Sekolah Astronomi yang diadakan oleh Ulul Albab Astronomi Club (UA2C) selama tiga hari dari tanggal 21 s.d 23 Desember 2016 membuat saya semakin tertarik untuk mendalami ilmu astronomi. Awal ketertarikan saya untuk mengikuti kegiatan ini dikarenakan faktor mata kuliah di Unisma yang mengkaji tentang ilmu falak. Ternyata dalam tiga hari sekolah disini cukup untuk mewakili satu semester dengan bobot tiga sks di Unisma. Ditambah dengan praktek-praktek meneropong melalui teleskop. Ini beberapa ulasan yang disalin dari blocknote kecil selama saya mengikuti school of astronomy .
Astronomi Sebagai salah satu ilmu
pengetahuan tertua dalam peradaban manusia, kerap dijuluki sebagai ‘ratu sains’.
Astronomi memang menempati posisi yang terbilang istimewa dalam kehidupan
manusia. Sejak dulu, manusia begitu terkagum-kagum ketika memandang kerlip
bintang dan pesona benda-benda langit yang begitu luar biasa.
Awalnya, manusia menganggap fenomena
langit sebagai sesuatu yang magis. Seiring berputarnya waktu dan zaman, manusia
pun memanfaatkan keteraturan benda-benda yang mereka amati di angkasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup seperti penanggalan. Dengan mengamati langit, manusia
pun bisa menentukan waktu utuk pesta, upacara keagamaan, waktu untuk mulai
menabur benih dan panen.
Jejak astronomi tertua ditemukan
dalam peradaban bangsa Sumeria dan Babilonia yang tinggal di Mesopotamia (3500
– 3000 SM). Bangsa Sumeria hanya menerapkan bentuk-bentuk dasar astronomi.
Pembagian lingkaran menjadi 360 derajat berasal dari bangsa Sumeria.
Orang Sumeria juga sudah mengetahui
gambaran konstelasi bintang sejak 3500 SM. Mereka menggambar pola-pola rasi
bintang pada segel, vas, dan papan permainan. Nama rasi Aquarius yang dikenal
saat ini berasal dari bangsa Sumeria.
Astronomi juga sudah dikenal
masyarakat India kuno. Sekitar tahun 500 SM, Aryabhata melahirkan sistem
matematika yang menempatkan bumi berputar pada porosnya. Aryabhata membuat
perkiraan mengenai lingkaran dan diameter bumi. Brahmagupta (598 – 668) juga
menulis teks astronomi yang berjudul Brahmasphutasiddhanta pada 628. Dialah
astronom pendahulu yang menggunakan aljabar untuk memecahkan masalah-masalah
astronomi.
Masyarakat Cina kuno 4000 SM juga
sudah mengenal astronomi. Awalnya, astronomi di Cina digunakan untuk mengatur
waktu. Orang Cina menggunakan kalender lunisolar. Namun, kerena perputaran
matahari dan bulan berbeda, para ahli astronomi Cina sering menyiapkan kalender
baru dan membuat observasi.
Bangsa Yunani kuno juga amat
tertarik dengan astronomi. Adalah Thales yang mengawalinya pada abad ke-6 SM.
Menurut dia, bumi itu berbentuk datar. Phytagoras sempat membantah pendapat itu
dengan menyatakan bumi itu bulat. Dua abad berselang, Aristoteles melahirkan
terobosan penting yang menegaskan menyatakan bahwa bumi itu bulat bundar.
Aristachus pada abad ke-3 SM sempat
melontarkan pendapat bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta. Teori itu tak
mendapat tempat pada masa itu. Era astronomi klasik ditutup Hipparchus pada
abad ke-1 SM yang melontarkan teori geosentris. Bumi itu diam dan dikelilingi
oleh matahari, bulan, dan planet-planet yang lain. Sistem geosentris itu
disempurnakan Ptolomeus pada abad ke-2 M .
Astronomi Islam
Setelah runtuhnya kebudayaan Yunani
dan Romawi pada abad pertengahan, maka kiblat kemajuan ilmu astronomi berpindah
ke bangsa Arab. Astronomi berkembang begitu pesat pada masa keemasan Islam (8 –
15 M). Karya-karya astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab dan
dikembangkan para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan Asia
Tengah.
Salah satu bukti dan pengaruh
astronomi Islam yang cukup signifikan adalah penamaan sejumlah bintang yang
menggunakan bahasa Arab, seperti Aldebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam,
Mintaka (tiga bintang terang di sabuk Orion), Aldebaran, Algol, Altair,
Betelgeus.
Selain itu, astronomi Islam juga
mewariskan beberapa istilah dalam `ratu sains’ itu yang hingga kini masih
digunakan, seperti alhidade, azimuth, almucantar, almanac, denab, zenit, nadir,
dan vega. Kumpulan tulisan dari astronomi Islam hingga kini masih tetap
tersimpan dan jumlahnya mencapaii 10 ribu manuskrip.
Ahli sejarah sains, Donald Routledge
Hill, membagi sejarah astronomi Islam ke dalam empat periode. Periode pertama
(700-825 M) adalah masa asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi Yunani,
India dan Sassanid. Periode kedua (825-1025) adalah masa investigasi
besar-besaran dan penerimaan serta modifikasi sistem Ptolomeus. Periode ketiga
(1025-1450 M), masa kemajuan sistem astronomi Islam. Periode keempat (1450-1900
M), masa stagnasi, hanya sedikit kontribusi yang dihasilkan.
Geliat perkembangan astronomi di
dunia Islam diawali dengan penerjemahan secara besar-besaran karya-karya
astronomi dari Yunani serta India ke dalam bahasa Arab. Salah satu yang
diterjemahkan adalah karya Ptolomeus yang termasyhur, Almagest. Berpusat di
Baghdad, budaya keilmuan di dunia Islam pun tumbuh pesat.
Sejumlah, ahli astronomi Islam pun
bermunculan, Nasiruddin at-Tusi berhasil memodifikasi model semesta episiklus
Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi
benda-benda langit. Selain itu, ahli matematika dan astronomi Al-Khawarizmi,
banyak membuat tabel-tabel untuk digunakan menentukan saat terjadinya bulan
baru, terbit-terbenam matahari, bulan, planet, dan untuk prediksi gerhana.
Ahli astronomi lainnya, seperti
Al-Batanni banyak mengoreksi perhitungan Ptolomeus mengenai orbit bulan dan
planet-planet tertentu. Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan
dan menghitung secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi,
perhitungan yang sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365 hari, 5
jam, 46 menit dan 24 detik.
Astronom Islam juga merevisi orbit
bulan dan planet-planet. Al-Battani mengusulkan teori baru untuk menentukan
kondisi dapat terlihatnya bulan baru. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengubah
sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam)
menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga
berjumlah 24 jam.
Buku fenomenal karya Al-Battani pun
diterjemahkan Barat. Buku ‘De Scienta Stelarum De Numeris Stellarum’ itu kini
masih disimpan di Vatikan. Tokoh-tokoh astronomi Eropa seperti Copernicus,
Regiomantanus, Kepler dan Peubach tak mungkin mencapai sukses tanpa jasa
Al-Batani. Copernicus dalam bukunya ‘De Revoltionibus Orbium Clestium’ mengaku
berutang budi pada Al-Battani.
Dunia astronomi juga tak bisa lepas
dari bidang optik. Melalui bukunya Mizan Al-Hikmah, Al Haitham mengupas
kerapatan atmofser. Ia mengembangkan teori mengenai hubungan antara kerapatan
atmofser dan ketinggiannya. Hasil penelitiannya menyimpulkan ketinggian
atmosfir akan homogen di ketinggian lima puluh mil.
Teori yang dikemukakan Ibn Al-Syatir
tentang bumi mengelilingi matahari telah menginspirasi Copernicus. Akibatnya,
Copernicus dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga Galileo,
yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik
dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.
Menurut para ahli sejarah, kedekatan
dunia Islam dengan dunia lama yang dipelajarinya menjadi faktor berkembangnya
astronomi Islam. Selain itu, begitu banyak teks karya-karya ahli astronomi yang
menggunakan bahasa Yunani Kuno, dan Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab selama abad kesembilan. Proses ini dipertinggi dengan toleransi terhadap
sarjana dari agama lain. Sayang, dominasi itu tak bisa dipertahankan umat
Islam.
Jejak Abadi di Kawah ke Bulan
Ilmuwan Islam begitu banyak memberi
kontribusi bagi pengembangan dunia astronomi. Buah pikir dan hasil kerja keras
para sarjana Islam di era tamadun itu diadopsi serta dikagumi para saintis
Barat. Inilah beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi yang telah
disumbangkannya bagi pengembangan `ratu sains’ itu.
Al-Battani (858-929).
Sejumlah karya tentang astronomi
terlahir dari buah pikirnya. Salah satu karyanya yang paling populer adalah
al-Zij al-Sabi. Kitab itu sangat bernilai dan dijadikan rujukan para ahli
astronomi Barat selama beberapa abad, selepas Al-Battani meninggal dunia. Ia
berhasil menentukan perkiraan awal bulan baru, perkiraan panjang matahari, dan
mengoreksi hasil kerja Ptolemeus mengenai orbit bulan dan planet-planet
tertentu. Al-Battani juga mengembangkan metode untuk menghitung gerakan dan
orbit planet-planet. Ia memiliki peran yang utama dalam merenovasi astronomi
modern yang berkembang kemudian di Eropa.
Al-Sufi (903-986 M)
Orang Barat menyebutnya Azophi. Nama
lengkapnya adalah Abdur Rahman as-Sufi. Al-Sufi merupakan sarjana Islam yang
mengembangkan astronomi terapan. Ia berkontribusi besar dalam menetapkan arah
laluan bagi matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam
Kitab Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang,
memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai
astrolabe (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda
langit pada bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.
Al-Biruni (973-1050 M)
Ahli astronomi yang satu ini, turut
memberi sumbangan dalam bidang astrologi pada zaman Renaissance. Ia telah
menyatakan bahwa bumi berputar pada porosnya. Pada zaman itu, Al-Biruni juga
telah memperkirakan ukuran bumi dan membetulkan arah kota Makkah secara
saintifik dari berbagai arah di dunia. Dari 150 hasil buah pikirnya, 35
diantaranya didedikasikan untuk bidang astronomi.
Ibnu Yunus (1009 M)
Sebagai bentuk pengakuan dunia
astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah kawah di permukaan
bulan. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus. Ia
menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003 M untuk memperhatikan
benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga
berdiameter 1,4 meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan
mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
Al-Farghani
Nama lengkapnya Abu’l-Abbas Ahmad
ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Ia merupakan salah seorang sarjana Islam
dalam bidang astronomi yang amat dikagumi. Beliau adalah merupakan salah
seorang ahli astronomi pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Dia menulis mengenai
astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematik di balik penggunaan
peralatan astronomi itu. Kitabnya yang paling populer adalah Fi Harakat
Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum tentang kosmologi.
Al-Zarqali (1029-1087 M)
Saintis Barat mengenalnya dengan
panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali diabadikan pada setem di Spanyol, sebagai
bentuk penghargaan atas sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih
baik. Beliau telah menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli
yang menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
Jabir Ibn Aflah (1145 M)
Sejatinya Jabir Ibn Aflah atau Geber
adalah seorang ahli matematik Islam berbangsa Spanyol. Namun, Jabir pun ikut
memberi warna da kontribusi dalam pengembangan ilmu astronomi. Geber, begitu
orang barat menyebutnya, adalah ilmuwan pertama yang menciptakan sfera
cakrawala mudah dipindahkan untuk mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan
objek langit. Salah satu karyanya yang populer adalah Kitab al-Hay’ah.
Kegemilangan Observatorium Ulugh Beg
Sejatinya observatorium pertama di
dunia dibangun astronom Yunani bernama Hipparchus (150 SM). Namun, di mata ahli
astronomi Muslim abad pertengahan, konsep observatorium yang dilahirkan
Hipparcus itu jauh dari memadai. Sebagai ajang pembuktian, para sarjana Muslim
pun membangun observatorium yang lebih moderen pada zamannya.
Sejumlah astronom Muslim yang
dipimpin Nasir al-Din al-Tusi berhasil membangun observatorium astronomi di
Maragha pada 1259 M. Observatorium itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi
buku mencapai 400 ribu judul. Observatorium Maragha juga telah melahirkan
sejumlah astronom terkemuka seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu’ayyid al-Din
al-Urdy, Muiyi al-Din al-Maghriby, dan banyak lagi.
Ahli astronomi Barat, Kevin
Krisciunas dalam tulisannya berjudul The Legacy of Ulugh Beg mengungkapkan,
observatorium termegah yang dibangun sarjana Muslim adalah Ulugh Beg.
Observatorium itu dibangun seorang penguasa keturunan Mongol yang bertahta di
Samarkand bernama Muhammad Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang
pejabat yang menaruh perhatian terhadap astronomi.
`’Ketertarikan dalam astronomi
bemula, ketika dia mengunjungi Observatorium Maragha yang dibangun ahli
astronomi Muslim terkemuka, Nasir al-Din al-Tusi,” tutur Krisciunas.
Geliat pengkajian astronomi di
Samarkand mulai berlangsung pada tahun 1201. Namun, aktivitas astronomi yang
sesungguhnya di wilayah kekuasaan Ulugh Beg mulai terjadi pada 1408 M.
Ghirah astronomi di Samarkand
mengalami puncaknya ketika Ulugh Beg mulai membangun observatorim pada 1420.
Menurut Kriscunas, berdasarkan laporan yang ditulis ahli astronomi pada saat
iru, Al-Kashi aktivitas pengkajian astronomi di Observatorium Ulugh Beg
didukung oleh tujuh puluh sarjana. Para ahli astronomi itu mendapatkan
perlakukan istimewa dengan fasilitas dan gaji yang luar biasa besarnya.
Observatorium ini beroperasi selama
50 tahun. Sayangnya, setelah Ulugh Beg meninggal, obeservatorium itu pun
mengalami kehancuran. Sejumlah astronom telah lahir dari lembaga itu yakni,
Giyath al-Din Jamshid al-Kushy, Qadizada al-Rumy dan `Ali ibn Muhammad
al-Qashji. Observatorium yang terakhir milik Islam dibangun di Istanbul tahun
1577, di zaman kekuasaan Sultan Murad III (1574-1595) yang didirikan Taqi al-Din
Muhammad ibn Ma’ruf al-Rashyd al-Dimashqiy.
Posting Komentar