“Hidup
adalah Kecemasan dan Penderitaan”, demikianlah gambaran yang penulis tangkap
dari premis pemikiran Schopenhauer, seorang filsuf barat yang lahir di kota
Danzig, Jerman 22/01/1788 lalu. Beliau adalah salah satu filsuf yang mampu menghadirkan
pengalaman hidup nya sendiri dalam bentangan filsafat. Schopenhauer berusaha
memotret pesimisme keadaan manusia yang secara kodrati penuh penderitaan dan
kecemasan.
Manusia
dilihat oleh Schopenhauer memiliki watak esensial yang tidak pernah tenang,
stress dan tidak pernah puas. Manusia penuh dengan harapan, keinginan,
kecemasan dan kekhawatiran hidup. Manusia berusaha untuk memuaskan keinginan
hasratnya, tetapi tetap saja merasa kosong, hampa dan menderita. Manusia
senantiasa selalu resah, mengalami kekecewaan, sakit, menderita yang tak
kunjung usai malah berujung dengan tragedi kematian.
Dalam
gagasannya, ia melihat ternyata masalah penderitaan dan kekecawaan keliatannya
sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Ia adalah kodrati dan inheren dalam
jiwa manusia, untuk menghindari berbagai kecemasan hidup dan penderitaan,
kemudian manusia berusaha dengan cara memburu mengumpulkan berbagai
simbol-simbol kebahagiaan, uang yang banyak, isteri atau suami yang “cantik”,
rumah didekorasi seperti istana dan aneka akesoris lainnya, tapi ayal dikata
disaat hal tersebut menjadi miliknya, sang “hasrat” terus meminta dan meminta
lebih dari sekedar yang dimilikinya hari ini, sehingga sebelum dia memperoleh
ketenangan dalam kebahagian sebenarnya, sang ajal relah menjemput duluan.
Dari
situasi demikian kemudian mengajak manusia untuk merenung dan mulai berfilsafat
untuk mendapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan: bagaimana supaya hidup ini
selalu bahagia dan tak terhindar daripenderitaan? Dasar pemikiran Scopenhauer
dituangkan dalam dalam karya utamanya: Die Welt Wille und Vorstellung (Dunia
sebagai kehendak dan gambaran).
Menurut
beliau Dunia adalah gambaran, itulah satu-satunya kebenaran a priori yang kita
miliki. Kita memiliki gambaran tentang dunia dan kita hanya mengenal dunia
seturut gambaran yang sudah terbentuk itu. Sebuah benda an sich tidak dapat
kita kenal. Yang dapat kita kenal adalah benda dalam gambaran mental atau
penampilannya kepada kita.
Dalam
filsafatnya Schopenhauer dunia dibalik penampakan (Noumena) itu disebut sebagai
dunia kehendak (will) dan realitas dalam gambaran mental kita tentang suatu
objek disebut sebagai representasi. Lebih lanjut, ia mengungkapkan untuk dapat
masuk dan mengenal dunia kehendak (will), kita tidak menemukan jalan dari luar
melalui pencerapan inderawi dan rasio.
Dari
luar, kita tidak menemukan pintu untuk masuk ke dalam rumah dunia ini
(will/noumena/ kehendak). Yang ada hanya satu pintu dan pintu itu ada dalam
diri kita sendiri yaitu kehendak itu sendiri. Maka, Pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan yang lahir dari kehendak itu sendiri. Bagi Schopenhauer
kebenaran tidak lahir dari hasil objektifikasi kesadaran yang bersumber dari
inderawi dan atau rasio melainkan ia datang dari lapisan yang lebih mendalam
lagi.
Kebenaran
memahami realitas yang kita yakini sekarang menurut beliau bukanlah kebenaran
itu sendiri, melainkan hanyalah gambaran mental (representasi) hasil olah
kesadaran yang bersifat nisbi, akhir kata dalam pemikirannya ia menutup
rapat-rapat pencarian kebenaran yang bersumber dari pintu inderawi dan rasio
manusia.
Makanya,
Schopenhauer melihat kehidupan dunia ini sebagai penderitaan dan kita tidak
akan pernah menemukan pemenuhan dan pemuasan semua dorongan dan keinginan
hasrat dan nafsu kita. Kalau demikian, sumber penderitaan adalah diri kita
sendiri. manusia selamanya akan menjadi budak dari berbagai macam “hasrat dan
nafsu” yang selalu meminta manusia untuk memenuhinya. Akhirnya manusia akan
selalu merasa tidak puas, munculnya keinginan yang satu sesudah pemuasan yang
lain. Sebuah penderitaan muncul setelah penderitaan yang lain diatasi.
Penderitaan itu adalah realitas yang biasa di dunia, sedangkan kebahagiaan
hanyalah sebuah negativitas, yakni ketiadaan dari penderitaan.
Nampaknya
pemikiran Schopenhauer di atas mirip dengan cara berpikir Budhisme. Budhisme
memiliki pemahaman bahwa penderitaan adalah bagian dari eksistensi manusia.
Inilah hasil refleksi Siddharta Gautama, ketika ia pertama kali ke luar dari
pintu gerbang timur istana disaksikannya laki-laki tua; kemudian dilihatnya
orang sakit di pintu gerbang selatan; di pintu gerbang bagian barat dilihatnya
orang mati dan akhirnya di pintu gerbang utama ia melihat seorang religius
lewat. Empat pertemuan inilah, mengubah hidup Siddharta Gautama sehingga ia
meninggalkan istananya dan menempuh hidup spiritual.
Konsep
Kebebasan dari Penderitaan Schopenhauer semakin terlihat sebagai adaptasi dari
pemikiran sang budha ketika ia mengulang-ulang pernyataan bahwa untuk bebas
dari penderitaan, manusia harus melepaskan kehendaknya sendiri. Dengan
demikian, manusia dapat menemukan ketenangan sehingga ia mengalami pembebasan,
inilah apa yang disebut dalam tradisi budha sebagai jalan moksha atau nirwana,
menyatu dengan alam semesta bagaikan setetes air yang menyatu dengan samudera
dalam ketiadaan.
Adakah
jalan keluar dari lembah penderitaan ini? Schopenhauer mengatakan bahwa
pengetahuan bukanlah jalan keluar yang tepat, sebab semakin tinggi derajat
sebuah mahluk yang ditandai kesanggupan pengetahuan, semakin besar pula
kesanggupannya untuk menderita. Pada tahap ini, menurut Schopenhauer ada tiga
jalan agar manusia mendapatkan kebahagian dan terlepas dari kungkungan
penderitaan dan kecemasan.
Pertama,
Kontemplasi Estetis. Menurut Schopenhauer, untuk bebas dari penderitaan harus
dengan cara kontempelasi estetik atau dengan mengkotempelasikan karya-karya
seni. Bagi Schopenhauer dengan mengkontempelasikan karya seni akan memampukan
manusia lepas dari penderitaan, sebab dengan mengkontempelasikan karya seni
dapat membuka idea-idea abadi yang terjelma dalam karya seni itu. Di sini
Schopenhauer dipengaruhi filsafat Yunani tentang theoria yang dipengaruhi
pemikiran Aristoteles dan Plato.
Menurut
Schopenhauer bentuk seni yang memiliki nilai estetik tertinggi adalah musik dan
yang nilai estetik terendah adalah arsitektur. Arsitektur dianggap memiliki
nilai estetik paling rendah karena dianggap yang paling dekat dengan pemujaan
terhadap kehendak hasrat dan nafsu.
Seorang
manusia yang sedang berkontemplasi dalam seni akan mengalami suka cita yang
mendalam dan terhindar dari budak kehendak tetapi sayangnya kontemplasi estetik
ini bersifat temporer dalam memberikan cita rasa kebahagiaan, misalnya orang
yang mendengarkan karya seni berupa musik, ia akan menikmati dan sejenak
mendapatkan kebahagian tetapi dikala musik itu terhenti maka ia akan digulung
kembali oleh kehendak dan keinginan hasrat-hasrat itu. Maka menurut dia,
kontemplasi estetik bukanlah sarana final untuk menghindarkan dan melepaskan
diri dari berbagai kehendak dan keinginan.
Kedua,
Jalan Etis. Yaitu jalan etika menuju pembebasan dari kehendak. Pelepasan yang
langgeng adalah pelepasan yang dapat diperoleh lewat jalan etis. Untuk
melepaskan diri dari kungkungan kehendak yang bersifat egois, maka satu-satunya
jalan adalah memupuk sikap -empati- dan berbelas kasihan kepada orang lain.
Sikap empati dan belas-kasih merupakan sarana utama dan paling ampuh untuk
membebaskan diri dari penderitaan. Ia tanpa sungkan berkata : “The Fundamental
Characteristic of ethics is Compassion”. Ia adalah dasar dari segala moralitas.
Bagi Schopenhauer sikap belas-kasih kepada sesama manusia, akan menembus
selubung Sang Maya, kefanaan sampai manusia itu menemukan realitas yang
sebenarnya atau realitas noumenal. Jika manusia itu sampai pada realitas
noumenal, maka secara total manusia bebas dari penderitaan. Individualitas
manusia akan menyatu dan kembali ke kehendak alam semesta, seperti setetes air
menyatu dalam air samudra tanpa jejak. Manusia dianggap tidak bermoral ketika
ia bersikap acuh terhadap penderitaan orang lain apalagi memperparahnya,
sebaliknya ia dianggap memiliki moral yang tinggi manakala ia berusaha
berempati dan merasakan penderitaan mereka dan mencoba untuk membantu
penderitaan yang mereka rasakan.
Disaat seperti itulah kehidupan ia bersatu dengan
kehendak ideal yang bersifat universal. Lagi-lagi ia menjelaskan tindakan etis
seperti itupun tidak dapat membendung secara total watak penderitaan yang
dimiliki manusia, ia harus naik kepada tingkatan akhir pelepasan kehendak
dengan melakukan pendakian asketik.
Ketiga, Jalan Asketisme. Jalan ini menurut
beliau merupakan tahap puncak dari pelepasan kehendak dengan melakukan
perjalanan asketik yang ia contoh dan alamatkan kepada sang “budha” orang suci
yang melakukan pendakian spiritual. Dia menolak semua institusi agama yang
masih tercebur dalam urusan dunia dan segala kepentingannya.
Dunia
asketis mensyaratkan apa yang disebut sebagai suatu proses “nullifying of
life”. (peniadaan kehendak hidup) dengan metode bertapa, semedhi seperti yang
tercermin dalam kehidupan sang “Budha”. Lalu bagaimana cara membebaskan dari
penderitaan menurut Budha? Siddharta Gautama pada awalnya mempelajari cara
pembebasan dengan melakukan meditasi yoga. Meditasi ini dikenal pula sebagai
Yogacara. Tujuan meditasi Yogacara ialah untuk konsentrasi pikiran dan
intropeksi ke dalam hati sanubari, sekaligus untuk mengenali jiwa terdalam
manusia. Namun kerapkali cara ini lebih menekankan jiwa dan merendahkan tubuh.
Tubuh dianggap sumber dosa dan layak disiksa bahkan dihancurkan dengan kematian.
Akibatnya,
tubuh kerapakali didera sebagai upaya pembebasan jiwa. Kemudian cara pembebasan
jiwa menurut Budha selanjutnya dengan menjalankan tirakat. Ada yang melakukan
tirakat ekstrim seperti pengikut Jainisme dengan puasa total sampai mati. Kematian
menurut mereka dianggap jalan keluar yang benar bebas dari penderitaan. Hal ini
dipengaruhi konsep dualisme tubuh dan jiwa manusia. Karena itu, cara tirakat
ekstrim ini ditinggalkan Siddharta dan mulai dengan hidup asketik sebagai
bentuk usaha pembebasan manusia dari penderitaan
Posting Komentar