulisan, itu artinya ia telah
memanfaatkan kemampuan intellegensinya.
Bagi
sebagian orang yang sudah terbiasa menulis menganggap bahwa membuat tulisan itu
mudah, bahkan lebih mudah dari berbicara. Tentu yang membuat dirinya berkata
"mudah" karena bisa dengan keterbiasaannya. Maka apapun itu akan
berlaku "bisa karena biasa". Jadi jika kita punya keinginan untuk
bisa menulis entah itu essay, opini, artikel dan lain sebagainya maka kita membiasakannya
terlebih dahulu. Tanpa peduli tulisan itu akan dinilai jelek, tidak berbobot,
ataupun tidak berkualitas.
Dalam
sepintas rasa minder dengan tulisan yang sudah kita rangkai pasti tidak dapat
dipungkiri lagi. Namun jika memang kita khawatir akan banyak cemoohan ataupun
ejekan dari pembaca seminimal mungkin kita merasa puas dengan tulisan yang
sudah kita rangkai sendiri. Karena hal itu yang menjadi modal awal untuk mulai
menyukai dunia tulis menulis. Lalu kemudian bisa dicoba untuk suruh baca ke
teman dekat, atau sahabat yang sudah sehidup semati bersama. Mungkin
langkah-langkah ini sedikit membantu memanfaatkan tulisan sebagai media dakwah
penyampaian ilmu. menulislah untuk kita sendiri terlebih dahulu.
Meminjam
istilah Ust Mukhlis "menulis itu bukan urusan kualitas" tapi menulis
lebih kepada tersampainya ide atau gagasan kepada pembaca. Pembaca pertama
tentu adalah penulis. Maka ketika penulis sendiri sudah bisa memahami
tulisannya, hal itu pertanda bahwa gagasan dan idenya sudah termaktub dalam
tulisan yang ia rangkai.
Karena
jika kita selalu beranggapan tulisan kita jelek maka sampai kapanpun kita tidak
akan menulis apalagi sampai membiasakan menulis. Kita terkadang perlu tekanan
yang bersifat eksternal untuk bisa memulai menulis, misalnya seperti tugas
mingguan membuat artikel ini, atau karena butuh uang hadiah dari berlomba, atau
untuk mendapatkan reward dari percetakan atau perusahaan. Walaupun yang
terpenting dari menulis itu bukan untuk mengejar itu semua, tapi tersampainya
ilmu bagi kita semua.
Maka
dengan hadirnya dosen yang baru pertama tatap muka ini, dapat membuat saya dan
juga teman-teman kelas untuk terus berlatih menulis. Dengan cara membiasakan
terlebih dahulu dan menghilangkan rasa takut salah. Beliau memberikan
pelampiasannya kepada mahasiswa karena keaktifan menulisnya ketika kuliah baru
berawal dari semester VII. Sehingga beliau tidak menginginkan ada generasi yang
memiliki nasib penyeasalan yang sama.
Cara
mengajar yang rilex dan enjoy dengan variatif penilaiannya membuat daya tarik tersendiri
bagi saya, walaupun ke semua itu tentu berefek positif dan negatif. Beliau sangat
mengapresisi perbedaan, sebagaimana ungkapan Rosul “ikhtilafu ummati rohmah”.
Berbeda yang tidak sekedar berbeda. Tapi berbeda yang membawa manfaat buat
dirinya dan orang lain.
Saya
pun angkat bicara untuk menguatkan diri saya pribadi dan juga teman-teman yang
masih takut untuk mengetik keyboard. Untuk merangkai sebuah kata menjadi
kalimat, kemudian menjadi paragraf, lalu kemudian terbentuklah sebuah karangan.
“kita bisa memulai menulis biasanya dari pengalaman yang melibatkan pikiran,
mata, bahkan tubuh kita entah itu dari membaca, mendengarkan ceramah, ataupun
perilaku-perilaku yang lain”. Maka sangat tepat Ust. Mukhlis menyempatkan
pikiran dan mata kita di kelas selama kurang lebih dua jam untuk merekam dan
kemudian menuangkan ke dalam bentuk tulisan. Wallahu a’lam bisshowab
Apalah
arti berburu ilmu
Tanpa
jika menulis masih semu
Apalah
arti jadi ilmuan
Jika
satu pun tak ada tulisan
Apalah
arti tulisan
Tanpa
ulasan yang siginfikan
Tanpa
makna yang memanfaatkan
Aku
hadir menulis
Dari
empiris-empiris yang realistis
Walaupun
gagasan masih sadis
Karena
tulisanku
Hadir
dari membaca buku-buku
Walau
dari fakta dan realita
Untuk
ku tata
Menjadi
ejaan makna
Walau masih jauh dari sempurna.
Posting Komentar