Oleh : misbahuddin
Kehidupan
yang serba ada ini mengakibatkan kita lupa untuk merenung sejenak terhadap apa
yang kita miliki. Seakan yang ada pada diri kita adalah benar-benar milik kita.
Orang lain pinjam pun sulit apalagi meminta. Keberadaan inilah yang membuat
kita selalu merasa memiliki semuanya. Padahal jika kita adalah mu’min pastinya
meyakini keberadaan mahluk di muka bumi. Bahwa semua mahluk akan kembali kepada
penciptanya yaitu sang maha kuasa. Kalau banyak orang bilang rezeki itu sudah
diatur oleh tuhan, maka sepantasnyalah untuk tidak pelit pada apa yang punya
saat ini. Baik kesehatan, kesempatan, kemauan.
Kerana
berbagi itu tidak hanya pada meteri saja, melainkan semua apa yang membuat
tuhan senang dan manusia bahagia. Terkadang kita tidak tahu apa yang terjadi
pada kita dalam situasi tak tentu sehingga lupa untuk berterimakasih kepada
yang maha pencipta. Tuhan telah banyak berbagi pada kita, dan kita hanya
diminta untuk bersyukur dari apa yang telah tuhan berikan. Bersyukur saja
sulit, apalagi berbagi kepada tuhannya.
Dalam
interaksi sesama manusia tentu kita tahu jika orang memberikan hadiah pada
kita, kita sebagai penerima akan mengatakan terimakasih. Karena keberadaan si
pemberi jelas tampak di depan mata. Dan perasaan senangpun dari penerima
ditampakkan dengan wajah senyum. Lalu bagaimana dengan pemberian tuhan yang sudah
benar-benar tampak dan jelas beranika ragam di muka bumi ini? Pernahkah kita
menganggap semua yang telah terjadi pada kita adalah nikmat? Ataukah dari semua
penganugrahan itu hanya sebagian yang nikmat? Tiga pertanyaan inilah akan
penulis uraikan dengan satu topik dalam tulisan ini.
Kata
al-hamdulillah adalah kalimat tahmid sebagai bentuk ucapan syukur melalui
kata-kata lisan. Bentuk pujian kepada sang pencinta yaitu tuhan robbal ‘alamin.
Saat kita melihat tingginya gunung, luasnya daratan, dalam dan lebarnya lautan
kata yang keluar dari lisan kita adalah subhanallah. Sehingga korelasi kata
al-hamdulillah sebagai bentuk rasa syukur dengan kata subhanallah sebagai
bentuk rasa kagum adalah terletak pada kenikmatan atau kepuasan melihat. Nikmat
itu saya definisikan sesuatu yang membuat kita senang, nyaman, dan sesuai
dengan bayangan yang kita inginkan. Tidak selamanya apa yang bisa dirasakan
manis, lezat, atau asin dari lidah. Melainkan adanya keamanan dan kesejahteraan
hidup. Memuji tuhan dengan kalimat al-hamdulillah memang hal mudah, tapi tidak
semua umat islam yang meyakini allah sebagai tuhannya mampu melafadzkan kalimat
tahmid itu. Apalagi mensyukuri dalam bentuk perbuatan, pengabdian diri, atau
berbagi. Kenapa bisa terjadi? Tentu hal ini menjadi koereksi kita diri sendiri
sebagai pribadi muslim yang mukmin.
Dalam
kaitannya dengan bentuk berbagi kita kepada orang lain yang mereka benar-benar
mempunyai keterbatasan fisik sehingga tidak bisa mencari nafkah merupakan kewajiban
mutlak untuk membantunya. Akan tetapi ketika menemukan orang yang malas bekerja
sedangkan ia mempunyai mental, fisik, dan jiwa yang sehat maka sepantasnya kita
berbagi motivasi agar mereka bangkit dari jurang kemalasan. Karean hal utama
dalam menentukan rizki yang sudah allah tentukan itu dengan cara tidak malas.
Banyaknya peminta-minta seakan menampakkan pelaku pemalas. Disisi lain banyak
juga yang membanting tulang yang penghasilannya tidak seberapa memperlihatkan
pekerja demi tidak ingin jadi peminta. Kalaupun memang dengan adanya
peminta-minta orang yang awalnya tidak pernah berbagi kepada orang lain menjadi
ingin berbagi karena pengaruh pengemis yang begitu menekan hati. Dalam konteks
ini bentuk syukur itu tidak disalahgunakan. Ketika kesehatan dan kesempatan
yang begitu lebar dan luas untuk kita manfaatkan maka hal itu merupakan
kenikmatan yang sepertinya abstrak sehingga tidak banyak orang menyadarinya.
Dan ketika seseorang mampu besyukur terhadap sesuatu nikmat yang abstrak maka
dipastikan mereka mampu bersyukur terhadap sesuatu yang konkrit.
Dalam
aktivitas sehari-hari banyak kita jumpai hal-hal kecil yang belum mampu kita
implementasikan. Contohnya kata basmalah setiap memulai sesuatu dan tahmid
setiap mengakhiri sesuatu. Membentuk kebiasaan kecil dari suatu kebaikan atau
istiqomah dalam bahasa religinya sangat sulit untuk bisa melaksanakan. Menjadi
faktor dalam hal ini adalah lupa. Eksistensinya lupa adalah sifat yang hanya
dimiliki manusia. Lalu apakah ada cara-cara tertentu dalam mengalihkan lupa
menjadi suatu ingatan kuat. Tentu diperlukan kebiasaan diri dengan tidak
gengsi, tidak minder, dan tidak malas. Maka lupa dengan sendirinya akan hilang.
Sekali boleh lupa tapi jika berkali-kali juga perlu dipertanyakan. Lupa atau
melupakan. Tidak ada kata terlambat pada diri saya, pembaca dan seluruh umat
islam untuk memulai dari hal-hal kecil yang bisa kita istiqomahkan. Membaca
basmalah ketika memulai sesuatu adalah hal kecil tapi tidak semua orang mampu
melakukan ini. jika sesuatu dimulai dengan basmalah tentu kita akan
mengakhirinya dengan hamdalah.
Posting Komentar