sumber foto: Qureta
Setelah berbagai aksi di penghujung
tahun 2016, kini muncul aksi 121 yang disebut sebagai aksi bela rakyat. Aksi
diprakarsai oleh Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia (BEM SI). Mereka
menganggap pemerintahan Jokowi-JK tidak becus dalam mengurus negara bahkan
dianggap memeras rakyat karena naiknya harga-harga di awal tahun 2017.
Demonstrasi memang hak setiap warga
negara. Kalau mahasiswa ingin turun ke jalan dan menyuarakan aspirasinya dengan
berdemonstrasi, tentu itu hal yang sah dan tidak salah sama sekali. Namun dalam
demonstrasi kali ini, ada yang sedikit menganggu.
Ada ancaman untuk melaksanakan
reformasi jilid II jika pemerintah tak segera berbenah. Mungkin teman-teman
mahasiswa ingin meniru perjuangan aktivis 98 sehingga sampai mengeluarkan kata
reformasi jilid II.
Pertama kita harus menyadari bahwa
aktivis mahasiswa yang menentang rezim Orde Baru disebabkan oleh sistem
otoritarian yang dipimpin Presiden Soeharto. Banyak orang hidup dalam
penderitaan, tapi tak ada yang boleh membela mereka. Kalau membela, nyawa
terancam hilang, atau paling tidak dicap PKI lalu kemudian kehidupannya
dihabisi secara finansial.
Naiknya harga bahan pokok, BBM, tarif
listrik, dan lain-lain, sebenarnya bukan hal baru. Sejak zaman Soeharto pun
sudah ada yang namanya program pengencangan ikat pinggang. Setiap pemerintahan
pasti mengalami rintangannya masing-masing. Itu hal biasa. Memimpin negeri
sebesar Indonesia tidak mudah. Pasti akan selalu ada kekurangan.
Tapi apa yang membedakan dulu dan kini?
Dulu seburuk apa pun kondisi negara,
kita tidak boleh bersuara. Suara kita dibungkam sementara rezim Soeharto diduga
justru menikmati anggaran negara yang seharusnya disalurkan kepada rakyat. Ini
yang membuat aktivis mahasiswa dulu turun ke jalan menuntut Soeharto untuk
turun. Sebab, selama Soeharto masih ada, bagaimana bisa hak-hak rakyat
dibela?
Kini situasinya berbeda. Berkat
reformasi 98, kita memiliki pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang
wajib mendengar aspirasi kita. Bahkan Presiden Jokowi pada tahun 2015 lalu
pernah mengundang makan para Ketua BEM SI untuk mendengar aspirasi mereka.
Kalau sudah begini, untuk apa demo?
Lagipula setelah keberadaan Mahkamah Konstitusi,
setiap undang-undang yang dirasa tidak adil bisa digugat. Begitu pun dengan
peraturan-peraturan lainnya di bawah undang-undang yang bisa digugat ke
Mahkamah Agung. Ada sarana yang resmi untuk memperjuangkan hak rakyat.
Kalau memang benar keinginannya untuk
membela rakyat, apakah dengan berdemonstrasi kemudian harga-harga tersebut
menjadi turun dan rakyat menjadi sejahtera?
Jika ya, saya pun akan ikut demo. Tapi
kita semua tau dan sadar bahwa ini bukan solusi. Kita bisa terlihat gagah
berteriak membela hak rakyat di depan Istana dan gedung DPR, tapi sepulang dari
sana, apa manfaat yang rakyat dapatkan dari teriakan kita?
Daripada menghabiskan tenaga dan waktu
untuk berdemo, kenapa tidak terlibat aktif dalam program mahasiswa mengabdi di
kampus agar bisa lebih dekat dan mengerti keinginan masyarakat?
Kenapa tidak memberdayakan petani,
buruh, perempuan di desa-desa atau di kampung-kampung agar bisa mandiri secara
ekonomi? atau bergabung dengan komunitas seperti Sabang Merauke yang
mengajarkan toleransi dengan cara pertukaran pelajar?
Kenapa tidak membuat makalah atau
penelitian yang berisi solusi pengendalian harga bahan pokok? atau solusi bahan
bakar alternatif selain minyak mengingat cadangan minyak kita semakin menipis?
Lalu berikan ke pemerintah. Bukankah dengan cara seperti ini pemerintah juga
terbantu untuk menyelesaikan persoalan yang rumit ini?
Seharusnya ini yang kita pikirkan.
Bukan justru berpikir untuk melakukan reformasi jilid II apalagi hendak
menurunkan pemerintahan.
Sebagai mahasiswa, hendaknya kita
berpikir, apa yang akan terjadi jika pemerintahan yang dipilih secara
demokratis turun di tengah jalan? Apa dampaknya? Apakah negeri kita akan lebih
baik? Atau jangan-jangan demokrasi kita justru akan ternoda?
Masalah negeri ini banyak. Jika ingin
membela rakyat, jangan justru menambah masalah. Bantu selesaikan masalah dengan
memberikan solusi. Masalah di negeri ini adalah tanggung jawab kita bersama,
bukan hanya pemerintah.
Demonstrasi adalah cara kuno. Tidak
salah, tapi kuno. Kita tidak perlu meniru perjuangan aktivis 98, itulah
perjuangan mereka. Tugas kita meneruskan perjuangan mereka dengan cara-cara
perjuangan yang baru. Kita mendapat gelar maha untuk menjadi intelektual
seutuhnya yang benar-benar bermanfaat untuk rakyat. wallahu a'lam
opini bebas pribadi, anda boleh tidak setuju.
Posting Komentar