Kemarin
sabtu 5 Agustus 2017 saya banyak disuguhkan
tulisan yang mengingatkan saya untuk membaca. Setelah sekian lamanya tidak
menghatamkan buku. Di facebook misalnya saya dihidangkan tulisan oleh M.
Husaini tentang ayo membaca yang berisi uraian panjang akan pentingnya budaya
membaca. Di grup forum literasi matematika oleh Slamet Widodo tentang membaca
yang mulai menjadi penyakit malas menular.
Dua tulisan yang saya baca kemarin lebih kepada
pentingnya membaca sebagai sarana menambah wawasan keilmuan dari sebuah
tulisan. Membaca teks-teks pengetahuan. Atau lebih khusus membaca buku.
Pastinya setiap individu manusia mempunyai selera, hobi,
dan kebutuhan masing-masing. Tak terkecuali koleksi bacaan. Ada yang memang
mengoleksi bacaan-bacaan yang berbau sastra. Ada juga yang berbau agamis yang
deretan bukunya kitab-kitab. Ada juga yang mengoleksi buku-buku sejarah, buku
klasik, buku kebudayaan, buku tentang kenegaraan, kepemimpinan. Dan banyak
koleksi-koleksi yang lain.
Kita boleh mengoleksi buku apapun, kita boleh membaca
buku apa saja, dan kita boleh ahli dalam keilmuan apa saja. Selama kita bisa
dan mampu. Karena semua itu sudah 1000 langkah lebih maju dari pada orang malas
membaca. Baik seniman, budayawan, sastrawan, ilmuwan, wartawan akan terlihat
kepiawaian berbicara dengan seberapa banyak ia membaca buku.
Kalau mungkin dinilai dari segi karya pun juga akan
tampak, mana penulis yang memang mempunyai wawasan bacaan yang luas dan mana
penulis yang hanya memamerkan hasil yang ia baca. Membaca dalam konteks ini
bisa kita pahami hanya bacaan teks yang ada dalam buku. Kita belum berbicara
pada konteks membaca realita yang terjadi di alam semesta.
Rasanya kalau kita mau mencari lingkungan yang memang
benar-benar mengembangkan minat baca sangat sulit ditemui. Di kalangan
mahasiswa saja, budaya literasi sudah tidak seperti makan nasi. Maksudanya bukan
menjadi sebuah kebutuhan. Perbedaan mendasar, pengunjung perpustakaan atau toko
buku dengan rumah makan satu banding sepuluh.
Kalau secara husnudzan, teknologi berupa kecanggihan gadget
yang dapat mempermudah kita. Jadi dimana-mana kita bisa membaca, mengakses,
dan membeli buku. Tidak perlu jauh-jauh mengunjungi perpustakaan atau toko
buku. Karena memang toko buku sangat langka tidak sebanyak warung makan.
Penyakit menular ini, sebisa mungkin dengan ikhtiar kita
masing-masing bisa dicegah. Bagi saya pribadi penyakit malas membaca belum ada
obat manjur untuk menyembuhkan secara total. Untuk meyakinkan pada diri sendiri
bahwa membaca itu sebuah kebutuhan. Ketika kita tidak membaca maka kita tidak
akan tahu.
Membaca ada yang skala kecil dan membaca dalam skala
besar. Dalam skala kecil setidaknya kita membaca artikel-artikel singkat baik
di media cetak maupun di media sosial. Membaca hasil posting orang lain yang
sekiranya bermanfaat. Sedikit tidak masalah. Misalkan lima sampai sepuluh
artikel setiap hari. Lumayan lah dari pada tidak sama sekali.
Jika katagori skala besar misalnya fokus menghatamkan
satu karya buku. Jika itu terasa sulit, carilah solusi lain bacaan-bacaan yang
lebih singkat yang mempunyai pendekatan sama. Yang penting jangan sampai merasa
terpaksa atau karena pamer kepada teman biar bisa dibilang rajin baca.
Alasan sering tidak punya waktu luang, sering kali
terdengar. Baik dari lisan saya pribadi maupun teman-teman yang tidak jauh beda
malasnya dengan saya. Itu artinya saya menyalahkan waktu. Padahal perputaran
waktu akan selalu konsisten dengan jadwalnya. Hanya kita saja yang lalai dalam
memanfaatkan.
Semoga kita yang masih malas membaca dapat memulai dengan
sedikit demi sedikit. Tidak perlu langsung banyak. Kita bisa mencari bacaan
yang membuat kita nyaman dan ingin membaca lagi. Jika ketemu bacaan yang
sekiranya membuat kita benci segeralah cari bacaan yang lain. Selamat membaca. wallahu
‘alam bisshowab.
Posting Komentar