Bagaimana jadinya bila Cinta menemukan
Tuhan? Dan mengapa ia harus terjadi di dunia?
Memang sedikit yang bisa orang
ungkapkan tentang cinta. Dan mungkin lebih sedikit lagi yang bisa orang
ungkapkan tentang Tuhan. Maka, ketika cinta menemukan Tuhan, orang tiada lagi
bisa berkata-kata. Menurut para sufi, cinta adalah mukjizat terbesar
Tuhan, dan Tuhan adalah terminal akhir cinta. Mencintai Tuhan berarti meletakkan
sesuatu pada tempatnya, dan sebaliknya: mencintai selain Tuhan tidaklah
bermakna tanpa bermuara pada-Nya.
Akan tetapi, Kebijaksanaan Allah
menghendaki agar semua drama percintaan ini berlangsung di panggung dunia. Dan
dunia dalam wacana tasawuf mempunyai dua pengertian: alam fisik tempat kita
hidup dan tingkat ketergantungan kita kepada alam tersebut.
Dunia sebagai alam fisik merupakan
manifestasi Keindahan Ilahi yang sangat menakjubkan. Melalui pesona
keindahannya, Allah berkehendak memupuk dan memperkaya kecintaan makhluk
kepada-Nya. Namun, pada saat yang sama, keindahan yang merupakan “permainan”
manifestasi dan refleksi Ilahi ini juga bisa menipu manusia, sehingga ia lalai
akan Kemahaindahan Penciptanya. Ini oleh para sufi digambarkan sebagai ketertipuan
yang berasal dari diri (nafs) manusia yang sangat suka pada “yang tampak
(azh-zhahir)” dan “yang segera (al-‘ajilah)”. Oleh para sufi kecenderungan ini
dianggap sebagai hijab (penghalang). Dan diri yang ber-hijab akan senantiasa
terkungkung dalam bayang-bayang manifestasi dan melupakan Sumber serta Hakikat
Kemahaindahan.
Dunia dalam pengertian inilah yang
dikecam oleh para nabi, orang-orang suci, dan para sufi dalam berbagai ucapan
mereka. Salah satunya adalah dalam ucapan Sayidina Ali berikut:
“…Demi Allah, seandainya kau(wahai dunia) adalah manusia yang tampak nyata,
berjiwa-berperasaan, niscaya akan kulaksanakan hukuman Allah atasmu, sebagai
pembalasan bagi hamba-hamba Allah yang telah kau kelabui dengan angan-angan
kosong. Atau bangsa-bangsa yang kau jerumuskan ke dalam jurang-jurang
kehancuran. Atau raja-raja yang kau gelandang ke arah kebinasaan dan kau seret
ke pusat-pusat nestapa dan kesulitan, tanpa sedikit pun kesempatan bagi
mereka untuk kembali (ke jalan yang benar)…”
Dunia dalam pengertian kedua ini adalah
suatu state of mind, dan
karenanya sangat berkaitan dengan jiwa itu sendiri. Jiwa yang hampa akan mudah
terpaut oleh permainannya. Sebaliknya, jiwa yang penuh dengan keimanan takkan
pernah terjerat olehnya. Di antara keduanya adalah jiwa kebanyakan kita yang
terombang-ambing di antara dua keadaan tadi.
Situasi terombang-ambing ini tak lain
akibat adanya pertarungan yang sengit antara diri sejati dan diri palsu dalam
jiwa manusia. Menurut para sufi, diri sejati adalah hakikat manusia, kecenderungan
rasionalnya, fithrah-nya, sedangkan diri palsu adalah kecenderungan hewani dan
hawa nafsunya. Diri hakiki manusia ini tidak jarang dikalahkan oleh
kecenderungan hewaninya sehingga jadilah ia binatang dalam pengertian yang
sebenarnya(bahkan lebih buruk daripada itu.
Rumi bertutur: “Wahai orang yang telah
menjual diri hakikinya lantaran ketakmampuannya mengekang hawa nafsu! Engkau
mengira makhluk asing (baca: binatang) sebagai dirimu, padahal ia jelas-jelas
bukan dirimu.”
Untuk menjaga kesejatian diri, para
sufi menganjurkan kita untuk melakukan jihad an-nafs (perjuangan melawan diri).
Dalam suatu hadis yang sangat terkenal, jihad an-nafs ini disebut sebagai jihad
akbar (perjuangan besar). Sebab, di sini kita harus melawan dan menekuk diri
sendiri.
Jihad an-nafs mestilah diawali dengan
tafakkur (perenungan). Setelah ada kesadaran, barulah kita bertekad (‘azm)
untuk bertindak sesuai perintah Allah dan berusaha menjauhi larangan-Nya. Tekad
ini harus langsung disusul dengan musyarathah, yaitu pengkondisian diri untuk
melakukan tekad di atas, setidaknya dalam sehari. Pengkondisian ini lantas
disusul dengan muraqabah atau pengawasan. Dan terakhir adalah muhasabah atau
penilaian tentang apa saja yang terjadi dalam seharian anda menjalankan tekad
tersebut.
Nah, bila ternyata
kita mampu menepati janji pada Maha Pemberi nikmat dalam
transaksi kecil ini, maka cepat-cepatlah bersyukur atas taufik ini.
Dan mintalah agar Allah mempermudah urusan-urusan dunia dan
akhirat kita. Semoga pekerjaan esok lebih mudah dibanding kemarin. Mari
kita terus mengerjakan (ketiga) sikap di atas untuk beberapa
waktu. Biasanya, semua ini nanti akan berubah menjadi kebiasaan yang sangat
mudah untuk dilakukan. Pada waktu itulah kita akan merasakan kelezatan dan
keintiman yang luar biasa dalam menaati perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Semoga
Posting Komentar