Pengembangan studi terhadap hadits Nabi
jauh lebih komplek dan berat daripada studi al-Quran. Studi atas al-Quran dapat
begitu terbuka luas tanpa harus ada kekhawatiran dari pihak penaafsir akan
berkurangnya otoritas al-Quran sebagai pedoman hidup di manapun dan sampai
kapanpun.
Lain halnya dengan hadits, para ulama
ahli hadits lebih cenderung mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reverse
(segan) dalam melakukan kajian ulang dan pengembangan pemahaman atau pemikiran
terhadap hadits, karena hadits adalah segala ucapan, perbuatan, persetujuan
(taqrir) atau apapun yang disandarkan kepada Nabi. Jadi ada semacam
pengkultusan Nabi, karena itulah sikap ketidak kritisan ulama kepada hadits
bisa jadi bukan karena sisi ilmiah, namum karena sosok Nabi sebagai pemimpin
agama, sebagai utusan Tuhan yang memiliki sifat ma'shum, maka pengkultusan ini
tidak terlekkan dan ini adalah bagian dari kondisi psikologis belaka, bukan
pada sisi ilmiahnya.
Di lain pihak, dinamika masyarakat
dewasa ini begitu cepat menghendaki adanya pengkajian ulang terhadap hadits.
Pada abad ke-7 H, sebuah gerakan dimulai dari Damaskus. Melihat Islam telah
bercampur dengan kesyirikan, perbuatan bidah dan tercampur aduk dengan praktek
keagamaan lain, Ibn Taimiyyah bersama muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
mengobarkan semangat tajdid, proyek purifikasi Islam yang bertolak dari kembali
kepada al-Quran dan hadits. Seiring dengan berjalannya waktu, gerakan ini makin
meluas dan mendapatkan tempatnya di kalangan muslimin.
Gerakan salafi, atau sebuah gerakan
pemurnian Islam dengan kembali ke al-Quran dan hadits menyebar, membuka kembali
pintu ijtihad yang sudah tertutup dan menolak taqlid adalah slogan-slogan yang
selalu diteriakkan kaum salafi. Seorang Ibn Taimiyyah saja jika tidak didukung
dengan semangat para muridnya menyebarkan ajaran Ibn Taimiyyah, tentu tidak akan
meluas seperti dewasa ini. Sikap fanatis Ibnul Qayyim terhadap gurunya tentu
sebuah mata rantai sanad gerakan salafi modern, walaupun tidak semuanya dapat
digeneralisir seperti ini.
Ibnul Qayyim hidup pada zaman yang
carut-marut secara politik, keamanan, ekonomi, dan juga keagamaan. Pasukan
Tartar menyerang Islam tidak hanya di pusat pemerintahan di Baghdad, namun
meluas hingga ke Damaskus. Yang terjadi adalah ketidakstabilan, di mana
penjajah selalu menginjak-injak kaum muslimin, di mana keamanan dan keselamatan
tiap orang tidak bisa terjamin, maka usaha yang dilakukan adalah berjihad
secara fisik, dan berijtihad dengan segala upaya melepaskan kekangan dari
pasukan penjajah.
Di lain pihak, keadaan keagamaan telah
lepas dari rel yang murni, telah bercampur dengan pelbagai macam unsur
non-Islami. Bagi Ibnu Qayyim –yang meneruskan paham Ibn Taimiyyah dalam hal
ini- Islam harus dikembalikan menuju Islam yang murni, tidak tercampur oleh
bid'ah, filsafat, khurofat kaum sufi, hingga percampuran dari luar Islam
seperti peribadatan yang mirip dengan agama Hindu dan logika Yunani.
Dari ruang lingkup zaman dan
komunitasnya, maka semangat kembali pada al-Quran dan Hadits yang didengungkan
Ibn Taimiyyah diterima Ibnul Qayyim. Pemahaman keagamaan model ini merupakan
gambaran dari perlawanan seorang Ibnul Qayyim terhadap hegemoni –kekuasaan,
pemahaman agama, politik- yang sukar dirubah. Walaupun bermadzhab Hambali,
namun tidak sedikit pandangan fikih beliau tidak sama dengan hasil ijtihad
Ahmad bin Hambal. Tidak mengherankan memang, karena Ibnul Qayyim adalah seorang
ulama ensiklopedis yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu. Diketahui beliau
adalah ulama ahli tafsir, hadits, fikih, bahasa, sejarah, ilmu kalam dan
filsafat. Sesuai dengan semangat tajdid, beliau lebih memilih berijtihad
sendiri dengan ilmu yang beliau miliki jika ada ketidakcocokan dalam masalah
agama, dan sangat menolak taklid.
Di antara dakwahnya yang paling
menonjol adalah dakwah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam
masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas
adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah
terjadi. Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada
al-Quran, al-Hadits, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli
(menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu
adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).
Posting Komentar