ORIENTASI PEMBENAR(DALIL) TENTANG PELAKSANAAN SHOLAT TERAWIH 20 ROKAAT, PELAKSANAAN DOA QUNUT,DAN SHOLAT JUMAT MENGGUNAKAN DUA KALI ADZAN

Kamis, 07 April 20160 komentar




MAKALAH



http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2016/04/orientasi-pembenardalil-tentang.html


DisusunOleh:
Fita yulia wahyu ningrum (2130720088)
Nur habibah lisiana mukhlis (2130720082)
Misbahudin (2130720096)



Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Malang
2015


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
                Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Mata kuliah Agama V ( keaswajaan) tentang “Orientasi Pembenar (Dalil) Tentang Pelaksanaan Sholat Terawih 20 Rokaat, Pelaksanaan Doa Qunut, Dan Sholat Jumat Menggunakan Dua Kali Adzan” sesuai dengan yang kami harapkan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Rasulullah Muhamad Saw, sebagai pembawa petunjuk kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
            Tak lupa pula kami haturkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan  makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
            Pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak” , kami mohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan dalam makalah ini dan kami juga mengharapkan  kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pada pembaca pada umumnya. Aaamiin…
Wassalamualaikum Wr. Wb














BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Ibadah salat merupakan salah satu pilar agama. Melalui salat seseorang dapat kita bedakan Muslim atau bukan. Apabila dia tekun melakukannya, maka dia dapat dikategorikan sebagai Muslim, terlepas dari adanya perbedaan mempraktekkannya.
Keyakinan semacam ini telah sedemikian rupa oleh setiap orang yang menyatakan dirinya Muslim. Namun ironisnya, di antara mereka yang mengaku sebagai Muslim, masih ada orang yang mengkafirkan saudaranya sendiri, hanya karena perbedaan cara mempraktekkan ibadah tersebut.
Berbeda pendapat dalam hal ini, sebenarnya adalah sikap yang sangat wajar, asalakan tidak sampai mengubah esensi salat itu sendiri, hal tersebut dikarenakan terjadinya perbedaan sejarah asal muasal riwayat yang sampai ke telinga para mujtahid.
   Pada makalah ini pembahasan dalil-dalil lebih kepada pemaknaan hadits. Karena salat yang termaktub dalam al-quran masih sangat universal. Sehingga butuh rujukan Rosulullah SAW, kita sebagai umat yang tidak ada di zaman beliau maka perlu mengkajinya lewat sejarah dan buku-buku hadits. Melalui pemahaman para mujtahid maka diperoleh suatu keputusan yang disebut dengan Hadits, Sunnah, Ijma, Qiyas. Dari itu dalil-dalil yang dijadikan penguat tentang salat terawih 20 rakaat, doa qunut dalam salat, dan adzan dua kali dalam salat jumat diambil dari fatwa-fatwa para mujtahid terkait pemahamaanya dalam hal tersebut.

1.2  Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyimpulkan suatu rumusan permasalahan yang akan dibahas pada pembahasan di  BAB II. Diantara rumusan masalah itu adalah sebagai berikut :
1.      Apa dalil yang menjadi penguat terhadap salat terawih yang dilakukan sebanyak 20 rakaat?
2.      Bagaimana pandangan para ulama terkait pemahaman dalil yang diyakini sebagai anjuran dilaksanakan salat terawih sebanyak 20 rakaat?
3.      Berapa banyak dalil yang menjadi dalil penguat dilaksanakannya qunut dalam salat serta bagaimana penjelasannya?
4.      Apa dalil yang dijadikan rujukan kebenaran terhadap dilaksanakannya adzan dua kali pada salat jum’at?

1.3  Tujuan penulisan
Penulisan makalah ini untuk menyumbang bahan diskusi dalam perkuliahan. Di samping itu untuk melatih berkarya dalam sebuah karya tulis ilmiah dan bisa dibaca oleh khalayak umum. Karena hal ini meyangkut pemahaman tentang dalil-dalil penguat dari dilaksanakannya salat terawih 20 rakaat, doa qunut dalam salat, dan adzan dua kali pada salat jumat. Harapan besar tiada lain dari penulisan makalah ini hanya untuk mencari ridho Allah SWT.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Sholat Terawih 20 Rakaat
Dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh Juz 2 disebutkan:
”Shalat Tarawih atau Qiyamu Ramadhan. 20 Rakaat, sunnah muakkad.
Ada pun dalil bahwa rakaatnya 20 adalah: Riwayat dari Yazid bin Rouman yang berkata: ”Adalah manusia mendirikan Qiyamu Ramadhan di zaman Umar dengan 23 rakaat.” Semua itu disaksikan oleh dan diikuti oleh segenap shahabat, sehingga jadilah ia ijma’. Abu Bakar Abdul Aziz meriwayatkan dalam Asy-Syafi dari Ibnu Abbas: ”Bahwa Nabi SAW shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat.” Dan adalah Umar ketika mengumpulkan manusia di belakang Ubai bin Ka’ab, mereka shalat 20 rakaat. Dan dari Ali bahwa beliau memerintahkan seorang untuk menjadi imam di bulan Ramadhan dengan 20 raka’at. Dan ini adalah ijma’. Dan telah tetap bahwa Ubai bin Ka’ab ketika mengimami manusia mereka shalat 20 rakaat Qiyamu Ramadhan.
Sebagian Ulama menfatwakan bahwa shalat Tarawih itu 11 raka’at. Sesungguhnya dalil yang mendasarinya hanyalah 2, yaitu:
1.      Dalil Pertama
Hadits dari Aisyah Rda.: “Adalah Rasulullah SAW tidak pernah menambah lebih dari 11 rakaat, di bulan Ramadhan dan di bulan yang lain, beliau shalat empat raka’at, jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat raka’at, jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka’at. Maka aku (A’isyah) bertanya: ”Apakah engkau tidur sebelum beriwitir?” Nabi SAW menjawab: ”Sesungguhnya kedua mataku terpejam, tapi hatiku tidak tidur.” (HR Imam Bukhari Muslim)
Mari kita kupas masing-masing dalil tersebut. Dalil pertama ternyata bukanlah dalil tentang shalat Tarawih, karena tidak ada Tarawih di luar Ramadhan. Para ahli hadits seperti Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Baihaqi, dan lain-lain tidak menggunakan hadits tersebut sebagai dasar untuk menetapkan bilangan raka’at Tarawih.
Sebagian orang menyangka bahwa para Ulama Salaf itu tidak tahu adanya hadits tersebut. Ini jelas salah sangka yang parah dan kebodohan yang perlu diluruskan. Sudah jelas hadits itu riwiyatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan juga Imam Baihaqi. Tapi, kenyataannya para Ulama salaf itu justru memilih 20 rakaat Tarawih. Mengapa? Apakah para Ulama Salaf itu menentang hadits Nabi? Jawabannya jelas bukan. Yang benar adalah karena mereka semua tahu bahwa hadits itu bukan tentang Tarawih. Para Imam itu adalah para Ulama yang bermadzhab Syafi’i dalam Fiqih, dan kita semua tahu bahwa semua Ulama madzhab sepakat bahwa jumlah raka’at tarawih adalah 20 rakaat.
Di akhir zaman ini saja kita memaksakan penafsiran bahwa hadits itu bicara tentang Tarawih, padahal bukan. Kesalahan berdalil memang bisa berbahaya.
Baiklah kini kita ungkap tentang pandangan Imam Ibnu Taimiyah. Beliau dikenal sebagai Ulama pembela sunnah dan penentang bid’ah, paling tidak demikian menurut pendapat para pengikut beliau. Beliau ini hidup terpisah 7 abad dengan masa shahabat. Boleh dikatakan beliau inilah yang dianggap orang yang mempopulerkan shalat Tarawih 8 rakaat. Tapi, mari kita lihat apa yang beliau katakan dalam Kitab Fatawa-nya:”Telah terbukti bahwa shahabat Ubay bin Ka’ab mengerjakan shalat Ramadhan bersama orang-orang waktu itu sebanyak 20 raka’at, lalu mengerjakan witir 3 raka’at. Kemudian mayoritas Ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah, karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu.”
Ada baiknya juga kita tampilkan pandangan dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab (Tokoh Wahabi). Dalam Kitab Majma’ Fatawi an-Najdiyah diterangkan tentang jawaban beliau ketika ditanya tentang bilangan raka’at Tarawih. Beliau menjawab bahwa shahabat Umar mengumpulkan manusia untuk shalat berjama’ah di belakang Ubay bin Ka’ab. Maka mereka shalat 20 raka’at.
Jadi, hanyalah orang salah tafsir yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu pekerjaan bid’ah yang sesat, karena seluruh orang alim telah menyatakan kesunnahannya. Hal itu hanya dikatakan oleh orang-orang di akhir zaman ini saja. Bila Imam Bukhari, Muslim, Imam Tirmidzi, dan Imam Baihaqi yang meriwayatkan Hadits tersebut tidak menganggapnya sebagai dalil untuk Shalat Tarawih, mengapa pula orang-orang di akhir zaman merasa lebih tahu dan melakukan kesalahan dengan menggunakannya sebagai dalil Tarawih?
Nabi SAW telah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mematikan ilmu dengan cara mencabutnya dari dada para ulama, akan tetapi Allah mematikan ilmu dengan mematikan para ulamanya, jika telah tiada orang alim maka manusia akan mengangkat pemimpin orang-orang yang bodoh. Ketika ditanya mereka memberikan fatwanya tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”(HR Bukhari Muslim)
Maka, waspadalah kepada fatwa-fatwa di akhir zaman ini yang menyelisihi pendapat yang telah disepakati oleh para Ulama Salaf.
2.      Dalil Kedua
Riwayat dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Said bin Yazid, ia berkata,”Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan sebelas rakaat.”
Matan riwayat ini ternyata ada selisih, karena menurut riwayat dari Yazid bin Khushaifah bilangannya adalah 20 rakaat. Para pembela 11 rakaat mengatakan bahwa riwayat dari Yazid ini adalah Syadz (nyleneh). Tapi, sebenarnya tidak ada yang mengatakannya demikian kecuali Syaikh Al-Albani. Pendapat Syaikh Al-Albani ini kemudian diikuti saja secara taqlid buta oleh para pengikut beliau tanpa meneliti lebih lanjut.
Sebenarnya yang syadz justru riwayat yang mengatakan 11 rakaat, karena berbeda dengan kenyataan yang dilakukan pada masa itu. Selain itu, suatu dalil yang matannya dipertentangkan tidak bisa disebut shahih, karena dhaif secara matan. Maka, atas dasar apa Al-Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih? Beliau menggunakan argumen bahwa riwayat ini sesuai dengan hadits A’isyah yang mengatakan bahwa Nabi shalat malam 11 rakaat. Pendapat Albani ini juga diikuti secara taqlid buta oleh para pengikut beliau.
Argumen ini sungguh tidak tepat. Pertama, yang dijadikan rujukan bukan berbicara tentang persoalan yang disandarkan kepadanya. Maka, tidak bisa kedua dalil itu disambungkan, karena tidak sesuai dengan ilmu musthalah hadits.
Kedua, Imam Malik sendiri yang meriwayatkan khabar tersebut justru berpendapat bahwa Tarawih itu 20 rakaat, sebagaimana yang kemudian menjadi fatwa resmi madzhab Maliki. Bila ada yang mengatakan bahwa Imam Malik memilih 11 rakaat, maka itu suatu kebohongan.. Seluruh kitab fiqih populer jelas menyebutkan bahwa menurut madzhab Maliki bilangan rakaat Tarawih adalah 20 rakaat. Silakan periksa pada Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, juga kitab Al-Fiqh alaa Madzaahib al-Arba’ah. Bahkan sebagian fatwa dalam fiqih Maliki justru menjustifikasi jumlah 36 rakaat sebagaimana dilakukan di Madinah pada zaman tabi’in, yaitu di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Sangat tidak logis bila Imam Malik mengetahui suatu dalil kemudian beliau menentang dalil tersebut. Semua orang, termasuk di luar kalangan Madzhab Maliki, mengakui bahwa beliau adalah orang yang tsiqah dan memegang teguh sunnah. Bahkan belaiulah pelopor diutamakannya dalil hadits di atas dalil rasio.
Maka, dalil kedua ini pun gugur dan tidak dapat dijadikan argumen sebagai dasar untuk menjustifikasi bahwa shalat Tarawih itu 11 raka’at dan yang 20 rakaat adalah bid’ah dhalalah. Selain itu, tidak mungkin para Imam madzhab dan Imam-imam Hadits itu adalah para pembuat bid’ah.
3.      Dalil-dalil yang lain
Sesungguhnya tidak ada lagi dalil lain yang cukup kuat untuk menyokong pendapat Tarawih 11 rakaat itu. Ada satu hadits dhaif dari Ibnu Umar Ra., beliau menyebutkan, “Nabi SAW menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir.” (HR Ibnu Hibban) Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya adalah Hasan berdasarkan syahidnya (meningkat dari dhaif menjadi hasan karena ada hadits dari A’isyah). Ini juga tidak tepat, karena syahidnya tidak mencocoki dengan masalah yang disyahidi. Dengan kata lain, sebenarnya syahidnya tidak ada.
Bila dalil dari A’isyah dipergunakan untuk shalat Tarawih maka dalil-dali berikut ini pun harus dipergunakan pula: Zaid bin Khalid al-Juhani berkata: ”Aku perhatikan shalat malam Rasulullah SAW. Beliau shalat dua rakaat yang ringan, kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.” (HR Imam Malik, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Nashr).
Dari Aisyah Rda., ia berkata: Adalah Rasulullah SAW apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan rakaat, kemudian berwitir (tiga rakaat). (HR Imam Ahmad dan Nasa’i.
Dari Aisyah Rda., adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan. (HR Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Baihaqi)
Selain itu, bila kita tandingkan perkataan A’isyah yang mengatakan bahwa Nabi shalat tidak lebih dari 11 raka’at menjadi dipertanyakan, karena ada hadits shahih yang lain yang menyebutkan bahwa beliau ada shalat lebih dari 11 raka’at. Ini menunjukkan bahwa ini semua bukan dalil tentang shalat Tarawih. Selain itu, dalam mengambil hukum dari suatu dalil, telah disepakati bahwa ”al-mutsbitu muqaddam ala an-naafii” (yang menetapkan ada didahulukan dari yang menetapkan tidak ada).
Bila ada nash yang menyebut lebih banyak, maka nash itulah yang lebih diterima, karena yang menetapkan lebih mengetahui daripada yang tidak. Harusnya, mereka yang menggunakan dalil dari A’isyah Rda. menetapkan bahwa bilangan Tarawih itu 13 atau 15 rakaat.
4.      Pandangan Para Ulama Salaf
Kini, mari kita lihat pendapat dan cara pandang para Ulama Salaf dalam menyikapi masalah ini.
Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra., maka beliau berkata:”Shalat tarawih itu adalah sunnat mu´akkadah. Dan Umar ra. tidaklah menentukan bilangan 20 raka´at tersebut dari kehendaknya sendiri. Dalam hal ini beliau bukanlah orang yang berbuat bid´ah. Dan beliau tidak melaksanakan shalat 20 raka´at, kecuali berasal dari sumber pokoknya yaitu dari Rasulullah saw.”
Imam Tirmidzi dalam Kitab Sunan Tirmidzi menyebutkan: ”Mayoritas ahli ilmu mengikuti apa yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar, Ali, dan Shahabat-shahabat Nabi SAW tentang shalat Tarawih 20 raka’at. Ini juga pendapat Ast-Tsauri, Ibnul Mubarak, dan Imam Syafi’i. Beliau Imam Syafi’i berkata: ”Inilah yang aku jumpai di negeri kita Makkah. Mereka semua shalat Tarawih 20 rakaat.”
Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ menceritakan dari Yazid bin Khushaifah, ”Orang-orang pada masa Umar melakukan shalat Tarawih di bulan Ramadhan 23 raka’at.”
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi (lihat Al-Majmu’ dan al-Khulashah) , diakui oleh Al-Zaila’i (lihat Nashb al-Rayah), dishahihkan oleh Imam as-Subki (Syarah Minhaj), Ibn al-Iraqi (lihat Tharh at-Tatsrib), al-Aini (lihat Umdah al-Qari), As-Suyuthi (lihat al-Mashabih fi Shalat at-Tarawih), Ali al-Qari’ (Syarah Al-Muwaththa’) serta ulama-ulama yang lain.
Imam Ibn Taymiyah menulis: ”Telah diterima bahwa Ubay Ibn Ka´b biasa mengimami sembahyang untuk jamaah dengan 20 rakaat di bulan ramadlan dan 3 rakaat witir. Dari sini, para ulama bersepakat 20 rakaat sebagai sunnat karena Ubay biasa mengimami jamaah yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar dan tidak seorangpun di antara mereka menolaknya.” (Fataawa Ibn Taymiyyah hal.112)
Demikianlah bahwa telah nyata berdasarkan persaksian para Ulama Salaf bahwa Tarawih dilaksanakan di masa mereka adalah 20 rakaat dengan 3 rakaat witir. Ibadah Tarawih ini adalah ibadah yang dilakukan berjamaah dan dengan mudah diketahui berapa rakaat dilakukan, karena yang melakukan banyak dan merata di seluruh wilayah Islam. Kesamaan fatwa di masa para Ulama Salaf menunjukkan bahwa ibadah ini merata dilakukan dengan jumlah yang seragam, yakni 20 rakaat. Mustahil, hanya dalam waktu tidak sampai 2 abad seluruh ummat melakukan kesalahan secara seragam, sedangkan pada masa itu Islam dipenuhi oleh para Ulama yang tsiqah. Para Imam Madzhab dan para Imam Hadits tidak mungkin bareng-bareng salah semua. Kalau begitu, rusaklah ajaran agama ini sedari awal.
Pandangan para Ulama Salaf ini telah diterima oleh mayoritas ummat dan mendapatkan pembenaran dari Nabi SAW: ”Ikutlah kalian kepada dua orang sesudahku, Abu Bakar dan Umar.” (H.R. Imam Tirmidzi)
Sabda Rasulullah SAW juga: “Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Khalifah Rasyidin yang diberi hidayah.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasulullah SAW juga bersabda: “Ummatku tidak akan bersepakat di atas kesalahan.” (HR Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Maka, ikutlah manhaj yang dipegang oleh para Ulama Salaf dan jangan berpaling dari kesepakatan mereka.

2.2. Membaca Do’a Qunut pada Sholat
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ  : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.
Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama. Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini
1.      Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi’iy.
Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga     : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.
Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihron, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418. Karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru bin ‘Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da’laj dari Qotadah dari Anas bin Malik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut”.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya “Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits Khalid. Yang ada hanyalah “beliau (nabi) ‘alaihis Salam qunut”, dan ini adalah perkara yang ma’ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)”.
Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin ‘Abdillah dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal”.
Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ))
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua)  di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HSR.Bukhary-Muslim)
Dalil Pendapat Ketiga
Satu : Hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)”.
Dua : Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : “صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ”. فَقُلْتُ : “آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ”, قَالَ : “مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ”.
“ Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu ‘Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”.
Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari’atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.
Keempat  : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa berkata : “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid’ah”.
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari’atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1.      Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2.      Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam : setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari’atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do’a qunut “Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do’a kemudian diaminkan oleh para ma’mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.

2.3.Melaksanakan Adzan Dua Kali pada Sholat Jum’at.
Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.
Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jum'at hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan :
عَنْ سَائِبٍ قَالَ, سَمِعْتُ السَائِبَ بنَ يَزِيْدٍ يَقُوْلُ إِنَّ الأَذَانَ يَوْمَ الجُمْعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ الإِمَامُ يَوْمَ الجُمْعَةِ عَلَى المِنْبَرِ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِيْ خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الجُمْعَةِ بِالأَذَانِ الثَّالِثِ فَأَذَانَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلَى ذَالِكَ

Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih al-Bukhari: 865)
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa untuk sholat jum’at ada dua kali adzan. Mereka berdalil dengan hadits lain dari Assa’ib juga. Dari Assa’ib juga dia berkata: dahulu pada zaman Rasulullah adzan pada hari Jum’at adalah ketika khotib duduk diatas mimbar (sekali adzan) juga pada zaman Abubakar dan Umar, maka ketika zaman Utsman dan manusia semakin banyak dia menambah seruan yang ketiga (maksudnya dua kali adzan, dikatakan adzan ketiga karena termasuk iqomat -red)( H.R. Bukhori/912,Abu Daud/1807,Tirmidzi/ 516)
Sebagian ulama tersebut menganggab tambahan dari kholifah ‘Utsman sebagai hujjah berdasarkan sabda Rasulullah SAW: …..maka wajib atas kalian untuk selalu mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin, peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.(Abu DAwud : 4607)
Dalam hadits diatas kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah para Khulafaurrasyidin, dan Utsman adalah salahsatu dari mereka, maka adzan yang Ia sunnahkan adalah adzan syar’I yang diikuti. Karena dengan mengikuti sunnahnya berarti mengikuti sunnah Rasulullah SAW karena kita diperintahkan untuk mengikutinya.
Para ulama juga berdalil dengan ijma’ sukuti dari para shahabat nabi, karena tidak adanya penolakan dari seorangpun. Sebagaimana termuat dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ath-Thobroni dalam kitab Al-Ausath: Para shahabat tidak mencelanya atas hal tersebut padahal mereka mencelanya ketika Dia menyempurnakan raka’at shalat di Mina.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
   Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam.
   Shalat Tarawih atau Qiyamu Ramadhan. 20 Rakaat, sunnah muakkad,Sholat tarawih adalah sunnah yang sangat dikukuhkan  yaitu sholat shalat sunnah yang dilaksanakan oleh kaum muslimin pada malam- malam bulan ramadhansetelah sholat isya’ dan sebelum sholat witir dan Rosulullah  sendiri juga menunaikannya dan menganjurkan umatnya supaya menunaikan juga.
   Pelaksanaan do’a qunut hukum membaca doa qunut dalam ssolat subuh pada I’tidal rakaat yang kedua adlah sunnah ab’ad,diberi pahala yang mengerjakannya dan tidak diberi pahala sekalian orang yang meninggalkannya.
"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat Shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya".(Fathal-Mu'in:15) .Adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan bid’ah, sebab perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat.
3.2 Saran
            Kebenaran hanya milik Allah SWT semata, sebagai orang yang masih belajar dan menuntut ilmu tentu tulisan ini sangat jauh dari kebenaran. Kritik dan masukan para pembaca akan kita tampung sebagai acuan bahan tulisan di makalah selanjutnya. Dalil-dalil yang ada dalam makalah ini sengaja penulis ambil yang menjadi penguat saja, karena disesuaikan dengan judul yang tertera di bagian sampul.
Jika dalam penulisan makalah ini terdapat nama dan kutipan yang tidak sesuai aturan, penulis sangat terbuka untuk disumbang saran dan masukan demi kebaikan kita bersama.




Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger