MAKALAH
DisusunOleh:
Fita yulia
wahyu ningrum (2130720088)
Nur
habibah lisiana mukhlis (2130720082)
Misbahudin
(2130720096)
Jurusan
Pendidikan Matematika
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Islam Malang
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur
kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah Mata kuliah Agama V ( keaswajaan) tentang “Orientasi Pembenar (Dalil) Tentang Pelaksanaan Sholat Terawih 20
Rokaat, Pelaksanaan Doa Qunut, Dan Sholat Jumat Menggunakan Dua Kali Adzan” sesuai dengan
yang kami harapkan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Rasulullah
Muhamad Saw, sebagai pembawa petunjuk kebenaran untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.
Tak lupa pula kami haturkan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat terselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pepatah mengatakan “tak ada gading
yang tak retak” , kami mohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan dalam
makalah ini dan kami juga mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pada pembaca pada
umumnya. Aaamiin…
Wassalamualaikum
Wr. Wb
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ibadah salat
merupakan salah satu pilar agama. Melalui salat seseorang dapat kita bedakan
Muslim atau bukan. Apabila dia tekun melakukannya, maka dia dapat dikategorikan
sebagai Muslim, terlepas dari adanya perbedaan mempraktekkannya.
Keyakinan
semacam ini telah sedemikian rupa oleh setiap orang yang menyatakan dirinya
Muslim. Namun ironisnya, di antara mereka yang mengaku sebagai Muslim, masih
ada orang yang mengkafirkan saudaranya sendiri, hanya karena perbedaan cara
mempraktekkan ibadah tersebut.
Berbeda
pendapat dalam hal ini, sebenarnya adalah sikap yang sangat wajar, asalakan
tidak sampai mengubah esensi salat itu sendiri, hal tersebut dikarenakan
terjadinya perbedaan sejarah asal muasal riwayat yang sampai ke telinga para
mujtahid.
Pada makalah ini pembahasan dalil-dalil lebih
kepada pemaknaan hadits. Karena salat yang termaktub dalam al-quran masih
sangat universal. Sehingga butuh rujukan Rosulullah SAW, kita sebagai umat yang
tidak ada di zaman beliau maka perlu mengkajinya lewat sejarah dan buku-buku
hadits. Melalui pemahaman para mujtahid maka diperoleh suatu keputusan yang
disebut dengan Hadits, Sunnah, Ijma, Qiyas. Dari itu dalil-dalil yang dijadikan
penguat tentang salat terawih 20 rakaat, doa qunut dalam salat, dan adzan dua
kali dalam salat jumat diambil dari fatwa-fatwa para mujtahid terkait
pemahamaanya dalam hal tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Dalam penulisan
makalah ini, penulis menyimpulkan suatu rumusan permasalahan yang akan dibahas
pada pembahasan di BAB II. Diantara
rumusan masalah itu adalah sebagai berikut :
1.
Apa dalil yang
menjadi penguat terhadap salat terawih yang dilakukan sebanyak 20 rakaat?
2.
Bagaimana
pandangan para ulama terkait pemahaman dalil yang diyakini sebagai anjuran
dilaksanakan salat terawih sebanyak 20 rakaat?
3.
Berapa banyak
dalil yang menjadi dalil penguat dilaksanakannya qunut dalam salat serta
bagaimana penjelasannya?
4. Apa dalil yang dijadikan rujukan kebenaran terhadap dilaksanakannya
adzan dua kali pada salat jum’at?
1.3 Tujuan penulisan
Penulisan
makalah ini untuk menyumbang bahan diskusi dalam perkuliahan. Di samping itu
untuk melatih berkarya dalam sebuah karya tulis ilmiah dan bisa dibaca oleh
khalayak umum. Karena hal ini meyangkut pemahaman tentang dalil-dalil penguat
dari dilaksanakannya salat terawih 20 rakaat, doa qunut dalam salat, dan adzan
dua kali pada salat jumat. Harapan besar tiada lain dari penulisan makalah ini
hanya untuk mencari ridho Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Sholat Terawih 20 Rakaat
Dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh Juz 2 disebutkan:
”Shalat Tarawih atau Qiyamu Ramadhan. 20 Rakaat, sunnah muakkad.
Ada pun dalil bahwa rakaatnya 20 adalah: Riwayat dari Yazid bin Rouman yang berkata: ”Adalah manusia mendirikan Qiyamu Ramadhan di zaman Umar dengan 23 rakaat.” Semua itu disaksikan oleh dan diikuti oleh segenap shahabat, sehingga jadilah ia ijma’. Abu Bakar Abdul Aziz meriwayatkan dalam Asy-Syafi dari Ibnu Abbas: ”Bahwa Nabi SAW shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat.” Dan adalah Umar ketika mengumpulkan manusia di belakang Ubai bin Ka’ab, mereka shalat 20 rakaat. Dan dari Ali bahwa beliau memerintahkan seorang untuk menjadi imam di bulan Ramadhan dengan 20 raka’at. Dan ini adalah ijma’. Dan telah tetap bahwa Ubai bin Ka’ab ketika mengimami manusia mereka shalat 20 rakaat Qiyamu Ramadhan.
”Shalat Tarawih atau Qiyamu Ramadhan. 20 Rakaat, sunnah muakkad.
Ada pun dalil bahwa rakaatnya 20 adalah: Riwayat dari Yazid bin Rouman yang berkata: ”Adalah manusia mendirikan Qiyamu Ramadhan di zaman Umar dengan 23 rakaat.” Semua itu disaksikan oleh dan diikuti oleh segenap shahabat, sehingga jadilah ia ijma’. Abu Bakar Abdul Aziz meriwayatkan dalam Asy-Syafi dari Ibnu Abbas: ”Bahwa Nabi SAW shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat.” Dan adalah Umar ketika mengumpulkan manusia di belakang Ubai bin Ka’ab, mereka shalat 20 rakaat. Dan dari Ali bahwa beliau memerintahkan seorang untuk menjadi imam di bulan Ramadhan dengan 20 raka’at. Dan ini adalah ijma’. Dan telah tetap bahwa Ubai bin Ka’ab ketika mengimami manusia mereka shalat 20 rakaat Qiyamu Ramadhan.
Sebagian Ulama menfatwakan bahwa shalat Tarawih itu 11 raka’at.
Sesungguhnya dalil yang mendasarinya hanyalah 2, yaitu:
1.
Dalil Pertama
Hadits dari Aisyah Rda.: “Adalah Rasulullah SAW tidak pernah menambah
lebih dari 11 rakaat, di bulan Ramadhan dan di bulan yang lain, beliau shalat
empat raka’at, jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat
lagi empat raka’at, jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian
beliau shalat (witir) tiga raka’at. Maka aku (A’isyah) bertanya: ”Apakah engkau
tidur sebelum beriwitir?” Nabi SAW menjawab: ”Sesungguhnya kedua mataku
terpejam, tapi hatiku tidak tidur.” (HR Imam Bukhari Muslim)
Mari kita kupas masing-masing dalil tersebut. Dalil pertama ternyata
bukanlah dalil tentang shalat Tarawih, karena tidak ada Tarawih di luar
Ramadhan. Para ahli hadits seperti Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam
Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Baihaqi, dan
lain-lain tidak menggunakan hadits tersebut sebagai dasar untuk menetapkan
bilangan raka’at Tarawih.
Sebagian orang menyangka bahwa para Ulama Salaf itu tidak tahu
adanya hadits tersebut. Ini jelas salah sangka yang parah dan kebodohan yang
perlu diluruskan. Sudah jelas hadits itu riwiyatkan oleh Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Tirmidzi, dan juga Imam Baihaqi. Tapi, kenyataannya para Ulama
salaf itu justru memilih 20 rakaat Tarawih. Mengapa? Apakah para Ulama Salaf
itu menentang hadits Nabi? Jawabannya jelas bukan. Yang benar adalah karena
mereka semua tahu bahwa hadits itu bukan tentang Tarawih. Para Imam itu adalah
para Ulama yang bermadzhab Syafi’i dalam Fiqih, dan kita semua tahu bahwa semua
Ulama madzhab sepakat bahwa jumlah raka’at tarawih adalah 20 rakaat.
Di akhir zaman ini saja kita memaksakan penafsiran bahwa hadits itu
bicara tentang Tarawih, padahal bukan. Kesalahan berdalil memang bisa
berbahaya.
Baiklah kini kita ungkap tentang pandangan Imam Ibnu Taimiyah. Beliau dikenal sebagai Ulama pembela sunnah dan penentang bid’ah, paling tidak demikian menurut pendapat para pengikut beliau. Beliau ini hidup terpisah 7 abad dengan masa shahabat. Boleh dikatakan beliau inilah yang dianggap orang yang mempopulerkan shalat Tarawih 8 rakaat. Tapi, mari kita lihat apa yang beliau katakan dalam Kitab Fatawa-nya:”Telah terbukti bahwa shahabat Ubay bin Ka’ab mengerjakan shalat Ramadhan bersama orang-orang waktu itu sebanyak 20 raka’at, lalu mengerjakan witir 3 raka’at. Kemudian mayoritas Ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah, karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu.”
Baiklah kini kita ungkap tentang pandangan Imam Ibnu Taimiyah. Beliau dikenal sebagai Ulama pembela sunnah dan penentang bid’ah, paling tidak demikian menurut pendapat para pengikut beliau. Beliau ini hidup terpisah 7 abad dengan masa shahabat. Boleh dikatakan beliau inilah yang dianggap orang yang mempopulerkan shalat Tarawih 8 rakaat. Tapi, mari kita lihat apa yang beliau katakan dalam Kitab Fatawa-nya:”Telah terbukti bahwa shahabat Ubay bin Ka’ab mengerjakan shalat Ramadhan bersama orang-orang waktu itu sebanyak 20 raka’at, lalu mengerjakan witir 3 raka’at. Kemudian mayoritas Ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah, karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu.”
Ada baiknya juga kita tampilkan pandangan dari Abdullah bin
Muhammad bin Abdul Wahab (Tokoh Wahabi). Dalam Kitab Majma’ Fatawi an-Najdiyah
diterangkan tentang jawaban beliau ketika ditanya tentang bilangan raka’at
Tarawih. Beliau menjawab bahwa shahabat Umar mengumpulkan manusia untuk shalat
berjama’ah di belakang Ubay bin Ka’ab. Maka mereka shalat 20 raka’at.
Jadi, hanyalah orang salah tafsir yang mengatakan bahwa Tarawih 20
rakaat itu pekerjaan bid’ah yang sesat, karena seluruh orang alim telah
menyatakan kesunnahannya. Hal itu hanya dikatakan oleh orang-orang di akhir
zaman ini saja. Bila Imam Bukhari, Muslim, Imam Tirmidzi, dan Imam Baihaqi yang
meriwayatkan Hadits tersebut tidak menganggapnya sebagai dalil untuk Shalat
Tarawih, mengapa pula orang-orang di akhir zaman merasa lebih tahu dan
melakukan kesalahan dengan menggunakannya sebagai dalil Tarawih?
Nabi SAW telah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mematikan ilmu
dengan cara mencabutnya dari dada para ulama, akan tetapi Allah mematikan ilmu
dengan mematikan para ulamanya, jika telah tiada orang alim maka manusia akan
mengangkat pemimpin orang-orang yang bodoh. Ketika ditanya mereka memberikan
fatwanya tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”(HR Bukhari Muslim)
Maka, waspadalah kepada fatwa-fatwa di akhir zaman ini yang
menyelisihi pendapat yang telah disepakati oleh para Ulama Salaf.
2.
Dalil Kedua
Riwayat dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Said bin
Yazid, ia berkata,”Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubai bin Ka’ab dan
Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan sebelas rakaat.”
Matan riwayat ini ternyata ada selisih, karena menurut riwayat dari
Yazid bin Khushaifah bilangannya adalah 20 rakaat. Para pembela 11 rakaat
mengatakan bahwa riwayat dari Yazid ini adalah Syadz (nyleneh). Tapi,
sebenarnya tidak ada yang mengatakannya demikian kecuali Syaikh Al-Albani.
Pendapat Syaikh Al-Albani ini kemudian diikuti saja secara taqlid buta oleh
para pengikut beliau tanpa meneliti lebih lanjut.
Sebenarnya yang syadz justru riwayat yang mengatakan 11 rakaat,
karena berbeda dengan kenyataan yang dilakukan pada masa itu. Selain itu, suatu
dalil yang matannya dipertentangkan tidak bisa disebut shahih, karena dhaif
secara matan. Maka, atas dasar apa Al-Albani mengatakan bahwa riwayat ini
shahih? Beliau menggunakan argumen bahwa riwayat ini sesuai dengan hadits
A’isyah yang mengatakan bahwa Nabi shalat malam 11 rakaat. Pendapat Albani ini
juga diikuti secara taqlid buta oleh para pengikut beliau.
Argumen ini sungguh tidak tepat. Pertama, yang dijadikan rujukan
bukan berbicara tentang persoalan yang disandarkan kepadanya. Maka, tidak bisa
kedua dalil itu disambungkan, karena tidak sesuai dengan ilmu musthalah hadits.
Kedua, Imam Malik sendiri yang meriwayatkan khabar tersebut justru berpendapat bahwa Tarawih itu 20 rakaat, sebagaimana yang kemudian menjadi fatwa resmi madzhab Maliki. Bila ada yang mengatakan bahwa Imam Malik memilih 11 rakaat, maka itu suatu kebohongan.. Seluruh kitab fiqih populer jelas menyebutkan bahwa menurut madzhab Maliki bilangan rakaat Tarawih adalah 20 rakaat. Silakan periksa pada Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, juga kitab Al-Fiqh alaa Madzaahib al-Arba’ah. Bahkan sebagian fatwa dalam fiqih Maliki justru menjustifikasi jumlah 36 rakaat sebagaimana dilakukan di Madinah pada zaman tabi’in, yaitu di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, Imam Malik sendiri yang meriwayatkan khabar tersebut justru berpendapat bahwa Tarawih itu 20 rakaat, sebagaimana yang kemudian menjadi fatwa resmi madzhab Maliki. Bila ada yang mengatakan bahwa Imam Malik memilih 11 rakaat, maka itu suatu kebohongan.. Seluruh kitab fiqih populer jelas menyebutkan bahwa menurut madzhab Maliki bilangan rakaat Tarawih adalah 20 rakaat. Silakan periksa pada Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, juga kitab Al-Fiqh alaa Madzaahib al-Arba’ah. Bahkan sebagian fatwa dalam fiqih Maliki justru menjustifikasi jumlah 36 rakaat sebagaimana dilakukan di Madinah pada zaman tabi’in, yaitu di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Sangat tidak logis bila Imam Malik mengetahui suatu dalil kemudian
beliau menentang dalil tersebut. Semua orang, termasuk di luar kalangan Madzhab
Maliki, mengakui bahwa beliau adalah orang yang tsiqah dan memegang teguh
sunnah. Bahkan belaiulah pelopor diutamakannya dalil hadits di atas dalil
rasio.
Maka, dalil kedua ini pun gugur dan tidak dapat dijadikan argumen sebagai dasar untuk menjustifikasi bahwa shalat Tarawih itu 11 raka’at dan yang 20 rakaat adalah bid’ah dhalalah. Selain itu, tidak mungkin para Imam madzhab dan Imam-imam Hadits itu adalah para pembuat bid’ah.
Maka, dalil kedua ini pun gugur dan tidak dapat dijadikan argumen sebagai dasar untuk menjustifikasi bahwa shalat Tarawih itu 11 raka’at dan yang 20 rakaat adalah bid’ah dhalalah. Selain itu, tidak mungkin para Imam madzhab dan Imam-imam Hadits itu adalah para pembuat bid’ah.
3.
Dalil-dalil yang lain
Sesungguhnya tidak ada lagi dalil lain yang cukup kuat untuk
menyokong pendapat Tarawih 11 rakaat itu. Ada satu hadits dhaif dari Ibnu Umar
Ra., beliau menyebutkan, “Nabi SAW menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia
delapan raka’at kemudian witir.” (HR Ibnu Hibban) Albani mengatakan bahwa
hadits ini derajatnya adalah Hasan berdasarkan syahidnya (meningkat dari dhaif
menjadi hasan karena ada hadits dari A’isyah). Ini juga tidak tepat, karena
syahidnya tidak mencocoki dengan masalah yang disyahidi. Dengan kata lain,
sebenarnya syahidnya tidak ada.
Bila dalil dari A’isyah dipergunakan untuk shalat Tarawih maka
dalil-dali berikut ini pun harus dipergunakan pula: Zaid bin Khalid al-Juhani
berkata: ”Aku perhatikan shalat malam Rasulullah SAW. Beliau shalat dua rakaat
yang ringan, kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat
dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian
shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua
rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat
(tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang
demikian adalah tiga belas rakaat.” (HR Imam Malik, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu
Nashr).
Dari Aisyah Rda., ia berkata: Adalah Rasulullah SAW apabila bangun
malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan
rakaat, kemudian berwitir (tiga rakaat). (HR Imam Ahmad dan Nasa’i.
Dari Aisyah Rda., adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan
rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima
rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali
pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan
shalat dua rakaat yang ringan. (HR Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan
Baihaqi)
Selain itu, bila kita tandingkan perkataan A’isyah yang mengatakan
bahwa Nabi shalat tidak lebih dari 11 raka’at menjadi dipertanyakan, karena ada
hadits shahih yang lain yang menyebutkan bahwa beliau ada shalat lebih dari 11
raka’at. Ini menunjukkan bahwa ini semua bukan dalil tentang shalat Tarawih. Selain
itu, dalam mengambil hukum dari suatu dalil, telah disepakati bahwa
”al-mutsbitu muqaddam ala an-naafii” (yang menetapkan ada didahulukan dari yang
menetapkan tidak ada).
Bila ada nash yang menyebut lebih banyak, maka nash itulah yang lebih diterima, karena yang menetapkan lebih mengetahui daripada yang tidak. Harusnya, mereka yang menggunakan dalil dari A’isyah Rda. menetapkan bahwa bilangan Tarawih itu 13 atau 15 rakaat.
Bila ada nash yang menyebut lebih banyak, maka nash itulah yang lebih diterima, karena yang menetapkan lebih mengetahui daripada yang tidak. Harusnya, mereka yang menggunakan dalil dari A’isyah Rda. menetapkan bahwa bilangan Tarawih itu 13 atau 15 rakaat.
4.
Pandangan Para Ulama Salaf
Kini, mari kita lihat pendapat dan cara pandang para Ulama Salaf
dalam menyikapi masalah ini.
Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan
oleh Khalifah Umar bin Khattab ra., maka beliau berkata:”Shalat tarawih itu
adalah sunnat mu´akkadah. Dan Umar ra. tidaklah menentukan bilangan 20 raka´at
tersebut dari kehendaknya sendiri. Dalam hal ini beliau bukanlah orang yang
berbuat bid´ah. Dan beliau tidak melaksanakan shalat 20 raka´at, kecuali
berasal dari sumber pokoknya yaitu dari Rasulullah saw.”
Imam Tirmidzi dalam Kitab Sunan Tirmidzi menyebutkan: ”Mayoritas
ahli ilmu mengikuti apa yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar, Ali, dan
Shahabat-shahabat Nabi SAW tentang shalat Tarawih 20 raka’at. Ini juga pendapat
Ast-Tsauri, Ibnul Mubarak, dan Imam Syafi’i. Beliau Imam Syafi’i berkata:
”Inilah yang aku jumpai di negeri kita Makkah. Mereka semua shalat Tarawih 20
rakaat.”
Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ menceritakan dari Yazid bin
Khushaifah, ”Orang-orang pada masa Umar melakukan shalat Tarawih di bulan
Ramadhan 23 raka’at.”
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi (lihat Al-Majmu’ dan
al-Khulashah) , diakui oleh Al-Zaila’i (lihat Nashb al-Rayah), dishahihkan oleh
Imam as-Subki (Syarah Minhaj), Ibn al-Iraqi (lihat Tharh at-Tatsrib), al-Aini
(lihat Umdah al-Qari), As-Suyuthi (lihat al-Mashabih fi Shalat at-Tarawih), Ali
al-Qari’ (Syarah Al-Muwaththa’) serta ulama-ulama yang lain.
Imam Ibn Taymiyah menulis: ”Telah diterima bahwa Ubay Ibn Ka´b
biasa mengimami sembahyang untuk jamaah dengan 20 rakaat di bulan ramadlan dan
3 rakaat witir. Dari sini, para ulama bersepakat 20 rakaat sebagai sunnat
karena Ubay biasa mengimami jamaah yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar dan
tidak seorangpun di antara mereka menolaknya.” (Fataawa Ibn Taymiyyah hal.112)
Demikianlah bahwa telah nyata berdasarkan persaksian para Ulama
Salaf bahwa Tarawih dilaksanakan di masa mereka adalah 20 rakaat dengan 3
rakaat witir. Ibadah Tarawih ini adalah ibadah yang dilakukan berjamaah dan
dengan mudah diketahui berapa rakaat dilakukan, karena yang melakukan banyak
dan merata di seluruh wilayah Islam. Kesamaan fatwa di masa para Ulama Salaf
menunjukkan bahwa ibadah ini merata dilakukan dengan jumlah yang seragam, yakni
20 rakaat. Mustahil, hanya dalam waktu tidak sampai 2 abad seluruh ummat
melakukan kesalahan secara seragam, sedangkan pada masa itu Islam dipenuhi oleh
para Ulama yang tsiqah. Para Imam Madzhab dan para Imam Hadits tidak mungkin
bareng-bareng salah semua. Kalau begitu, rusaklah ajaran agama ini sedari awal.
Pandangan para Ulama Salaf ini telah diterima oleh mayoritas ummat dan
mendapatkan pembenaran dari Nabi SAW: ”Ikutlah kalian kepada dua orang
sesudahku, Abu Bakar dan Umar.” (H.R. Imam Tirmidzi)
Sabda Rasulullah SAW juga: “Maka wajib atas kalian berpegang teguh
kepada sunnahku dan sunnah Khalifah Rasyidin yang diberi hidayah.” (H.R. Abu
Dawud dan Tirmidzi)
Rasulullah SAW juga bersabda: “Ummatku tidak akan bersepakat di
atas kesalahan.” (HR Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Maka, ikutlah manhaj yang dipegang oleh para Ulama Salaf dan jangan
berpaling dari kesepakatan mereka.
2.2. Membaca Do’a
Qunut pada Sholat
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan
(wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur’an maupun
As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal
itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam
syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ
مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang
mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang
sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Siapa yang berbuat satu amalan yang
tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.
Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam
menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama. Setelah mengetahui hal
ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah
ini
1.
Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya
qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini
adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi’iy.
Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu
sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah,
Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah
disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh
dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin
Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut
subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ
فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada sholat
Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.
Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami
Ja’far bin Mihron, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits
bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari
Anas beliau berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya sholat bersama
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau
terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihron sebagaimana
yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal
1/418. Karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru
bin ‘Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan
beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da’laj dari Qotadah dari
Anas bin Malik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di
belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau
qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman
lalu beliau qunut”.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya
“Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia”,
itu tidak terdapat dalam hadits Khalid. Yang ada hanyalah “beliau (nabi)
‘alaihis Salam qunut”, dan ini adalah perkara yang ma’ruf
(dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal
dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya
bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)”.
Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin ‘Abdillah dari
Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ
فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam qunut pada sholat
Subuh sampai beliau meninggal”.
Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ
رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ
وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ
هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ
الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا
عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً
وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ
ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ
عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ))
“Adalah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat
dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat
kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal
hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah
Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan
orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu
(adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun
(kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi
Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan dan
‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada
kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : “Tak ada sedikitpun
campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau
mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HSR.Bukhary-Muslim)
Dalil Pendapat Ketiga
Satu : Hadits Sa’ad bin Thoriq
bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا
أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ
بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا
وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ :
“أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada
ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali
radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka
melakukan qunut pada sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal
tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)”.
Dua : Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : “صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ
الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ”. فَقُلْتُ : “آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ”,
قَالَ : “مَا أَحْفَظُهُ
عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ”.
“ Dari Abu Mijlaz
beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu ‘Umar sholat shubuh lalu beliau tidak
qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya).
Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”.
Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari’atkannya
mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.
Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan
para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar diatas, bahkan syaikul
islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa berkata
: “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung
hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid’ah”.
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari’atkannya
qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut,
nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1. Ada yang shohih tapi
tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2. Sangat jelas
menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa
dipakai berhujjah.
Keenam : setelah
mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa
disyari’atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do’a qunut “Allahummahdinaa
fi man hadait…….sampai akhir do’a kemudian diaminkan oleh
para ma’mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan
dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak
sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan
secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi
kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.
2.3.Melaksanakan Adzan Dua Kali pada Sholat Jum’at.
Adzan shalat pertama
kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman
Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk
shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin
Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar,
sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.
Ijtihad ini beliau
lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya
berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat
Jum'at hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan :
عَنْ سَائِبٍ قَالَ,
سَمِعْتُ السَائِبَ بنَ يَزِيْدٍ يَقُوْلُ إِنَّ الأَذَانَ يَوْمَ الجُمْعَةِ
كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ الإِمَامُ يَوْمَ الجُمْعَةِ عَلَى المِنْبَرِ
فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ
وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِيْ خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الجُمْعَةِ بِالأَذَانِ
الثَّالِثِ فَأَذَانَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلَى ذَالِكَ
Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih al-Bukhari: 865)
Sebagian ulama
yang lain mengatakan bahwa untuk sholat jum’at ada dua kali adzan. Mereka berdalil
dengan hadits lain dari Assa’ib juga. Dari Assa’ib juga dia berkata: dahulu
pada zaman Rasulullah adzan pada hari Jum’at adalah ketika khotib duduk diatas
mimbar (sekali adzan) juga pada zaman Abubakar dan Umar, maka ketika zaman
Utsman dan manusia semakin banyak dia menambah seruan yang ketiga (maksudnya
dua kali adzan, dikatakan adzan ketiga karena termasuk iqomat -red)( H.R.
Bukhori/912,Abu Daud/1807,Tirmidzi/ 516)
Sebagian ulama
tersebut menganggab tambahan dari kholifah ‘Utsman sebagai hujjah berdasarkan
sabda Rasulullah SAW: …..maka wajib atas kalian untuk selalu mengikuti
sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin, peganglah erat-erat dan gigitlah
dengan gigi geraham kalian.(Abu DAwud : 4607)
Dalam hadits
diatas kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah para Khulafaurrasyidin, dan
Utsman adalah salahsatu dari mereka, maka adzan yang Ia sunnahkan adalah adzan
syar’I yang diikuti. Karena dengan mengikuti sunnahnya berarti mengikuti sunnah
Rasulullah SAW karena kita diperintahkan untuk mengikutinya.
Para ulama juga
berdalil dengan ijma’ sukuti dari para shahabat nabi, karena tidak adanya penolakan
dari seorangpun. Sebagaimana termuat dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh
Ath-Thobroni dalam kitab Al-Ausath: Para shahabat tidak mencelanya atas hal
tersebut padahal mereka mencelanya ketika Dia menyempurnakan raka’at shalat di
Mina.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah
disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur’an
maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar
maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang
terlarang dalam syariat Islam.
Shalat Tarawih atau Qiyamu Ramadhan. 20 Rakaat, sunnah
muakkad,Sholat tarawih adalah sunnah yang sangat dikukuhkan yaitu sholat shalat sunnah yang dilaksanakan
oleh kaum muslimin pada malam- malam bulan ramadhansetelah sholat isya’ dan
sebelum sholat witir dan Rosulullah
sendiri juga menunaikannya dan menganjurkan umatnya supaya menunaikan
juga.
Pelaksanaan do’a qunut hukum membaca doa qunut dalam ssolat subuh
pada I’tidal rakaat yang kedua adlah sunnah ab’ad,diberi pahala yang
mengerjakannya dan tidak diberi pahala sekalian orang yang meninggalkannya.
"Disunnahkan adzan
dua kali untuk shalat Shubuh,
yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka
yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at.
Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya".(Fathal-Mu'in:15) .Adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan bid’ah, sebab
perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat dari salah satu sumber
hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat.
3.2 Saran
Kebenaran hanya milik Allah SWT
semata, sebagai orang yang masih belajar dan menuntut ilmu tentu tulisan ini sangat jauh dari kebenaran. Kritik dan
masukan para pembaca akan kita tampung sebagai acuan bahan tulisan di
makalah selanjutnya. Dalil-dalil yang ada dalam makalah ini sengaja penulis
ambil yang menjadi penguat saja, karena disesuaikan dengan judul yang tertera
di bagian sampul.
Jika dalam
penulisan makalah ini terdapat nama dan kutipan yang tidak sesuai aturan,
penulis sangat terbuka untuk disumbang saran dan masukan demi kebaikan kita
bersama.
Posting Komentar