Panderman
nama gunung itu. Salah satu bagian dari Pegunungan Putri Tidur. Putri Tidur
terdiri dari Gunung Butak (wajah), Gunung Kawi (bagian tangan yang bersedekap)
dan Gunung Panderman (bagian kaki). Dari kejauhan, ketiga gunung ini
benar-benar seperti seorang putri yang sedang tidur. Dari sebelah kontrakan
saya Perumahan Graha Joyo Family, gunung ini terlihat begitu 'gagah' menaungi
Kota Batu dan Malang. Setiap berangkat dan pulang ke UNISMA, mata ini selalu
terpana melihat ke arahnya.
Pegunungan Putri Tidur di Pagi hari
Saat Senja
Dikutip
dari Wikipedia, Panderman berasal dari nama seorang Belanda yang mengagumi
gunung tersebut pada masa penjajahan, Van Der Man. Oleh 'lidah lokal' nama
tersebut kemudian menjadi Panderman. Memiliki tinggi sekitar 2046 mdpl, gunung
ini terlihat begitu jelas dari Kota Batu, juga dari beberapa sudut Kota Malang.
Gunung ini biasanya didaki untuk pemanasan sebelum ke Semeru atau Arjuno.
"Ayo
semangat, teman-teman...! Lah ini kita baru mau mulai belum ada
apa-apanya...", teriak salah satu teman saya. Baru kurang lebih sekitar
15-20 menit kami berjalan dari pos pendaftaran, rombongan kami bertujuh ini
sudah pada ngos-ngosan. haha!
Hari
sabtu itu, tepatnya tanggal 31 Desember 2016, saya bersama dengan teman-teman
dari Matematika UNISMA (Kastrui, Dilah, Naswa) serta Syafi (baru lulus UB),
Udin (teman Naswa dari Pasuruan) dan Dhika (dari Batu), memantapkan langkah
mendaki Gunung Panderman. Rencana awal berangkat jam 10 pagi, namun apalah daya
akhirnya baru terealisasi pukul 11.15 lewat (hiaaa! cewek mah gitu orangnya).
Meeting
point kami di Dhika (daerah Batu). Setelah segala persiapan pendakian siap,
kami sholat dzuhur dulu, setelah semuanya berkumpul dan siap mendaki,
berangkatlah kami menuju Desa Pesanggrahan, Kota Batu. Kami sampai di pos
pendaftaran pendakian sekitar pukul 14.00 siang, setelah itu membayar Rp
7.000/orang dan menuliskan nama kami pada buku tamu (hal ini dilakukan agar
terdata siapa saja pendaki yang naik jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan). Cukup rame. Karena kebetulan moment kami kali ini bertepatan
dengan pergantian tahun baru 2017. Jadi nantinya kami akan bertemu banyak
rombongan pendaki yang lain. Tak apalah, tetap semangat!
Trek
awal yang kami lewati masih tergolong mudah, jalan setapak dengan kebun milik
penduduk disamping kiri kanan. Sayuran segar nan hijau sungguh menyejukkan
mata. Jalanannya pun masih tergolong landai. Semakin naik, jalan setapak yang
kami lewati semakin menyempit. Jarak pandang kami terbatas karena tertutup
rumput gajah yang tinggi menjulang.
Sampai
di pos pertama Latar Ombo (1600 mdpl) pukul 14.30 siang. Kami rehat sejenak disini. Latar Ombo ini digunakan
oleh para pendaki untuk mendirikan tenda karena berupa area datar yang lumayan
luas. Biasanya pendaki menginap disini untuk kemudian melanjutkan lagi ke
puncak.
Tidak berlama-lama disini, kami meneruskan perjalanan
kembali. Mulai dari pos Latar Ombo sampai dengan pos selanjutnya, jalur yang
kami lalui semakin sulit dan menanjak. Alhamdulillah semangat kami masih
terjaga. Sambil terus mengatur nafas, menahan pegal di bagian kaki, perlahan
tapi pasti kami melanjutkan langkah.
Sekitar pukul 15.00 kami sampai di pos kedua yaitu Watu Gede (1730 mdpl).
Trek yang harus kami lewati semakin sulit dan kemiringannya mencapai 45
derajat. Kami berpegangan pada akar-akar pohon. Medan yang lembab dan jalur
bebatuan cukup menghambat langkah kami.
Setelah pos Watu Gede, jalanannya semakin
mengerikan lagi, saudara-saudara. Amat curam, juga licin. Penting sekali
membawa tongkat. Sambil jalan terlintas pikiran, bagaimana kalau tiba-tiba
jatuh terpeleset kemudian langsung dipanggil Allah?! heheh.
Mendekati
puncak, kami harus menyusuri bagian lereng. Terpeleset sedikit saja, aaak! tidak
bisa membayangkan. Terjun bebas langsung ke bawah sana. Unidentified. Haha.
Kota Batu terlihat jelas dari lereng ini namun sesekali tertutup awan dan kabut
yang menyelimuti. Saya Kasturi dan Naswa sudah sampai puncak terlebih dahulu.
Dilah, Syafi, Dhika dan Udin tertinggal (karena beban yang dibawa mereka cukup
berat, haha kasian… semangat pecinta gunung!).
Kurang lebih pukul 16.30 sore, Alhamdulillah Allah mampukan semua langkah-langkah
lelah kami mencapai Puncak Basundara (2046 mdpl). Tidak ada yang tertinggal,
personel lengkap. Saat kami sampai di
puncak sudah banyak tenda yang berdiri
tegap. Dalam pendakian ini sholat menjadi prioritas kami sehingga
kami pun sholat Asar secara berjamaah dalam dua kloter. Kami lalu beristirahat dan sibuk dengan
diri masing-masing (ada yang foto-foto, tafakur, nyari spot indah, keliling
sana-sini).
Kami
pun menikmati malam dengan cerita-cerita kocak yang berbau evaluasi akhir
tahun. Diantara kami (saya, Dilah, dan Kasturi) saling memberikan teguran dan
harapan agar kehidupan selanjutnya bisa lebih baik.
Tepat
pukul 00.00 tengah malam gemerlap kembang api dari Pusat kota dan di kaki
panderman pun mulai terlihat melalui atas Panderman. Semua pendaki panderman
pun menikmati indahnya pemandangan tersebut.
Lihatlah
dibawah sana Kota Batu bagai serpihan genting. Rumah-rumah terlihat begitu
kecil, apalah lagi manusianya. Tak terlihat sama sekali. Mungkin seperti itu
pula para 'makhluk langit' memandang kita dari atas sana. Yang membuat kita
'dipandang dan didoakan' dari atas sana adalah shalawat kita atas junjungan
Rasulullah SAW, serta dzikir dan istighfar yang kita panjatkan.
Dan
tibalah waktu kami untuk dipanggil sholat subuh berjamaah. Di tengah
tenda-tenda yang sepi, kami bangkit melawan rasa ngantuk untuk tidak
meninggalkan kewajiban berupa sholat Subuh berjamaah. Sambil menunggu matahari
bersinar kami isi dengan lantunan ayat Al-quran untuk menyejukkan hati
disamping kesejukan gunung.
Matahari
pun bersinar dengan bergantian dengan kabut lereng pegunungan. Kami pun
mencuri-curi pemandangan indah melalui jepretan Camera HP Oppo. Dan ini dari
sedikit hasil jepretan kami.
Dan
kemudian saya belajar bahwa pendakian gunung bukan hanya tentang sampai di
puncak, membuktikan "kehebatan" dirimu, kekuatanmu. Itu tentang
menaklukkan diri sendiri; rasa takut, rasa lelah, rasa sombong, rasa minder,
rasa tidak mampu.
Itu
tentang menaklukkan ego; rasa ingin sampai puncak duluan, terlihat lebih hebat,
lebih kuat dan bertenaga. Sejauh mana engkau menahan diri untuk menunggu
temanmu yang masih terengah-engah mengatur nafas. Sejauh mana kau rela berbagi
milikmu yang sedikit demi kebaikan bersama.
Itu tentang menaklukkan batasan diri; bahwa kaki kecil, nafas yang memburu kembang-kempis, tenaga yang senin-kamis itu (dengan izin Allah) mampu menapak tiang pancang bumi-Nya (yang membatasimu hanya tekad dalam diri, Quit or No! Lanjutkan atau hentikan!).
Itu tentang menaklukkan batasan diri; bahwa kaki kecil, nafas yang memburu kembang-kempis, tenaga yang senin-kamis itu (dengan izin Allah) mampu menapak tiang pancang bumi-Nya (yang membatasimu hanya tekad dalam diri, Quit or No! Lanjutkan atau hentikan!).
Setelah
pendakian, kamu akan memiliki perspektif berbeda tentang kehidupan, tentang
hidup, juga hidupmu. Jika kamu masih muda, masih punya cukup banyak cadangan
energi untuk menjalani hari-hari, mendakilah! Mari habiskan 'masa penuh energi'
dengan mendatangi puncak-puncak tinggi, yang menjadikan kita rendah. Apa yang
kita lakukan saat ini, jadi bekalan cerita untuk penerus kita kemudian. So,
cerita seperti apa yang sudah kamu buat?!?
"Dan
telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak)
goncang bersama mereka dan dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu
jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk". QS Al-Anbiya : 31
Misbahuddin, Malang 01-01-2017
Posting Komentar