TRADISI AKADEMIK
Baru saja beberapa
kampus di Malang dan mungkin juga di seluruh Indonesia menjalani tradisi OSPEK
baik yang berbau Universitas, Fakultas, bahkan dalam lingkup jurusan. Di dua
kampus saya UIN MALIKI dan UNISMA memberikan sensasi daya tarik yang berbeda pada
tahun ini. Sebuah keberlanjutan perbaikan dari tradisi sebelumnya. Namun yang
selalu menjadi catatan saya mengapa tradisi OSPEK tidak mewariskan budaya baca
dan diskusi?
Menjadi mahasiswa dewasa ini sudah
seperti kewajiban pendidikan yang harus ditempuh setelah lulus dari SMA.
Pergantian jenjang dari yang awalnya menyandang status siswa-siswi sekolah
kemudian menjadi mahasiswa-mahasiswi kampus umum disambut dengan masa ospek.
Para mahasiswa menjadi semakin tahu
bahwa dalam ospek, identitas senior dan junior sangat ditekankan bahkan dengan
cara-cara seperti kekerasan verbal hingga tak jarang kontak fisik agar semua
patuh.
Tetapi di sini tidak sedang berfokus
pada ospek yang selalu menuai kontra, namun menyoal tradisi setelah menjadi
anak kuliah. Bukan juga soal tradisi yang mengharuskan hidup mandiri, pintar
mengatur uang saku, dan menjaga diri, tetapi tentang tradisi membaca dan
berdiskusi.
Ya, dua hal ini tampaknya ada di tempat
yang jauh dari kebanyakan mahasiswa sekarang.
Berdasarkan data UNESCO, persentase minat
baca anak Indonesia sebesar 0,01 persen. Artinya, dari 10.000 anak bangsa,
hanya satu saja yang memiliki minat baca.
Ini terlihat sangat memperihatinkan,
khususnya kepada kalangan mahasiswa jika sampai saat ini hampir tidak pernah
membaca sebuah buku atau menempatkan waktu membaca buku sebagai prioritas.
Tetapi ada tanggapan lain bahwa minat baca jangan hanya disempitkan pada
membaca sebuah buku yang dipegang secara fisik karena di era kemajuan teknologi
sekarang, apapun bisa dicari di Internet dan kemudian dibaca.
Yang berikutnya, tentang berdiskusi.
Mendiskusikan buku-buku bacaan, misalnya. Bertukar pikiran dan persepsi setelah
membaca buku tentu saja akan lebih memperkaya obrolan di ruang-ruang dan
sudut-sudut kampus. Dunia kampus yang syarat akan ilmu menjadi hidup.
Proses belajar tidak lagi terpaku saat
di dalam ruang dan jam kelas. Dialektika bisa mengalir setiap harinya tanpa
mengganggu obrolan yang lain. Tetapi tak jarang juga kemajuan teknologi turut
membawa kegiatan berdiskusi di dunia maya lewat berbagai aplikasi chat.
Baik membaca dan berdiskusi nyatanya
masih selalu relevan berjalan mengimbangi perubahan zaman. Keduanya ini juga
bukan hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Sejak ditemukannya medium untuk
menulis, manusia-manusia di masa itu juga memulai sebuah dialektika ketika
membaca ulang catatan-catatan mereka di rentang waktu yang berbeda.
Pada era digital sekarang, sebenarnya
akses membaca maupun berdiskusi sangat dimudahkan, seperti yang dijelaskan di
atas. Membaca ternyata tak hanya bisa dipatok asalnya dari buku saja. Kehadiran
Internet banyak sekali memberi informasi pengetahuan yang sangat melimpah.
Jika dikembalikan lagi, saat ini
sudahkah kita memanfaatkan Internet lebih dari sekadar menghidupkan berbagai
aplikasi chat atau game? Jika iya, seberapa sering kita
memanfaatkan melimpahnya informasi yang tersedia di Internet?
Juga soal berdiskusi. Dari derasnya
arus informasi yang didapat tentu sebenarnya lebih mudah untuk mengeluarkan
pikiran hasil reaksi dari aksi membaca. Berdiskusi secara online di
grup-grup dalam aplikasi chat sebenarnya amat sangat memungkinkan. Namun
sekali lagi, sudahkah kita memanfaatkannya untuk hal-hal lain, seperti diskusi
di grup dengan anggota banyak orang daripada hanya untuk berkirim pesan ke satu
orang saja?
Ospek yang kental dengan konsep
senior-junior tampaknya tidak menjadikan tradisi membaca dan berdiskusi sebagai
poin utama menuju jalan “agent of change”. Ospek hanya menyentuh halaman
luar soal pengenalan fitur-fitur kampus dan pengkaderan organisasi pembantu
kerja birokrat kampus.
Membaca adalah sarana meluaskan
pengetahuan dan mempertajam nalar kritis, memengaruhi pola pikir kita melihat
realita sosial dan mendiskusikan banyak hal terkait apa yang dipikirkan.
Serangkaian tradisi ini secara tidak
langsung sebenarnya adalah sebuah langkah-langkah menuju ke perubahan seperti
jargon mahasiswa sebagai “agent of change”. Selamat membaca dan
berdiskusi. Kita tunggu di meja “bilik literasi” pada malam minggu
ini.
Posting Komentar