Oleh: Misbahuddin
Upa, adindaku yang kucinta. Hari demi hari, kedekatan kita semakin terasa. Rasa berat yang ada di benak kita semakin tercipta. Sungguh memang semestinya kita ada dalam Ikatan mahabbah sejati. Ikatan yang halal dan menenangkan.
Tapi, bagaimanapun juga, peran keridoan ibu adalah nomor satu. Kepercayaan besar yang dialihkan ke tanggung jawabku harus benar-benar terbukti. Salah satunya mampu menafkahimu dzohiran wa bathinan.
Kedekatan yang semakin erat ini, sudah tidak bisa kita elakkan. Kita adalah satu. Satu jalan untuk membangun keluarga. Satu pemikiran untuk merawat kasih. Satu tujuan untuk menciptakan hubungan sakinah, mawaddah, warohmah kelak.
Kaka menyadari ketidaksediaan ibu itu karena melihat kaka yang belum mapan ini. Bagaimana mungkin ibu akan percaya sepenuhnya untuk menyerahkan anaknya kepada kaka. Jika kaka sendiri belum sepenuhnya siap menafkahi dinda.
Maafkanlah kakanya ini dinda. Keterikatan kaka dengan kampus yang mempertemukan kaka sama dinda menjadi kendala kaka belum bekerja tetap. Belum berpenghasilan yang dapat dipercaya ibu. Maafkanlah dinda.
Memang, kita sudah sama-sama tidak kuat. Nafsu membara dari kita sudah menunjukkan adanya kewajiban kita untuk berkeluarga. Kematangan sikap kaka untuk memimpin dinda sudah sangat siap. Tapi, ekonomi keluarga menjadi kunci utama yang tidak bisa dipungkiri untuk terus membangun keharmonisan di dalamnya.
Hanya menunggu waktu sebentar lagi. Kita jangan bosan-bosan saling mensuport dan memberi semangat. Saling mengingatkan. Saling menasehati. Kita bukan lagi anak kecil. Kita bukan lagi main-main. Kita sama-sama berniat, segala apapun yang kita lakukan saat ini hanya untuk satu niat "mempersiapkan pernikahan kita".
Jumat ke delapan
Jakarta, 3 November 2017
Posting Komentar