Skripsi yang
disusun dari hasil sebuah penelitian ilmiah mahasiswa, merupakan tugas akhir
bagi mahasiswa untuk menyelesaikan program Strata Satunya. Sementara, Tesis
adalah penelitian ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa untuk mengakhiri program
Strata Duanya. Sedangkan, Disertasi adalah karya tulis-menulis mahasiswa yang
dibarengi dengan berbagai penelitian sebelumnya, guna menyelesaikan program
Strata Tiganya. Semua karya ilmiah ini merupahan hasil dari sebuah upaya
penelitian ilmiah.
Disinilah kita
memahami bahwa tugas pendidikan tinggi di seluruh dunia adalah membentuk
mental-mental peneliti, dan inilah hakekat keberadaan manusia di muka bumi ini
untuk menjadi peneliti yang militan, sekaligus sebagai agen-agen perubahan
dalam masyarakat. Kita masih merindukan masyarakat yang memiliki jiwa dan
mental peneliti. Ketika kita memiliki jiwa atawa mental seperti ini, maka
penelitian adalah hidup itu sendiri. Penelitian itu nikmat dan berharga pada
dirinya sendiri. Entah ada dana atau tidak, ada hibah atau tidak, ada yang
memesan atau tidak, ada poin atau tidak, mereka tetap saja meneliti.
Masyarakat
kita, baik yang berada di dunia akademis, maupun bukan, masih begitu merindukan
lahirnya generasi baru peneliti. Dengan berkembangnya penelitian di berbagai
bidang kehidupan, maka akan terbentuk masyarakat yang mempunyai habitus
(kebiasaan yang tertanam di dalam gugus berpikir dan tindakan) baru, di mana
mereka (para peneliti dan akademisi) tidak lagi meneliti untuk mengejar proyek
(pemburu hibah dan peneliti pesanan) atau mengumpulkan angka semata (guna cepat
meraih gelar guru besar/professor), melainkan untuk mencari kebenaran (truth
seeking) sesuai dengan bidangnya masing-masing, dan, dengan demikian, akan
mengangkat harkat dan martabat manusia (human dignity) itu sendiri.
Kita, mungkin
tidak menyadari bahwa hidup kita sehari-hari adalah melakukan tindak penelitian
(research). Karena kata ‘Re-Search’ berarti mencari kembali. Oleh karena itu,
kita selaku individu selalu melakukan proses pencarian kembali, atawa
mengkritisi persoalan hidup kita sendiri, baik yang sudah, sedang dan belum
kita jalani. Penelitian apapun bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun kita
berada. Sehingga seorang peneliti adalah orang-orang yang memiliki jiwa, mental
dan pemikiran yang kritis, rasional dan sistematis.
Menurut Onora
O’Neill, dalam Interpreting The World, Changing The World, Majalah Philosophy
Now, ia menyatakan bahwa semua bentuk penelitian, lahir dari pertanyaan dan
keraguan, namun tak selalu bisa mengarah pada hasil nyata yang bersifat
ekonomis. Tidak ada satu penelitian tunggal yang secara langsung bisa
menghasilkan produk nyata yang menghasilkan uang. Setiap bentuk penelitian
adalah hasil dari kumpulan ratusan bahkan ribuan penelitian lainnya yang
berkembang sejalan dengan perubahan waktu dan perkembangan pemahaman manusia
itu sendiri.
Sebuah
penelitian itu adalah sebuah mata rantai yang terus-menerus berlanjut, tanpa
henti. Bahkan, apapun yang kita pelajari di sekolah-sekolah, mulai dari sekolah
dasar sampai tingkat doktoral, merupakan buah karya dari berbagai penelitian
terdahulu. Seorang yang memiliki jiwa dan mental peneliti selalu memiliki
kesadaran kritis (critical consciousness) untuk senantiasa mengamati dan
menilai situasi sekitar dengan tajam dan jernih. Sehingga, orang-orang yang
memiliki jiwa dan mental peneliti ini akan selalu memiliki kemampuan untuk
menulis secara jernih dan sistematis. Seseorang yang tidak memiliki jiwa dan
mental peneliti, kepekaan dan solidaritas sosialnya tak akan bisa tumbuh,
karena pikiran dan hati nurani dikepung oleh suara-suara dan pembicaraan yang
seringkali dangkal dan mengaburkan pikiran itu sendiri. Ketika budaya
penelitian, yang lahir dari jiwa-jiwa peneliti yang kritis, reflektif, dan kreatif
belumlah terbentuk, maka masyarakat kita akan selalu terhipnosis oleh televisi
yang memberikan tayangan visual tanpa imajinasi, dan kultur ngerumpi dangkal
tanpa refleksi. Sementara, di sisi lain perkembangan teknologi telah
menghasilkan alat-alat canggih yang justru menjauhkan generasi masyarakat muda
dari sikap reflektif-kritis, dan mendekatkannya pada budaya ngerumpi virtual
(media sosial yang digunakan secara dangkal) yang akan menumpulkan
pikiran-pikiran mereka.
Oleh karena
itu, banyak para guru dan dosen mengeluh, karena apa yang mereka berikan di
kelas sebagai bahan ajar, ternyata kalah bersaing dengan iklan dan sinetron
televisi yang lebih menghibur di satu sisi, namun memperbodoh di sisi lain?!
Budaya ini, terlihat begitu jelas, diaman para mahasiswa dan bahkan para dosen
itu sendiri, sekarang ini mengalami kesulitan besar, ketika diminta untuk
menghasilkan karya tulis yang sistematikanya jernih dan mencerahkan. Banyak
karya tulis ilmiah maupun populer dirumuskan dengan sembarangan, kaku dan sulit
dipahami oleh masyarakat awam, sehingga amat sulit untuk menjadi bahan
pengetahuan yang nikmat dicerna, dibaca, apalagi dipahami.
Dengan kondisi
semacam ini, kita bisa mengerti, mengapa generasi baru peneliti yang kritis,
kreatif, dan peka pada kemanusiaan sulit sekali tumbuh dalam kehidupan
masyarakat kita. Salah satu latihan yang cukup mendasar untuk menumbuhkan jiwa
dan mentak sebagi seorang peneliti yang kritis dan kreatif, adalah dengan
menulis berbagai karya ilmiah. Oleh karen itu, setiap jenjang akademis dalam
pendidikan kita, selalu diakhiri dengan menulis Karya Tulis yang dibalut dengan
penelitian ilmiah, baik itu berupa Laporan Kerja, Skripsi, Tesis maupun
Disertasi. Mungkin perlu juga kita pahami, bahwa peran peneliti amatlah besar
untuk mengembangkan dan melestarikan peradaban masyarakat kita.
Para
penelitilah yang berhasil mematahkan pandangan-pandangan lama yang membelenggu
dan menindas martabat kita, selaku individu dan masyarakat. Mereka mampu
mengoreksi kesalahan-kesalahan berpikir yang tersebar di masyarakat, melalui
penelitian mereka yang memang termotivasi untuk menemukan kebenaran di berbagai
bidang. Mereka bisa jadi merupakan orang-orang yang mampu menyalakan dan
pemegang obor peradaban ?! Namun, sungguh sangat disayangkan, apabila orientasi
dan motivasi para peneliti kita saat ini, yang semestinya ditujukan sebagai
upaya untuk mencari kebenaran dan melenyapkan kesalahan berpikir masyarakat
kita, kini telah luntur dan nyaris sirna. Para peneliti di saat ini, berubah
menjadi ‘budak’ dari hibah dan bisnis-industri, yang seringkali justru
membelenggu dan menindas kemanusiaan. Motivasi penelitian mereka tidak lagi
murni berpijak pada rasa ingin tahu dan upaya memperbaiki kehidupan bersama,
yang ujung-ujungnya mereka bukan lagi agen perubahan paradigma, tetapi semata
alat untuk membenarkan paradigma yang sudah ada dan terbukti salah di
masyarakat kita?! Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Posting Komentar