Kita selalu melihat di
berbagai tempat, beberapa sekolompok pemuda yang berada di luar persepsi kita. Di
mata banyak orang, sekumpulan anak muda itu tampak mencurigakan. Mereka
bertato. Telinga mereka ditindik. Gaya rambut mereka pun tidak umum.
Gaya berjalan mereka
berbeda dengan kebanyakan orang. Gaya berbicara mereka pun lain. Dari sudut
kategori moralitas umum, mereka berada di luar, atau bahkan melanggar. Dari
kaca mata hukum, mereka pun tampak mencurigakan, mirip seperti pelaku kejahatan.
Yang Tersisih
Mereka adalah “yang
tersisih”. Gaya hidup dan cara berpikir mereka tidak seperti orang pada
umumnya. Ada yang takut pada mereka. Namun, tidak sedikit pula yang kagum pada
keberanian dan, seringkali, kreativitas mereka.
Ada yang menyebut mereka
berandalan. Ada yang menyebut mereka preman. Di beberapa tempat, mereka disebut
anak punk. Sesungguhnya, mereka tidak punya nama apapun, karena mereka berada
di luar kategori umum.
Kehadiran mereka ada di
berbagai tempat, walaupun mereka selalu menjadi minoritas. Kita bisa melihatnya
di bis umum, ketika mereka mengamen. Kita juga mudah melihat mereka, ketika
mereka menjadi pedukung kesebelasan sepak bola tertentu. Pertunjukan musik
biasanya menjadi tempat berkumpul mereka.
Di sisi lain, banyak
pula orang yang berpikir berbeda dengan lingkungannya, walaupun penampilan
mereka layaknya orang pada umumnya. Mereka bernalar dengan cara yang berbeda
dari orang-orang sekitarnya. Seringkali, mereka dibenci, karena perbedaan
tersebut. Namun, di banyak kesempatan, mereka justru menjadi sumber perubahan
ke arah yang lebih baik.
Banyak dari mereka harus
berkonflik dengan rekan kerja atau atasannya. Banyak pula yang akhirnya harus
keluar kerja, hanya karena memiliki pandangan dunia yang berbeda dengan
lingkungannya. Jika ini yang terjadi, kita justru kehilangan orang-orang yang
mampu mendorong perubahan dunia. Kita justru kehilangan orang-orang kreatif
yang memiliki kemungkinan untuk membuat terobosan baru di berbagai bidang.
Sikap Kita
Maka dari itu,
masyarakat perlu belajar untuk membuka diri terhadap kaum “tersisih” ini.
Masyarakat secara luas perlu untuk belajar memahami cara hidup dan cara
berpikir mereka. Baru dengan begitu, konflik bisa dihindari, dan kerja sama
yang baik bisa dilakukan untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Tanpa
upaya untuk membuka diri dan memahami ini, masyarakat akan selalu terbelah
antara “yang umum” dan “yang tersisih”.
Charles Taylor, filsuf
Kanada, berpendapat, bahwa setiap masyarakat, sejatinya, adalah masyarakat
multikultur, yakni masyarakat yang terdiri dari banyak kultur. Dalam arti ini,
kultur adalah bentuk-bentuk kehidupan (forms
of life) khusus yang ada di dalam masyarakat tersebut. Setiap
kultur memiliki hak tidak hanya untuk ada, tetapi juga untuk berkembang sesuai
dengan identitasnya.
Kaum “tersisih” juga
adalah sebuah bentuk kehidupan khusus di dalam masyarakat. Mereka punya hak
tidak hanya untuk hidup, tetapi juga untuk berkembang sejalan dengan jalan
hidup mereka. Perbedaan cara hidup bukanlah dasar untuk mencap mereka sebagai
kriminal, atau melarang kegiatan mereka. Tentu saja, seperti ditegaskan Jürgen
Habermas, filsuf Jerman, batas-batasnya adalah hukum yang adil (gerechte Gesetze),
yang dibuat melalui proses diskusi dengan semua pihak yang berkepentingan atas
hukum tersebut.
Nancy Fraser, filsuf
Amerika, juga berpendapat, bahwa di dalam masyarakat majemuk, seperti
Indonesia, banyak pandangan dunia yang hidup dan berkembang. Banyak kelompok
yang memiliki beragam tata nilai yang berbeda. Semuanya tentu punya hak untuk
hidup dan berkembang. Dalam hal ini, tugas terpenting negara adalah menjamin,
supaya semua kelompok tersebut mampu terlibat secara aktif dan setara (participation parity)
di dalam politik, misalnya dalam pembuatan kebijakan baru, atau dalam
pendidikan masyarakat luas terkait dengan isu tertentu.
Baru dengan begitu, kaum
“tersisih” ini bisa ikut serta membangun masyarakat yang lebih adil dan
sejahtera untuk semua. Keberadaan mereka tidak lagi ditakuti, tetapi justru
diakui dengan bangga hati. Kita semua punya kepentingan akan hal ini. Karena
jangan-jangan, kita sendiri, atau orang dekat dalam hidup kita, sebenarnya,
adalah bagian dari kaum “tersisih” ini…
Wallahu a'lam bisshowab.
Posting Komentar