Ki Hajar Dewantara menemukan taman siswa karena ia sadar
Indonesia memiliki jutaan tanaman. Anak-anak dapat belajar bersama di bawah
pohon, di halaman rumput, bahkan di persimpangan gang. Disana, mereka belajar
mengeja dari alam. Mereka dilatih berinteraksi dengan lingkungan. Belajar dan
bermain bersama teman sebayanya. Lalu, saat teknologi datang, kita mulai
menciptakan sekat dan dinding. Anak-anak diajarkan untuk membaca dan menulis
menggunakan handphone, komputer, atau gadget. Kini, mereka tak lagi tertarik
bersentuhan dengan lingkunganya.
Rasanya, teknologi
yang kita anggap sebagai sarana mencerdaskan anak justru menciptakan sekat
baru. Kita lebih sering melihat anak-anak belajar bersama gadget kesayangannya.
Kebiasaan itu tanpa sadar mengubah anak-anak menjadi robot. Terkadang, kata
“pancasila” bahkan lebih sering dieja dengan sikap seperti robot. Tanpa
pemaknaan. Kehadiran teman juga menjadi hal yang biasa saja. Ketika bertemu
pun, masing-masing asyik dengan mainan digenggamannya.
Perubahan ini mungkin menjadi hal yang wajar bagi beberapa orang. Terkadang, justru dianggap sebagai kemajuan bagi dunia pendidikan. Anak-anak dinilai lebih modern dan menguasai teknologi. Namun, rasanya pemikiran itu tak selalu tepat. Ada bahaya yang sejenak harus kita pikirkan, yaitu matinya rasa kepekaan anak dengan lingkunganya. Anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang sangat individual. Mereka menganggap fasilitas super canggih bisa menjadi apa saja yang mereka inginkan. Guru tak lagi menjadi sosok penting karena sudah ada mesin pencari google yang bisa menjawab apa saja. Mereka juga merasa tak perlu bertanya dengan orang tua atau teman dekatnya. Jika sudah begitu, anak akan sulit menangkap pesan dari lingkungan disekitarnya.
Pergeseran pola pikir anak juga menjadi hal penting lainnya yang ikut terpengaruh. Hal-hal praktis dan instan yang mereka dapatkan mengubah pola pikir anak. Mereka tak lagi memaknai dan menghargaiproses. Akibatnya, saat menemukan kesulitan, anak akan mudah putus asa. Sebagian memilih menyerah dan sebagian lagi memilih jalan yang lebih praktis. Pribadi-pribadi ini tentu bukan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ki Hajar Dewantara saat mendirikan taman siswa.
Kita mungkin perlu mengembalikan anak-anak kepada taman siswa. Konsep belajar yang melatih anak untuk melihat hal-hal kecil yang ada disekitarnya. Taman yang melatih anak untuk menghargai keluarga, teman, dan lingkunganya. Bapak pendidikan itu mengkin ingin menyampaikan pesan mengenai pemaknaaan belajar kepada kita. Belajar yang sejatinya adalah pemaknaan terhadap proses belajar itu sendiri. Dan hasil dari proses itu menjadikan kita sebagai pribadi yang ramah pada lingkungan. Ramah pada apapun yang ada diluar pribadi kita. Sayangnya, Ki Hajar Dewantara menyampaikannya secara tersirat hingga generasi saat ini tak mampu melihatnya. Atau malah sengaja tak menoleh. Entahlah.
Wallahu A’lam
Posting Komentar