Oleh : Misbahuddin
Tanggal 12 Rabiul Awal 1436 H, bertepatan pada 2-3 Januari
2015 seluruh kaum muslim merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, tidak lain
merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun temurun.
Dalam catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman
kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah,
putri Muhammad. Perayaan ini dilaksanakan atas usulan panglima perang,
Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan
peringatan hari kelahiran Muhammad.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan semangat juang kaum
muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina dari
cengkraman kaum Salibis. Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa semangat
jihad umat Islam menggelora pada saat itu.
Secara subtansial, perayaan Maulid Nabi adalah sebagai
bentuk upaya untuk mengenal akan keteladanan Muhammad sebagai pembawa ajaran
agama Islam. Tercatat dalam sepanjang sejarah kehidupan, bahwa nabi Muhammad
adalah pemimipn besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung
bagi umatnya.
Dalam konteks ini, Maulid harus diartikulasikan sebagai
salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat
baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani
(Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi, transparansi,
anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan
sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme.
Dalam tatanan sejarah sosio antropologis Islam, Muhammad
dapat dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling
melengkapi.
Pertama, dalam perspektif teologis-religius, Muhammad
dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul terakhir dalam tatanan
konsep keislaman. Hal ini memposisikan Muhammad sebagai sosok manusia sakral
yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang bertugas membawa, menyampaikan, serta
mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci” Tuhan kepada umat manusia secara
universal.
Kedua, dalam perspektif sosial-politik, Muhammad dilihat dan
dipahami sebagai sosok politikus andal. Sosok individu Muhammad yang identik
dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran, humanis, serta
non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa tatanan masyarakat
sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan
tentram.
Tentu, sudah saatnya bagi kita untuk mulai memahami dan
memperingati Maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga kita tidak
hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi
dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual
sakralistik-simbolik keislaman semata, namun menjadikannya sebagai kelahiran
sosok pemimpin.
Karena bukan menjadi rahasia lagi bila kita sedang
membutuhkan sosok pemimpin bangsa yang mampu merekonstruksikan suatu citra
kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan
nondiskriminatif, sebagaimana dilakukan Muhammad untuk seluruh umat manusia.
Kontekstualisasi peringatan Maulid tidak lagi dipahami dari
perspektif keislaman saja, melainkan harus dipahami dari berbagai perspektif
yang menyangkut segala persoalan. Misal, politik, budaya, ekonomi, maupun
agama.
Posting Komentar