Benda itu sebuah buku. Tampak usang,
berdebu dan sedikit lapuk. Halaman demi halamannya bersemu kusam. Aku meniupkan
sejumput angin pada debu-debu yang menempel pada wajahnya. Entah bagaimana
mampu nanar pandangku tenggelam menyibak isi yang tertuang dalam tubuhnya. Kata
perkata, bait perbait,lembar demi lembar.
Buku itu tentang cinta. Cinta yang tak
mengenal waktu. Cinta yang tak mengenal tempuh. Cinta yang asing berpijar
massa. Peristiwa demi peristiwa di masa lalu mulai menjalar dan mengalun di
dalam jiwaku. Semua menyatu dalam balutan patung-patung pena yang membisu.
Bukan, aku bukan ingin bersumpah di
atas buku itu. Aku hanya memiliki maksud untuk rebahkan hati di atas
pembatas-pembatasnya. Sejenak saja. Lenyapkan penat demi penat yang menggilas
hari-hariku.
Bukan, bukan aku tak suka lagi. Buku
itu masih menggiurkan kerongkongan hati ini meski sangat membosankan bagi
serat-serat otak kepalaku ketika berusaha memahaminya.
Kini kisahnya kembali menggodaku untuk
hanyut hingga ke dasarnya. Buku itu tak pernah menyerah, terus berusaha menarik
jantungku dengan warna-warni kisahnya. Tapi tahu apa aku tentang cinta? Samar
rasanya jarak pandanganku tentang kata yang satu itu.
Aku menelan air liurku. Mencoba
larutkan hati ke dalam makna buku tentang cinta. Hiasannya indah dan harumnya
semerbak, denting iramanya memintaku untuk bernyanyi dan berdansa bersama. Lagu
cinta menjadi pengiringnya. Wajahnya yang mempesona semakin memaksaku untuk
lebih dalam lagi memasuki puri-puri aksaranya.
Nuraniku terdiam. Menyimak. Buku itu
kini tajam memandangku. Lebih tajam dari seribu mata pedang. Ia sunggingkan
senyum dan kerlingkan indah sorot matanya. Lalu berkata…
“Hei! Cepat padamkan beku di
dasar hatimu, lelehkan semua dengan merangkai kembali cerita cinta di atas
tubuh kusamku. Cinta adalah hak setiap jiwa meski sulit untuk terdefinisikan.
Sekejap mampu terbangkan dirimu ke awang-awang, sekedip mata sanggup
hempaskanmu ke dasar bumi. Kebahagiaan dan kesedihan niscaya tertera di antara
bab-babnya. Resapi saja sejuta makna perjalanan rasa atas nama sebuah cinta.
Terus dan teruslah menulis tentangnya. Jangan pernah berhenti, meski cinta tak
pernah bisa berjanji bahwa air mata takkan menghampiri.”
Ah, isi kepalaku sekarang
berputar-putar. Semakin kencang. Percikan tujuh bintang menari lalu menghunus
kedua mataku yang sejak tadi berkunang-kunang. Bodohnya aku, masih tak bisa
mengerti apa itu cinta walau hanya sepotong bagian saja. Sepertinya yang mudah
kupahami hanyalah tentang mabuk kepayang para penulis narasi tentang cinta.
Jadi, tolong bacakan saja dulu untukku. Aku pasti mendengarkan.
*****
-The Book of Love, Peter Gabriel
Posting Komentar