Mahasiswa Unisma baru saja menggelar pesta pemilu raya secara serempak di kampus. Tanpa terkecuali semua Jurusan, Fakultas, bahkan tingkat Universitas memilih para calon pemimpinnya untuk menjabat di masing-masing organisasinya. Baru kali ini saya terpikirkan untuk menuliskan dinamika perpolitikan yang ada di lingkungan kampus. Mungkin tulisan ini juga mewakili gejolak perpolitikan kampus-kampus lain. Kebetulan penulis juga salah satu mahasiswa UIN Maliki Malang yang tidak bisa dipungkiri lagi tulisan ini adalah hasil dari perpadua pengalaman penulis.
“Sampaikanlah Pada ibuku, aku pulang
terlambat waktu, ku akan menaklukan malam, dengan jalan fikiranku”. (Ost.
GIE)
Politik kampus adalah manifestasi dari
gerakan mahasiswa. Berwujud pemerintahan mahasiswa. Kampus sebagai tempat
lahirnya generasi intelektual masa depan, berpengaruh besar terhadap
pembangunan manusia yang berkualitas dan kompeten dibidangnya. Selain itu,
kampus juga merupakan tempat pertaruhan ideologi dan kaderisasi, sehingga
adanya gerak politik di kampus adalah sebuah keniscayaan. Karena hal ini
berkenaan dengan ideologisasi dan pendidikan politik.
Politik kampus kerap disalahpahami
sebagai ujud politisasi kampus (politik praktis), padahal dalam realitasnya
politik kampus adalah lawan sekaligus oposisi dari politik praktis. Tak jarang
kesalahpahaman inilah berdampak kultural bagi sebagian besar mahasiswa dalam
memandang politik kampus. Dinilai sebagai gerakan pragmatis yang bergerak hanya
untuk mendapatkan posisi-posisi strategis tertentu dilingkungan kampus. Di satu
pihak, kelompok gerakan disebut pragmatis; di lain pihak, kelompok “pencela”
disebut apatis-apolitis. Pada akhirnya tidak ada titik temu sinergi antar
keduanya.
Kampus adalah ruang industri pemikiran,
sekaligus tempat yang paling teruji untuk mengukur kompetensi politik,
begitulah yang pernah diungkapkan Anis Matta. Sehingga tidak heran, terjadi
pertaruhan ideologi dan usaha hagemonik – meminjam istilah Gramsci – sebagai
upaya untuk memperebutkan pengaruh politik sekaligus pembentuk stereotype
gerakan mahasiswa yang diinginkan oleh kelompok tertentu.
Bagi organisasi gerakan, seperti KAMMI,
HMI, PMII misalnya. Politik kampus adalah salah satu entitas yang mesti
diperjuangkan. Tentunya, bukan berarti berkonotasi negatif dan sarat
kepentingan. Melainkan sebagai usaha untuk menghidupkan kultur gerakan
mahasiswa dan membangun kesadaran atas kondisi yang melanda negeri ini.
Menduduki posisi sebagai presiden atau
gubernur mahasiswa dengan struktur-struktur didalamnya misalnya, secara tidak
langsung turut membantu usaha perbaikan masyarakat kampus agar lebih respon dan
mampu bergerak dalam memberikan solusi. Di waktu yang sama juga membelajarkan
hakekat berpolitik bagi mahasiswa, baik tentang kepemimpinan, keorganisasian,
strategi dan taktik, hingga kebijakan kampus.
Pengabdian, internalisasi dan menjawab
sinisme
Mahasiswa sebagai creative minority memiliki segudang ide dan gagasan segar dalam menyikapi persoalan yang dihadapi masyarakat kita saat ini. Sehingga perlu adanya saluran untuk mengaktualisasikan diri. Jiwa-jiwa muda yang hidup penuh kepedulian, keprihatinan, dan gagasan selayaknya dieksistensikan agar tidak mati dalam pusaran pragmatisme. Keberadan organisasi mahasiswa di lingkungan internal dan eksternal kampus memberikan ruang dialektika sekaligus panggung unjuk kerja. Dengan demikian kehidupan kampus akan semakin dinamis dan progresif lewat kerja-kerja intelektual dan moral oleh gerakan mahasiswa.
Melalui politik kampus kita belajar
bagaimana memimpin masyarakat, tidak semata dilingkungan kampus. Keberadaan
politik kampus bermanfaat secara luas dalam kehidupan masyarakat, misalnya
dengan turut mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah dan advokasi masyarakat –
dilakukan dengan – aksi-aksi sosial, aksi dialogis, demonstrasi, aksi menulis,
serta agenda-agenda lainnya.
Selain itu, politik kampus menjadi
saluran internalisasi nilai-nilai (kejujuran, tanggungjawab, kepedulian, dan
amanah). Sebagai gerakan moral, Gerakan mahasiswa berperan serta dalam
membangun keshalihan sosial. Terlebih jika kita melihat kondisi perpolitikan di
tanah air akhir-akhir ini, semakin terombang ambing dalam pusaran korupsi dan
manipulasi. Politik kampus dapat menjadi antitesa bagi kondisi buruk tersebut.
Sebagai antitesa atau countertype atas
kondisi perpolitikan saat ini, sebagai gerakan intelektual dan moral yang
teraktualiasi dan terinternalisasi, secara otomatis gerakan mahasiswa menjawab
sinisme-sinisme yang beredar dalam alam pikiran sebagian besar mahasiswa.
Sinisme adalah pandangan meremehkan terhadap gerakan mahasiswa, pandangan ini
terbentuk dari beragam konstruksi pemikiran dan latarbelakang. Upaya inilah
pada akhirnya sedikit banyak melerai stigma sinis terhadap aktivis dan politik
kampus.
Kampus
sebagai medium dakwah
Kampus identik dengan upaya persemaian
gerakan moral dan intelektual. Politik kampus bukanlah tujuan akhir, tapi ia
adalah alat untuk merekonstruksi sendi-sendi moral yang keropos dan lumpuh.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah pakem yang mampu menopang tegaknya sendi-sendi
tersebut. Penopangnya adalah dakwah. “Politisi kampus” yang berpegang pada
ideologi (tali) islam - selagi ia memegang prinsip tauhid dan perbaikan ummat -
disebut sebagai aktivis dakwah kampus.
Aktivis dakwah bukan hanya menjadi
aktivis gerakan sosial-politik. Lebih dari itu, ia menjadi gerakan dakwah
intelektual profetik dan perbaikan ummat. Gerakan dakwah mengedepankan
spritualitas sebagai basis pembentuk kebijakan dan urusan lainnya. Sehingga
keberadaan organisasi dakwah kampus dan organisasi yang dikelola bernafaskan
islam dapat dikatakan sebagai alat alternatif ditengah-tengah krisis ideologi
yang saat ini sedang kita hadapi.
Konsep syumuliyatul islam, menjadikan
islam sebagai cara hidup total yang menyentuh segala aspek kehidupan, termasuk
urusan politik dan gerakan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Gerakan
intelektual profetik dan akhlak bertumpu pada kontruksi hasil pikir dan hasil
zikir. Ia bermuatan ilahiyah. Gerakan intelektual profetik adalah wujud gerakan
yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar dan berprinsip
kemanusiaan universal. Gerakan ini mempertemukan akal dan nalar wahyu pada
usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia
secara organik.
Bertumpu dari landasan berfikir inilah,
gerakan dakwah kampus adalah wasilah yang ideal dalam menghadapi realitas
kampus, wabilkhusus sebagai pioner gerakan kampus.
Akhirnya, keberadaan gerakan pada
intinya sebagai upaya pelayanan dan perbaikan. Serta sebagai ekspresi kecintaan
terhadap Indonesia. Semuanya dimulai dari kampus, semoga kita tetap terjaga! Wallahu
‘alam bisshowab
Posting Komentar