Tamen
magik tombu sokon—Tabing kerrep bennyak kalana
Mompong gik odik kotu parokon—Mak olle salamet tengka salana.
(Menanam biji asam tumbuh sukun—Geddhek yang rapat banyak kalajengkingnya
Mumpung masih hidup harus rukun—Agar selamat tingkah lakunya)
Mompong gik odik kotu parokon—Mak olle salamet tengka salana.
(Menanam biji asam tumbuh sukun—Geddhek yang rapat banyak kalajengkingnya
Mumpung masih hidup harus rukun—Agar selamat tingkah lakunya)
Dari
obrolan ringan ternyata menimbulkan banyak inti pokok permasalahan yang melanda
diri, masyarakat dan dunia namun jarang sekali kita sadari. Hasilnya, jarang
ada solusi yang tepat dan lebih banyak mengira-ngira dengan referensi yang
cenderung dari lisan. Valid? Ah tidak mungkin, namanya juga obrolan
menghabiskan malam.
Sekitar
tengah malam, jam sebelas malam, di komisariat IPNU UIN Malang, penulis
berbincang dengan salah satu kawan, yang berasal dari Pasuruan ditemani
secangkir kopi dan separuh isi satu pak rokok. Ngelindur kesana kemari, tak
juntrung serius membahas apapun. Lebih banyak bernostalgia daripada berdiskusi.
Namun suasana cair itu tiba-tiba terhenti ketika sang madurese speaker
(penulis) tidak menemukan kosa kata jawa untuk melanjutkan omongannya.
Berhubung
saya hidup di Jawa Timur, tentu saya harus bisa beradaptasi dengan bahasa jawa.
Bentuk komunikasi bahasa yang terbangun di Malang adalah bahasa Jawa, baik
dengan tiga model bahasa Jawa (ngoko, kromo, kromo inggil) ataupun bahasa jawa
Malangan (cenderung dibolak-balik). Karena tidak menemukan kosa kata yang
dimaksud, akhirnya saya mencampuradukkan (code-switching–CS) bahasa saya
(madura) dengan bahasa Jawa yang baru saja saya ujarkan.
Sedikit
lama, dia mengernyitkan dahi, kemudian dia hanya tergelak dan mengangguk-angguk
mengerti. Saya pun heran, apakah dia memahami arti bahasa madura yang saya
ucapkan ataukah dia memahami perkataan saya berdasarkan konteks. Berdasarkan
teori CS, tindakan ini dilakukan demi mempermudah komunikasi agar pembicara
bahasa A (Jawa) tidak perlu terlalu lama memikirkan kosa kata yang sesuai,
sehingga dia menggunakan bahasa B (Madura). CS pun bisa membantu etnik
minoritas, seperti saya mempertahankan identitas budaya saya, seperti bahasa
slang yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan identitas dan pula membedkan
dari masyarakat yang lebih besar. Tapi saya lupa, bahasa A dan B itu khan
seharusnya ada keselarasan, baik antara bahasa pertama (first language) dan
bahasa kedua (second language) dan bahasa kedua orang yang berbicara, apakah
sama atau tidak. Untung saja, sejak dia bergaul dengan madurese speaker seperti
saya, dia memahami bahasa saya.
“Sepertinya
ada kesamaan ya mus, antara Madura dan Jawa?”
“Maksudnya?”
“Ya, tadi khan kamu sebutkan, bahasa Madura pun dibagi menjadi tiga (enja’-iya, enggi-enten, enggi-bunten), sepertinya ada kesamaan. Bukankah dalam bahasa kromo inggil dan enggi-bunten (sebagai bahasa tertinggi keduanya) sering ada kosa kata yang serupa. Seperti panjenengan (kosa kata untuk merujuk kepada lawan bicara dengan halus). Entah kenapa aku paham bahasamu tadi,”ujarnya sambil menggaruk kepala.
“Maksudnya?”
“Ya, tadi khan kamu sebutkan, bahasa Madura pun dibagi menjadi tiga (enja’-iya, enggi-enten, enggi-bunten), sepertinya ada kesamaan. Bukankah dalam bahasa kromo inggil dan enggi-bunten (sebagai bahasa tertinggi keduanya) sering ada kosa kata yang serupa. Seperti panjenengan (kosa kata untuk merujuk kepada lawan bicara dengan halus). Entah kenapa aku paham bahasamu tadi,”ujarnya sambil menggaruk kepala.
Aku
pun garuk-garuk kepala. Gak paham juga. Memang sebagian ada yang sama. Begitu
pula halnya antara bahasa Indonesia (BI) dan Bahasa Jawa (BJ) atau BI dan
Bahasa Madura (BM). Kami bisa menerka, beberapa kata di BI adalah kata serapan
dari kedua bahasa lokal tersebut. Pun begitu, kedua bahasa daerah tersebut,
sekarang mulai cenderung menyerap BI. Atas hasil kelakar, tanpa ada penelitian
menyeluruh, hasil bincangan kami merujuk ke sana. Sebut saja kata roma dan
bungkoh, dua kosa kata BM ini sama-sama bermakna rumah. Ada keserupaan
morfologis antara roma dan rumah. Kawanku pun meyimpulkan asal-asalan, roma
adalah kata serapan BM dari BI. Bagaimana pula dengan omah (BJ yang juga
berarti rumah). Kawanku menjawab, “itu karena BI menyerap BJ.” “Ah, dasar orang
Jawa.” Dia pun menimpali celetukanku barusan, “Ah, dasar orang Madura.” Kami
pun tertawa terbahak-bahak.
Beralih
pada beberapa kesamaan antara BJ dan BM, hasil bincang ngalor-ngidul kami
menyatakan. Kesamaan itu terjadi karena asal-muasal BM adalah BJ. Melihat
struktur geografis, sangat mustahil manusia pertama adalah orang Madura,
melainkan Jawa. Beberapa orang Jawa yang menemukan pulau Madura, akhirnya
menetap di sana. Atas dasar konstruksi bahasa, mereka pun berkomunikasi
seadanya dengan BJ dan jika menemukan suatu hal yang baru mereka pun membentuk
bahasa baru sebagai naluri alamiah berbahasa mereka.
Alasan
kenapa mereka tidak menggunakan BJ, bisa jadi karena kosa kata BJ mereka tidak
begitu lengkap dan akhirnya hasil perilaku bahasa mereka menjadi cikal bakal
bahasa madura. Mereka yang barangkali terdampar di pulau Madura, sangat
kesulitan untuk bepergian kembali ke Jawa karena kesulitan transportasi,
sehingga mereka pun menetap di pulau Madura dan mencipta bahasa baru. yach, ini
konsep pemerolehan bahasa yang mengacu pada human resourches (pola interaksi
dengan manusia) dan natural resourches (pola interaksi dengan alam. Konsep
milik Plato onomatopoeia (semua bahasa berasal dari peniruan bunyi-bunyi
terakhir dengan ejekan dan karikatur) pun bisa dipakai di sini. Dan bisa jadi
pula, manusia Jawa pertama berasal dari pulau Madura. Haha
Obrolan
ringan ini berakhir tanpa penjelasan. Tiada bukti ilmiah yang bisa diajukan.
Yang ada dibenak kami, bahasa lokal sudah dicemari bahasa Indonesia dan
seterusnya, BI di-KO oleh bahasa Inggris dengan perilaku nginggris tokoh-tokoh
bangsa.
Posting Komentar