Matematika
dan filsafat mempunyai sejarah keterikatan satu dengan yang lain sejak jaman
Yunani Kuno. Matematika di samping merupakan sumber dan inspirasi bagi para
filsuf, metodenya juga banyak diadopsi untuk mendeskripsikan pemikiran
filsafat. Kita bahkan mengenal beberapa matematikawan yang sekaligus sebagai
sorang filsuf, misalnya Descartes, Leibniz, Bolzano, Dedekind, Frege, Brouwer,
Hilbert, G¨odel, and Weyl. Pada abad terakhir di mana logika yang merupakan
kajian sekaligus pondasi matematika menjadi bahan kajian penting baik oleh para
matematikawan maupun oleh para filsuf.
Logika
matematika mempunyai peranan hingga sampai era filsafat kontemporer di mana
banyak para filsuf kemudian mempelajari logika. Logika matematika telah memberi
inspirasi kepada pemikiran filsuf, kemudian para filsuf juga berusaha
mengembangkan pemikiran logika misalnya “logika modal”, yang kemudian
dikembangkan lagi oleh para matematikawan dan bermanfaat bagi pengembangan
program komputer dan analisis bahasa. Salah satu titik krusial yang menjadi
masalah bersama oleh matematika maupun filsafat misalnya persoalan pondasi
matematika.
Baik
matematikawan maupun para filsuf bersama-sama berkepentingan untuk menelaah
apakah ada pondasi matematika? Jika ada apakah pondasi itu bersifat tunggal
atau jamak? Jika bersifat tunggal maka apakah pondasi itu? Jika bersifat jamak
maka bagaimana kita tahu bahwa satu atau beberapa diantaranya lebih utama atau
tidak lebih utama sebagai pondasi? Pada abad 20, Cantor diteruskan oleh Sir
Bertrand Russell, mengembangkan teori himpunan dan teori tipe, dengan maksud
untuk menggunakannya sebagai pondasi matematika. Namun kajian filsafat telah
mendapatkan bahwa di sini terdapat paradoks atau inkonsistensi yang kemudian
membangkitkan kembali motivasi matematikawan di dalam menemukan hakekat dari
sistem matematika.
Dengan teori ketidak-lengkapan,
akhirnya Godel menyimpulkan bahwa suatu sistem matematika jika dia lengkap maka
pastilah tidak akan konsisten; tetapi jika dia konsisten maka dia patilah tidak
akan lengkap. Hakekat dari kebenaran secara bersama dipelajari secara intensif
baik oleh filsafat maupun matematika. Kajian nilai kebenaran secara intensif
dipelajari oleh bidang epistemologi dan filsafat bahasa. Di dalam matematika,
melalui logika formal, nilai kebenaran juga dipelajari secara intensif. Kripke,
S. dan Feferman (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) telah merevisi
teori tentang nilai kebenaran; dan pada karyanya ini maka matematika dan
filsafat menghadapi masalah bersama. Di lain pihak, pada salah satu kajian
filsafat, yaitu epistemologi, dikembangkan pula epistemologi formal yang
menggunakan pendekatan formal sebagai kegiatan riset filsafat yang menggunakan
inferensi sebagai sebagai metode utama. Inferensi demikian tidak lain tidak
bukan merupakan logika formal yang dapat dikaitkan dengan teori permainan,
pengambilan keputusan, dasar komputer dan teori kemungkinan.
Para matematikawan dan para filsuf
secara bersama-sama masih terlibat di dalam perdebatan mengenai peran intuisi
di dalam pemahaman matematika dan pemahaman ilmu pada umumnya. Terdapat
langkah-langkah di dalam metode matematika yang tidak dapat diterima oleh
seorang intuisionis. Seorang intuisionis tidak dapat menerima aturan logika
bahwa kalimat “a atau b” bernilai benar untuk a bernilai benar dan b bernilai
benar. Seorang intuisionis juga tidak bisa menerima pembuktian dengan metode
membuktikan ketidakbenaran dari ingkarannya. Seorang intuisionis juga tidak
dapat menerima bilangan infinit atau tak hingga sebagai bilangan yang bersifat
faktual. Menurut seorang intuisionis, bilangan infinit bersifat potensial. Oleh
karena itu kaum intuisionis berusaha mengembangkan matematika hanya dengan
bilangan yang bersifat finit atau terhingga.
Banyak filsuf telah menggunakan
matematika untuk membangun teori pengetahuan dan penalaran yang dihasilkan
dengan memanfaatkan bukti-bukti matematika dianggap telah dapat menghasilkan
suatu pencapaian yang memuaskan. Matematika telah menjadi sumber inspirasi yang
utama bagi para filsuf untuk mengembangkan epistemologi dan metafisik.
Dari
pemikiran para filsuf yang bersumber pada matematika diantaranya muncul
pemikiran atau pertanyaan: Apakah bilangan atau obyek matematika memang
betul-betul ada? Jika mereka ada apakah di dalam atau di luar pikiran kita?
Jika mereka ada di luar pikiran kita bagaimana kita bisa memahaminya? Jika
mereka ada di dalam pikiran kita bagaimana kita bisa membedakan mereka dengan
konsep-konsep kita yang lainnya? Bagaimana hubungan antara obyek matematika
dengan logika? Pertanyaan tentang “ada” nya obyek matematika merupakan
pertanyaan metafisik yang kedudukannya hampir sama dengan pertanyaan tentang
keberadaan obyek-obyek lainnya seperti universalitas, sifat-sifat benda, dan
nilai-nilai.
Menurut
beberapa filsuf jika obyek-obyek itu ada maka apakah dia terkait dengan ruang
dan waktu? Apakah dia bersifat aktual atau potensi? Apakah dia bersifat
abstrak? Atau konkrit? Jika kita menerima bahwa obyek matematika bersifat
abstrak maka metode atau epistemologi yang bagaimana yang mampu menjelaskan
obyek tersebut? Mungkin kita dapat menggunakan bukti untuk menjelaskan
obyek-obyek tersebut, tetapi bukti selalu bertumpu kepada aksioma. Pada
akhirnya kita akan menjumpai adanya “infinit regress” karena secara filosofis
kita masih harus mempertanyakan kebenaran dan keabsahan sebuah aksioma.
Hannes Leitgeb di (Antonelli, A.,
Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) di “Mathematical Methods in Philosophy”
telah menyelidiki penggunaan matematika di filsafat. Dia menyimpulkan bahwa
metode matematika mempunyai kedudukan penting di filsafat. Pada taraf tertentu
matematika dan filsafat mempunyai persoalan-persoalan bersama. Hannes Leitgeb
telah menyelidiki aspek-aspek dalam mana matematika dan filsafat mempunyai
derajat yang sama ketika melakukan penelaahan yatitu kesamaan antara obyek,
sifat-sifat obyek, logika, sistem-sistem, makna kalimat, hukum sebab-akibat,
paradoks, teori permainan dan teori kemungkinan. Para filsuf menggunakan logika
sebab-akibat untuk untuk mengetahui implikasi dari konsep atau pemikirannya,
bahkan untuk membuktikan kebenaran ungkapan-ungkapannya. Joseph N. Manago
(2006) di dalam bukunya “ Mathematical Logic and the Philosophy of God and
Man” mendemonstrasikan filsafat menggunakan metode matematika untuk
membuktikan Lemma bahwa terdapat beberapa makhluk hidup bersifat “eternal”.
Makhluk hidup yang tetap hidup disebut bersifat eternal.
Posting Komentar