“Dan jangan sekali-kali engkau menyangka
(bahwa) orang-orang yang terbunuh (yang gugur syahid) pada jalan Allah itu
mati, (Mereka tidak mati) bahkan mereka adalah hidup (secara istimewa) di sisi
Tuhan mereka, dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169)
KATA mati
(baca; syahid), jamak syuhada’ dalam ayat di atas artinya muslim yang mati
ketika berperang atau berjuang di jalan Allah, membela kebenaran atau
mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama
Allah. Siapa yang berjuang membela harta miliknya, jiwanya, keluarganya,
agamanya, dan meninggal dalam perjuangannya itu, maka ia meninggal fi
sabilillah atau mati syahid. Mati syahid merupakan cita-cita tertinggi umat Islam. Satu
jalan menuju mati syahid adalah berjuang di jalan Allah (jihad fi sabilillah).
Sejarah
mencatat, tidak sedikit umat Islam yang gugur sebagai syahid, terutama melalui perjuangan
menentang golongan kafir. Dalam perjuangan awal kebangkitan Islam di bawah
pimpinan Rasulullah saw, jumlah yang syahid dalam perang Badar (14 orang),
perang Uhud (71 orang), perang Khandak/Ahzab (6 orang), perang Khaibar (21 orang),
perang Muktah (12 orang), serta perang Hunain dan Taif (16 orang). Hakikat
sebenarnya mereka yang mati syahid bukanlah mati, tetapi mereka hidup di sisi
Allah dan senantiasa mendapat rahmat dan rezeki daripada Allah Swt.
Dari Anas bin
Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada satu jiwa pun yang mati dan
akan memperoleh kebajikan yang menggembirakannya di sisi Allah karena dia dapat
kembali ke dunia, bukan karena untuk memperoleh dunia serta isinya kecuali
orang yang mati syahid. Karena ia berharap dapat kembali lagi lalu terbunuh
lagi di dunia, melihat besarnya keutamaan mati syahid.” (HR. Muslim)
Mengenang
pahlawan
Setiap 10 November, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan
untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa, yang gugur di medan jihad.
Peringatan yang kita lakukan hanya sebatas mengenang kisah perjuangan pahlawan.
Padahal yang jauh lebih penting adalah bagaimana kisah perjuangan dan karakter
para pahlawan menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi generasi berikutnya.
Kata pahlawan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang berjuang dengan
gagah berani dalam membela kebenaran. Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam
Bonjol, Sultan Hasanuddin, Pattimura dan lainnya, adalah nama-nama yang sudah
tidak asing lagi di telinga rakyat Indonesia. Mendengar nama-namanya, pikiran
kita langsung terkenang pada perjuangan mereka dalam merebut dan memperjuangkan
kemerdekaan. Kemerdekaan yang dirasakan bangsa ini adalah buah dari perjuangan
gigih mereka. Maka pantas bagi mereka menjadi sosok para pahlawan bangsa.
Memberinya
status pahlawan bagi para pejuang bangsa, tentu saja bukan keinginan dan tujuan
mereka. Tapi keinginan bangsa ini, dalam upaya mengenang dan berterima kasih
kepada para pejuang bangsa. Ini menandakan bangsa ini tidak lupa kacang akan
kulitnya.
Karakteristik
pahlawan menurut pandangan Islam yang bersumber dari Alquran. Seseorang akan menjadi
sosok “pahlawan” dalam kacamata Islam apabila telah memenuhi kriteria sesuai dengan Alquran.
Dalam Alquran, istilah yang digunakan untuk para pembela kebenaran, atau
pahlawan adalah rajul, jamaknya adalah rijal. Para rijal ini ada pada setiap
zaman, baik pada masa Rasulullah Muhammad saw dan sesuadahnya.
Ciri-ciri
(karakteristik) para rijal yang disebutkan dalam Alquran antara lain: Pertama,
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah (untuk berjihad di jalan
Allah), sebagaimana firman-Nya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada rijal,
yaitu orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka
di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang
menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23)
Posting Komentar