Kisah ini adalah penggalan kata dari kisah karya Salim A. Fillah
dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang. Buku ini banyak menceritakan
kisah dan satu di antaranya mengenai keberanian cinta Ali bin Abi Thalib
dalam memperjuangkan cintanya terhadap Fatimah, putri Rasulullah saw.. Banyak
hikmah yang bisa kita dapatkan dari kisah islami tersebut. Kita dapat belajar
cinta dari kisah Ali bin Abi Thalib ini.
Dalam kisah berikut diceritakan bahwa ada suatu rahasia
dalam hati Ali bin Abi Thalib yang sangat ia jaga. Ia tutup rapat-rapat rahasia
tersebut dan tak menceritakannya kepada siapa pun, yakni rasa kagumnya pada
Fatimah, putri Rasulullah. Ali mengenal Fatimah sejak lama sebab mereka berdua
adalah teman karib dari kecil. Namun, antara keduanya saling menjaga diri. Kita
dapat belajar cinta dari kisah islami Ali bin Abi Thalib ini.
Bagi Ali, Fatimah adalah sosok wanita yang
mengagumkan. Fatimah tak hanya memiliki paras yang cantik, tetapi juga
memiliki akhlak yang baik. Kesalehan dan rasa bakti yang tinggi kepada
Rasulullah dari diri Fatimah benar-benar mampu memesona Ali. Suatu ketika,
Rasulullah menghampiri Fatimah dengan luka yang memercik darah dan kepala yang
dilumuri isi perut unta. Fatimah geram, ia bersihkan luka-luka itu dengan hati
yang teriris. Setelah ia mengetahui bahwa itu adalah perbuatan kaum Quraisy, ia
tak lantas takut, tetapi dengan berani ia pergi menuju Kabah dan menghardik
para kaum Quraisy. Ini adalah bentuk keberanian yang ada dalam diri Fatimah
yang membuat Ali bin Abi Thalib kagum.
Berkaitan dengan cinta, dikisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib
sendiri pun tidak mengetahui dengan pasti perasaan seperti itu bisa disebut
sebagai cinta atau tidak. Sampai suatu ketika, ia mendengar kabar yang
membuatnya terkejut tentang Fatimah yang akan dilamar oleh Abu Bakar Ash
Shiddiq.
Ali merasa bahwa ia sedang diri. Ali berpikir bahwa ia tak
dapat dibandingkan dengan Abu Bakar. Abu Bakar ialah lelaki yang iman dan
akhlaknya tak dapat diragukan. Lelaki yang rela membela Islam dengan harta dan
jiwanya. Abu Bakar menjadi teman Nabi dalam perjalanan hijrah, sementara Ali
hanya bertugas untuk menggantikan beliau menanti maut di ranjangnya. Dalam
dakwah, banyak tokoh bangsawan dan saudagar Mekah yang masuk Islam karena
ikhtiar Abu Bakar. Dari segi finansial, banyak budak muslim yang telah
dibebaskan dan para fakir yang telah dibela oleh Abu Bakar. Namun, Ali? Dari
banyak sisi, Abu Bakar dapat melakukan hal-hal yang belum bisa ‘Ali lakukan.
Dengan demikian, insya Allah akan lebih bisa membahagiakan Fatimah, pikirnya.
Menurut pemikiran Ali, ia hanyalah pemuda miskin dari
keluarga miskin yang tak dapat disejajarkan dengan Abu Bakar. “Inilah
persaudaraan dan cinta. Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku dan aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku,” gumam Ali dalam hati.
Semangat Ali
Setelah beberapa waktu berlalu, Ali mendengar kabar yang
membuat hatinya bahagia. Tunas-tunas harapan di hatinya yang sempat layu
setelah mendengar kabar itu kini dapat tumbuh kembali. Kabar bahwa ternyata
Rasulullah menolak lamaran Abu Bakar. Lalu, apa yang Ali lakukan? Ali terus
menjaga semangatnya dalam mempersiapkan dan memantaskan diri agar bisa melamar
Fatimah kelak. Tentu saja, lagi-lagi kita dapat belajar cinta dari kisah islami
Ali bin Abi Thalib yang satu ini. Berjuang memperbaiki diri adalah salah satu
cara yang tepat dalam pemantasan diri.
Selanjutnya, apa yang terjadi? Lagi-lagi kesungguhan Ali
diuji. Setelah Abu Bakar, datang lagi seorang laki-laki yang melamar Fatimah.
Lelaki yang memiliki perangai yang gagah dan perkasa. Lelaki yang setelah
keislamannya berhasil membuat kaum muslimin berani mengangkat muka mereka
dengan tegak dan lelaki yang membuat para setan berlari karena takut akan
dirinya. Ia adalah Umar bin Khattab, salah satu orang terdekat Nabi.
Mengetahui hal ini, lagi-lagi Ali merasa bahwa dirinya tak
sepadan dan tak dapat disejajarkan dengannya. Umar bin Khattab adalah salah
seorang yang sangat dekat dengan Nabi. Ali mendengar sendiri betapa seringnya
Nabi mengatakan, “Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar. Aku keluar bersama Abu
Bakar dan Umar. Aku masuk bersama Abu Bakr dan Umar ….” Ini membuktikan betapa
tinggi kedudukannya di sisi Nabi, di sisi ayah Fatimah.
Ketika berhijrah, Umar berjalan mendampingi Nabi, kemudian
Ia tawaf tujuh kali dan naik ke atas Kabah. “Wahai, Quraisy! Hari ini putera Al
Khattab akan berhijrah. Barang siapa yang ingin istrinya menjanda, anaknya
menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang Umar di balik
bukit ini!” kata Umar. Berbeda dengan Umar, Ali hanya menyusul sang Nabi
dengan sembunyi agar selamat dari kejaran musuh. Sangat berbeda. Ali tersadar
jika melihat dari segala sisi, ia pemuda yang belum siap menikah, terlebih
menikahi Fatimah. Menurutnya, Umar jauh lebih layak dan Ali ridha.
Namun, kemudian terdengar kabar bahwa lamaran Umar pun
ditolak. Mendengar kabar itu, Ali hanya bisa merenung. Menantu seperti apakah
yang sebenarnya diinginkan oleh Rasulullah. Apakah seperti dua menantu yang
telah dimiliki Rasulullah? Utsman yang memiliki banyak harta atau Abul ’Ash ibn
Rabi’kah saudagar Quraisy? Kriteria menantu yang membuat Ali semakin kehilangan
kepercayaan dirinya.
“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya
firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu baginda Nabi ….” pertanyaan dari
teman ansar menyadarkan Ali dari lamunan.
“Aku? Aku hanyalah pemuda yang miskin. Apa yang bisa
kuandalkan?” tanya Ali tak yakin.
“Tenang saja. Kami di belakangmu! Semoga Allah menolongmu!”
jawab teman-teman ansar.
Setelah iu, Ali berpikir, “Aku akan diam saja, sementara
kesempatan sudah di depan mata atau meminta Fatimah untuk menantikanku di batas
waktu dan menunguku hingga sekitar dua atau tiga tahun sampai aku siap?”
“Ah, itu kekanak-kanakan dan memalukan,” pikirnya. Tak lama,
Ali pun memberanikan dirinya untuk menghadap sang Nabi. Ia menyampaikan
keinginannya untuk menikahi Fatimah, walaupun ia sadar diri bahwa secara
finansial tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Ia hanya memiliki satu set
baju besi dan persediaan tepung kasar untuk makannya.
“Ahlan wa sahlan! Engkau pemuda sejati wahai, Ali!”
Rasulullah berkata dengan senyuman di wajahnya.
Ali ialah Pemuda yang siap bertanggung jawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul risiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin
bahwa Allah Maha Kaya.
Dengan jawaban itu, Ali merasa bingung. Ucapan selamat
datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat sebuah penerimaan atau
penolakan. Pikirnya, mungkin Nabi bingung untuk memberikan jawaban. Jika itu
sebuah penolakan, ia siap karena itu sudah menjadi risikonya.
“Bagaimana jawaban Nabi, Kawan? Bagaimana lamaranmu?”
tanya kawan Ali.
“Entahlah. Menurut kalian apakah ‘ahlan wa sahlan‘ berarti
sebuah jawaban?” tanya Ali dengan wajah bingung.
”Satu kata saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan
saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Kau mendapatkan ahlan wa sahlan,
Kawan! Dua-duanya berarti ya!” jawab kawan-kawan Ali.
Ali pun akhirnya menikahi Fatimah dengan menggadaikan baju
besinya.
Ternyata, dalam kisah ini diceritakan tentang hal yang
dilakukan oleh putri sang Nabi saat ia menjaga dirinya. Dalam suatu riwayat
dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fatimah berkata kepada,
“Ali, maafkan aku karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh
cinta pada seorang pemuda.”
Ali terkejut dan berkata, “Kalau begitu, mengapa engkau mau
menikah denganku? Lalu, siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum, Fatimah berkata, “Ya, karena pemuda itu
adalah dirimu.”
Posting Komentar