OLEH :
MISBAHUDDIN
(Catatan
Kuliah Umum dari ibu yunianti chuzaifah)
Bagaimana
peran perempuan sebagai peace builder atau pembangun perdamaian? Kita sering
mendapati bahwa pencipta damai, pembuat negosiasi untuk menyelesaikan konflik
cenderung laki-laki, bapak-bapak, utamanya diranah publik.
Tetapi dari
pertautan selama dia mendampingi dan bekerja di wilayah konflik bagaimana peran
perempuan terutama juga yang terbaru adalah memastikan isu kekerasan berbasis
agama tidak terjadi. Ini sangat menarik. Jadi bagaimana ruang domestik menjadi
speech yang strategis banyak dilakukan oleh perempuan.
Melalui
pengalaman beliau dalam menangani dayak-madura. Saat itu perempuan-perempuan
adalah orang yang survifer tidak hanya untuk dirinya tapi juga memastikan
proses evakuasi keluarganya untuk bisa selamat.
Karena
laki-laki mudah teridentifikasi, mudah diserang sehingga perempuan menjadi
negosiator ketika proses evakuasi. Dia melihat juga misalnya bagaimana
perempuan ini disejumlah wilayah konflik yang paling mudah berinteraksi
berkepentingan untuk membangun situasi damai di komoditasnya adalah biasanya
perempuan.
Walaupun
malamnya habis ada konflik, tetapi karena perempuan ini harus mengantar anaknya
kesekolah, harus berinteraksi dengan tetangganya. Dan inilah peace builder di
ranah yang paling micro yang dicoba dilakukan oleh para perempuan.
Di aceh
misalnya, dicoba perempuan-perempuan juga mereformasi dan mentransfer perang
sabil yang dulu dinyanyikan menjelang tidur oleh para perempuan. Dan hal ini
juga terjadi di Palestin yang meprovok untuk perang, perang bagian dari perang
sabil. Boleh banyak ditransfer dengan syair-syair yang berbeda untuk mencegah
konflik terjadi.
Yang juga
banyak dikembangkan oleh perempuan. Proses negosiasi tidak dilakukan
diruang-ruang formal dengan mic. Cara pandang peace builder penyelesai konflik
ini kan banyak takut pada pola-pola yang formalis sehingga para perempuan yang
takut mic akan tidak ikut menjadi bagian dari proses negosiasi ini.
Mereka
banyak menggunakan informal speace di sekolah-sekolah anaknya saat mengantar,
di sumur, di pasar dan lain sebagainya. Inilah ruang-ruang yang biasanya
dianggap sebagai ranah domestik untuk menghentikan proses tigmatisasi kepada
etnis lain, pada agama lain, pada kelompok lain untuk membangun value baru di
dalam keluarga tentang makna bersama dan berbinneka.
Hal ini
sering tembus pandang dalam tradisi melihat peran perempuan sebagai bagian
gerakan untuk peace bulider ini. Nah, yang dia juga dapati dari sejumlah
wilayah ada polisi-polisi perempuan
kapolres yang bisa menghentikan atau mencegah konflik atas nama agama terjadi
di wilayah tersebut.
Jadi
perempuan-perempuan ini karena kemampuan lobinya yang cukup bagus. Dia
berinteraksi dan bisa datangi tokoh-tokoh agama dan juga bisa ikut minum-minum
kopi dengan preman-preman. Dia bisa ikut ngobrol bersama ibu-ibu PKK dan ibu
darma wanita dan lain sebagainya. Tiada lain untuk membangun situasi damai itu.
Jadi
pola-pola kepemimpinan banyak dilakukan bahkan seperti di Ceribon
perempuan-perempuan bisa bernegosiasi dan membangun satu kondisi untuk mencegah
supaya konsentrasi massa bubar menjelang penyerangan. Nah hal seperti ini perlu
untuk diakui bagaimana peran perempuan untuk membangun upaya peace builder ini.
Tidak kalah
pentingnya bahwa pola-pola tradisional dalam kultur Indonesia yang sangat
rentang kearifan lokal. Itu juga banyak kita jumpai di sejumlah wilayah
sebetulnya cukup punya akar dimana perempuan berkontribusi untuk mencegah
konflik ini. Dan dalam tradisi islam kita lihat sejarah agama Rosulullah selalu
melibatkan perempuan dalam proses basasen making perang akan dilakukan di dalam
atau diluar.
Misalnya
pada kasus perang uhud, perempuan sempat di tanya oleh rosul. “mau diluar atau
di dalam kota?”. Maka perempuan menjawab jangan di dalam kota banyak anak-anak,
banyak rumah akan hancur, banyak infrastruktur yang akan hancur. Sehingga
rosulullah pun mendengar spirit ini atau aspirasi ini dan di putuskan perang
untuk tidak dilakukan di dalam kota.
Jadi
keputusan-keputusan penting untuk mendengar suara perempuan menjadi dorgen.
Dalam kasus yang lain dulu di Amerika yang anggota parlemennya sejumlah
perempuan keluar Wokot karena menentang penyerangan ke Irak. Jadi upaya-upaya
damai ini penting untuk meletakkan perempuan sebagai poros untuk proses
negosiasi, peace builder, dan sebagainya.
Posting Komentar