Mgr
Albertus Soegijapranata lahir dengan nama Soegija. Soegija dibesarkan dalam keluarga abdi dalem Keraton
Surakarta. Ia mendapatkan nama Albertus Magnus setelah prosesi pembaptisan
ketika bersekolah di Kolese Xaverius, Magelang. Setelah menamatkan sekolahnya,
ia berkeinginan untuk menjadi imam sehingga pada tahun 1916 dikirim
mengikuti kegiatan imamat dan mulai mendalami ilmu agama Katholik, Bahasa
Latin, Yunani, dan filsafat di Gymnasium, Leyden, Belanda. Dari Gymnasium,
Soegija kemudian masuk Novisiat SJ di Mariendaal. Ia belajar filsafat di Kolese
Berchman, Oudenbosch, pada tahun 1923 sampai 1926. Setelah itu, Soegija
mengabdikan dirinya di Kolese Xaverius sebagai pengajar hingga 1928. Ia
kemudian kembali berlayar ke Belanda untuk memperdalam ilmu Teologi di
Maastricht.
Tahun
1931, Soegija menerima Sakramen Imamat di Kota Maastricht dan menambah namanya
dengan Pranata sehingga menjadi Soegijapranata. Dua tahun kemudian,
Soegijapranata kembali ke Indonesia dengan membawa nama baru dan
ditugaskan sebagai pastur pembantu di Bintaran. Tak lama kemudian, ia diangkat
menjadi pastur paroki. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang diangkat
menjadi uskup agung, setelah sebelumnya dinobatkan menjadi Vikaris Apostolik
Semarang.
Soegijapranata
juga dikenal sebagai imam Katolik pertama yang menyesuaikan dan mengembangkan
ajaran Katolik berdasarkan adat ketimuran. Ia menentang anggapan bahwa gereja
identik dengan colonial Belanda. Pada masa penjajahan Jepang, beliau bersikap
tegas terhadap Jepang yang ingin menggunakan gereja sebagai markas. Bersama
Mgr. Willekens, S.J., Soegijapranata pun menghadap ke penguasa Jepang supaya
Rumah Sakit St. Carolus dapat terus beroperasi.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan berkumandang, beliau memerintahkan pengibaran bendara
Merah Putih depan Gereja Gedangan, Semarang. Kedatangan kembali pasukan Sekutu
dan Belanda di Indonesia menimbulkan peperangan yang sengit, termasuk di
Semarang. Beliau kembali berperan besar dengan melindungi para pejuang. Saat
pemerintahan pindah ke Yogyakarta, Soegija pun pindah ke Gereja Santo Yoseph di
Bintaran, Yogya, agar lebih mudah berkomunikasi dengan pemerintah pusat. Beliau
memberi nasihat kepada umat Katolik untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Soegijapranata juga aktif berjuang dalam jalur diplomasi dengan membuat
tulisan-tulisan yang dikirim ke luar negeri, termasuk Vatikan, sehingga
masyarakat dunia mengetahui kondisi di Indonesia.
Setelah
pengakuan kedaulatan di tahun 1949, Soegijapranata kembali berkonsentrasi
menjalankan tugasnya membimbing umat Katolik di Indonesia. Kemudian, pada Mei
1963, ia berangkat ke Eropa untuk menghadiri pemilihan Paus dalam kondisi
kesehatan yang kurang baik. Tanggal 22 juli 1963, beliau meninggal di Belanda.
Jenazahnya kemudian dimakamkan di Semarang
Posting Komentar