Berikut
ada sebuah tulisan yang dikomentari oleh banyak blogger karena dianggap tulisan
kurang meyakinkan kevalidannya. Tulisan ini di expost oleh Dewa Gilang yang
diambil dari buku karya Prof Slamet Muljana. Berikut paparannya.
Pada
tahun 1968, terbit buku karya Prof. Slamet Muljana, "Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara". Buku itu
segera menimbulkan polemik hebat dan menguatkan kontroversi di kalangan
sejarawan. Pihak pemerintah Orde Baru melalui Kejaksaan Agung segera bertindak.
Buku itu dilarang beredar. Hingga pada Maret 2005, penerbit LKiS memutuskan
untuk menerbitkan kembali buku kontroversial itu.
Sejarawan
Indonesia terkemuka Indonesia saat ini, Asvi Warman Adam, dalam kata
pengantarnya mengungkapkan alasan rezim Orde Baru melarang peredaran buku itu.
Salah satu titik yang menjadi pemicunya adalah bahwa Prof. Slamet Muljana
menyatakan pendapat yang kurang populer, yaitu Walisongo berasal dari Cina.
Dr.
Asvi menulis, "Yang menjadi persoalan adalah saat itu rezim Orde Baru
telah menetapkan Cina sebagai musuh karena negara itu dituduh membantu Gerakan
30 September 1965. Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan
Beijing, dan segala yang berbau Cina dilarang." (Lihat kata pengantar Asvi
Warman Adam pada buku "Runtuhnya....).
Dalam
buku itu, Prof. Slamet membeberkan nama-nama asli Walisongo, yang berbau Cina
dan sangat jauh dari kesan berbau Arab. Slamet menyimpulkan bahwa Sunan Ampel
aslinya bernama Bong Swi Hoo. Ia kemudian menikah dengan Ni Gede Manila yang
merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke
Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Sunan Bonang. Bonang diasuh
Sunan Ampel bersama Giri, yang belakangan dikenal sebagai Sunan Giri.
Bahkan
kesimpulan Prof. Slamet juga merambah hingga nama Sunan Kalijaga, yang menurut
mayoritas versi sejarah sebagai satu-satunya Walisongo asli Indonesia. Menurut
Slamet, Sunan Kalijaga, yang pada masa mudanya bernama Raden Said, tak lain
adalah Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah
adalah Toh A Bo, putra Sultan Trenggana, yang memerintah Demak tahun 1521-1546.
Sementara itu, Sunan Kudus adalah Ja Tik Su.
Kesimpulan
Prof. Slamet ini mengandung banyak kelemahan sehingga rentan terhadap serangan
kritik. Dr Asvi memberikan kritik terhadapnya. Menurut Asvi, Prof. Slamet hanya
mendasarkan kesimpulannyaa pada buku yang ditulis oleh MO Parlindungan. Slamet
diduga tidak memeriksa sendiri naskah-naskah yang berasal dari Klenteng Sam Po
Kong, Semarang.
Selain
menyimpulkan Walisongo berasal dari Cina, Prof. Slamet juga menulis hal
kontroversial lainnya, yaitu perihal mazhab yang dianut oleh Walisongo. Berbeda
dengan mayoritas sejarawan yang menulis bahwa mazhab Syafi'i adalah mazhab
mayoritas Walisongo, maka Prof. Slamet menyimpulkan mazhab Hanafi sebagai
mazhab yang dianut oleh mayoritas Walisongo. Kesimpulan yang selaras dengan
kesimpulannya mengenai Walisongo. Sebab, mazhab Hanafi adalah mazhab mayoritas
di Cina hingga saat ini.
Terlepas
benar-tidaknya, maka penulisan sejarah Walisongo versi Prof. Slamet tentunya
akan memperkaya khazanah kajian masuknya Islam ke Nusantra. Juga membuka
wawasan tentang pengaruh Cina terhadap perkembangan Islam di Nusantara, terutama
pada masa-masa awal, yang mana Agus Sunyoto, sejarawan NU, menegaskan tentang
adanya pengaruh kebudayaan Ceumpa (Kamboja; jika disepakati bahwa Ceumpa
termasuk ke dalam wilayah Cina pada masanya) pada tradisi-tradisi keagamaan di
Indonesia, khususnya warga NU.
Posting Komentar