Suatu ketika Rasulullah Muhammad saw
ditanya oleh salah seorang sahabatnya, “Ya, Rasulallah… adakah orang yang
paling disayangi oleh Allah SWT selain Engkau?” Nabi Menjawab, “Ada, yaitu
Salman al-Farisi.” Lalu sahabat bertanya kembali, “Kenapa, ya, Rasulallah dia
begitu disayang Allah?”
Kemudian Nabi pun bercerita bahwa Salman
al-Farisi adalah orang yang berasal dari keluarga miskin, sementara ibunya
sangat ingin naik haji, tetapi untuk berjalanpun dia tidak bisa. Demikian juga
uang untuk pergi ke Tanah Suci tidak punya. Salman al-Farisi begitu bingung menghadapi
kondisi itu. Namun akhirnya, Salman memutuskan untuk mengantar ibunya naik haji
dengan cara menggendong ibunya dari suatu tempat yang begitu jauh dari Mekkah.
Diperlukan waktu berhari-hari untuk melaksanakan perjalanan itu sehingga tanpa
terasa punggung Salman al-Farisi sampai terkelupas kulitnya.”
Begini kisahnya:
Suatu hari ada seorang anak shaleh yang
menggendong ibunya yang tercinta. Dikisahkan ibunya sedang sakit dan tidak
memungkinkan untuk berjalan sendiri, saat perjalanan dari kota Madinah menuju
kota Mekkah dalam rangka melaksanakan ibadah Haji.
Bisa dibayangkan panasnya terik matahari
ketika siang dan dinginnya malam hari serta beratnya gendongan yang ada di
pundaknya bukan?
Betapa berbaktinya anak ini kepada ibunya.
Dia ingin membahagiakan ibunya yang sedang sakit dengan mengantarkannya menuju
rumah Tuhan bahkan dengan menggendongnya. Betapa besar pengorbanan dan
usahanya.
Ketika akhirnya sampai di kota Mekkah
untuk melaksanakan ibadah Haji mereka bertemu dengan Rasulullah. Bahagia sekali
sang anak beserta ibunya ini ketika mereka bertemu dengan Utusan Tuhan yang
sangat mereka cintai dan mereka rindukan.
Saat itu, terjadilah percakapan yang
kurang lebih seperti ini:
Sang anak bertanya kepada Rasul, “Ya
Rasul, apakah saya sudah berbakti kepada orangtua saya? Saya menggendong ibu
saya di pundak saya berjalan dari Madinah sampai Kota Mekkah untuk melaksanakan
ibadah haji.”
Seketika itu pula Rasul menangis. Diiringi
tangisnya, kemudian Rasul menjawab, “Wahai Saudaraku, engkau sungguh anak yang
luar biasa, engkau benar-benar anak shaleh, tapi maaf, (sambil tetap menangis)
apapun yang kamu lakukan di dunia ini untuk membahagiakan orangtuamu, apapun
usaha kerasmu untuk menyenangkan orangtuamu, tidak akan pernah bisa membalas
jasa mereka yang telah membesarkanmu.”
Mendengar apa yang disampaikan Rasulullah,
alih-alih kecewa, Salman pun bahkan lebih bersemangat lagi untuk meningkatkan
bakti dan pelayanan terbaiknya kepada sang Ibu.
Begitulah Salman memberikan teladan kepada
kita, bagaimana seharusnya bakti anak kepada Ibundanya.
***
Selain itu, ada juga kisah luar
biasa tentang Salman al-Farisi, ketika dirinya hendak menikah.
Tersebutlah seorang wanita Anshar yang
dikenalnya sebagai wanita shalihah yang selama ini telah menarik perhatiannya.
Tapi bagaimanapun, di sisi lain dalam pandangan Salman, Madinah bukanlah tempat
dia tumbuh dewasa. Ia berpikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi
urusan pelik bagi seorang pendatang seperti dirinya. Maka, disampaikanlah
gejolak hatinya itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, yakni
Abu Darda’.
“Subhanallah, walhamdulillah..” betapa
senang hati Abu Darda’ mendengar pengakuan dan itikad baik Salman. Persiapan
pun dilakukan. Setelah persiapan rampung, beriringanlah kedua sahabat itu
menuju rumah wanita shalihah yang dimaksud.
“Saya Abu Darda’, dan ini adalah saudara
saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam. Ia juga
telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Salman memiliki kedudukan yang
utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya.
Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk
dipersuntingnya,” tutur Abu Darda’ kepada orangtua si gadis.
Mendengar penjelasan Abu Darda’, Ayah
wanita shalihah itu pun menjawab, “Adalah kehormatan bagi kami menerima Anda,
sahabat Rasulullah yang mulia. Dan suatu penghargaan bagi kami
bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak
jawab ini sepenuhnya kami serahkan kepada puteri kami.”
Mendengar jawaban itu, Abu Darda’ dan
Salman terpaksa menunggu dengan perasaan berdebar-debar. Hingga sang Ibu wanita
shalihah yang kemudian muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan
puterinya.
“Maafkan kami atas keterusterangan ini.
Dengan mengharap Ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan
Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka
puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Keterusterangan yang di luar prediksi.
Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada
pelamarnya. Ironis sekaligus indah. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk
ketika cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan
sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran.
Tampaknya, Salman memang belum punya hak
apapun atas wanita shalihah yang dicintainya.
Tapi, apa yang kemudian dikatakan Salman?
“Allahu Akbar! Jika demikian, biarlah
kuikhlaskan semua mahar yang kupersiapkan ini untuk saudaraku Abu Darda’, dan
aku siap untuk menjadi saksi atas pernikahan kalian.”
Subhanallah, betapa indahnya kebesaran
hati Salman al-Farisi yang tak sedikitpun merasa telah direndahkan sebagai
sahabat yang kedudukannya mulia di mata Nabi. Dia begitu paham betapapun
besarnya cinta kepada seorang wanita, tidaklah serta-merta memberinya hak
untuk memiliki wanita itu.
Bagi Salman, sebelum lamaran diterima,
sebelum ijab qabul diikrarkan, tetaplah cinta tidak
menghalalkan hubungan dua insan.
Salman pun sangat paham akan arti
persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ telah dipersaudarakan oleh Rasulullah
saw dengan Salman. Bukanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas
kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia merasa dengki atas kebahagiaan
dan nikmat yang dikaruniakan Allah atas saudaranya.
Hal ini sebagaimana Sabda Nabi, “Tidaklah
seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk
saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” [HR Bukhari]
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari
kisah bakti Salman kepada Ibundanya dan mampu meneladani bagaimana watak mulia
dan ketulusannya dalam bersahabat dengan seseorang yang telah dipersaudarakan
oleh Rasul kepadanya. Betapa teguhnya dia memelihara tali persaudaraan yang
diamanahkan Rasul untuknya, meski harus mengorbankan perasaan dan kepentingan
pribadinya sendiri. Itulah wujud penghormatan Salman kepada Nabi, sosok mulia
yang teramat sangat dicintainya melebihi cinta kepada dirinya sendiri.
wallahualambisshowab.
Posting Komentar