Pemerintah
telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Penetapan Hari Santri
berdasarkan peran santri dalam penegakan kemerdekaan Republik Indonesia,
khususnya setelah munculnya Fatwa (Resolusi) Jihad dari KH Hasyim Asy’ari.
Namun penetapan Hari Santri mendapatkan keberatan dari sebagian kalangan
terutama ormas Islam Muhammadiyah. Kontroversi ini dapat kita lihat dari
pendapat ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Menurut Haedar, Muhammadiyah
tidak ingin umat Islam makin terpolarisasi dalam kategorisasi santri dan
nonsantri. Hari Santri akan menguatkan kesan eksklusif di tubuh umat dan
bangsa. Padahal, selama ini santri-nonsantri makin mencair dan mengarah
konvergensi. Haedar juga menganggap Hari Santri dapat menambah kesenjangan yang
berpotensi menganggu ukhuwah umat Islam.
Persoalan
santri-non santri memang menjadi polemik khususnya berdasarkan penelitian
Clifford Geertz, dalam bukunya The
Religion of Java yang membagi orang-orang Islam di Pulau Jawa
dengan trikotomi santri, abangan dan priyayi. Pengotak-kotakan muslim seperti
ini memang berpotensi memecah belah umat Islam. Buya Hamka pernah mengritik
pengkotak-kotakan seperti ini dalam tulisannya di Majalah Panji Masyarakat tahun 1976.
Dalam tulisan berjudul ‘Mutihan dan
Abangan’ itu, Buya menyatakan bahwa, “Yang
anehnya ialah bahwa yang dipotong-potong dan dikeping-keping dijadikan sebagian
jadi abangan dan sebagian jadi mutihan itu menerima saja pula mereka
dibagi-bagikan. Kalau kiranya golongan yang disebut abangan itu senang dikatakan
demikian, tidaklah selayaknya yang disebut mutihan itu mengakui pula dirinya
memang mutihan dan bangga dengan itu. Padahal barang siapa yang telah mengakui
Allah itu Esa, tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah
sudahlah orang itu Islam. Bahkan dengan tegas dikatakan oleh Nabi, “Shallu’ala
man qaala laa ilaaha illallah.” (Sembahyangkan jenazah orang yang mengatakan
tiada Tuhan melainkan Allah). Karena “pembagian” yang tidak wajar itu, maka
kedua belah pihak pun bertambah lama bertambah terpisah. Yang abangan kian jauh
dari Islam dengan sadar atau tidak sadar.”
Kritik
Buya tersebut memang tepat. Secara tak sadar kita saling menyekat-nyekat antar
saudara kita sendiri sesama muslim. Penelitian Geertz soal trikotomi tersebut
memang memanen kritik dari berbagai pihak. Namun jika kita berbicara persoalan
saat ini mengenai Hari Santri, apakah hal tersebut berarti kita membenarkan
pengkotak-kotakan seperti ‘teori’ Geertz? Soal istilah santri (‘mutihan’ dalam
istilah Buya Hamka) menjadi persoalan, jika kita menghadap-hadapkan santri
dengan abangan. Namun jika tidak dihadapkan dengan abangan (atau non-santri),
istilah tersebut nampaknya bukan masalah. Setahu penulis pun, Buya Hamka tidak
antipati dengan istilah santri. Istilah santri sendiri sejatinya sudah jauh
hadir dalam masyarakat sebelum munculnya penelitian Geertz, seiring berdirinya
pesantren di masyarakat. Kita pun tak dapat menafikan kehadiran serta
kontribusi santri untuk masyarakat dan Indonesia. Oleh karena itu pemaknaan
Hari Santri tidak seyogyanya kita hadap-hadapkan dengan abangan. Ketika kita
menghadapkan pemaknaan Hari Santri dengan ‘Abangan’ (non-santri) maka secara
tak sadar kita sedang terbelenggu dalam bingkai pemikiran seperti yang dibangun
oleh Geertz.
Memaknai
santri (dan pesantren) hendaknya dipahami secara luas. Tidak terkerangkeng oleh
pembagian-pembagian yang terjadi dimasyarakat, seperti ‘tradisionalis –
modernis’. Ataupun mengaitkan istilah santri (dan pesantren) hanya kepada ormas
atau kelompok tertentu, yang malah bisa berpotensi menganggu ukhuwah Islamiyah. Karena
sejatinya pesantren adalah harta tak ternilai milik umat Islam yang sejarahnya
bisa ditelusuri hingga ratusan tahun, jauh sebelum organisasi Islam bermunculan
di awal abad ke 20. Dalam pertumbuhannya, pesantren ada yang berafiliasi kepada
salah satu organisasi, seperti Nadhlatul Ulama, ada pula yang tidak, seperti
Gontor. Maka pesantren (dan santrinya) adalah salah satu mutiara milik Muslim
Indonesia.
Landasan
Hari Santri 22 Oktober tentu tak bisa dilepaskan dari peristiwa bersejarah
yaitu Fatwa Jihad yang digelorakan oleh KH Hasyim Asy’ari dan para kiyai
Nadhlatul Ulama. Fatwa (Resolusi) ini mendidihkan dan membakar perlawanan umat
Islam khususnya para santri dalam melawan penjajahan. Fatwa Jihad menjadi bukti
berakarnya ajaran Jihad dalam Islam sebagai pondasi berdirinya Indonesia. Di
tengah stigma negatif yang acapkali ditimpakan oleh banyak media (sekuler,
terutama Barat) kepada ajaran Jihad dalam Islam, Hari Santri menjadi bentuk
pencerahan pada masyarakat saat ini dan generasi mendatang akan pentingnya
ajaran Jihad dalam Islam menjadi salah satu pilar dalam perjuangan meraih
kemerdekaan Republik Indonesia.
Hal
lain yang tercermin dari Fatwa Jihad adalah seruan untuk berjuang di jalan
Allah (sabilillah)
tersebut tidak khusus bagi santri saja, namun mencakup seluruh lapisan umat
Islam saat itu. Inilah salah satu makna penting Hari santri, yaitu, memaknai
peringatan resolusi jihad yang digelorakan ulama bagi seluruh umat Islam, bukan
golongan tertentu sebagai tanggung jawab memikul perjuangan bersama-sama.
Peringatan
Hari Santri meski dilandasi oleh suatu fakta historis, namun dalam memaknainya
bagi generasi saat ini, dapat dimaknai secara luas sebagai penghargaan kepada
pesantren dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pemaknaan seperti ini
membuat pemaknaan peringatan Hari Santri menjadi lebih luas. Pesantren
merupakan salah satu kontribusi besar umat Islam dalam mendidik rakyat
Indonesia. M. Natsir, salah seorang tokoh Masyumi, yang bukan berlatar belakang
pesantren mengakui betapa besarnya peranan pesantren bagi Indonesia.
Menurutnya,
“Pesantren
merupakan satu ‘kubu pertahanan mental’, terhadap kolonial Belanda, ‘kubu
pertahanan mental’ bukan semata2 terhadap sendajatnja jang fisik, akan tetapi
terhadap sendjata jang bersifat mental pula, dari politik2
imperialisme/kolonialisme Belanda jang sangat litjin itu. Satu politik
Imperialis/Kolonialis jang dipelopori oleh Prof. Snouck Hurgronje, jang garis
besarnja ialah, meassimilasikan bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda,
measosiasikan kedua bangsa itu didalam melakukan satu approach jang bersifat
kebudajaan. Dengan men-deislamisasikan pemuda2 Islam di Indonesia, bukan mengkristenkan; mereka itu lambat – laun mentjabut dari
djiwa pemuda2 jang beragama Islam bangsa Indonesia itu keimanan kepada
agamanja, ketjintaaanja kepada adat istiadat keagamaan jang ada didesa,
dikampung, dan dirumah tangganja sendiri. Menjabut mereka itu dari urat2
kebudajaannja sendiri, membawa mereka kepada alam berfikir Barat, jang dengan
demikian ditjiptakanlah satu golongan, jang akan dapat mendjamin kolonialisme
Belanda di Indonesia ini.”
Mohammad
Natsir kemudian melanjutkan, “Alhamdulillah,
taktiknja itu tidak berhasil. Dan salah satu dari kubu2 dan benteng jang
menentang politik itu ialah pesantren.”
Hari
Santri yang dilandasi oleh spirit Jihad
fi Sabilillah, bersumber tidak lain pada nilai-nilai yang diusung
dalam pesantren. Nilai-nilai pendidikan dalam pesantren menjadi mata air yang
dapat terus kita reguk hingga saat ini. Kiyai (ulama) adalah poros dalam
pesantren. Ia sebagai pendidik menjadi sumber keteladanan bagi para santri. KH
Hasyim Asy’ari, salah satu figur penting dari dunia pesantren memberikan
pandangannya yang luar biasa tentang peran ulama dalam mendidik.
KH
Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Adabul
Alim Wa Al-Muta’alim mengingatkan para ulama untuk tidak
menggunakan ilmunya demi semata-mata mencari kesenangan-kesenangan duniawi,
seperti mencari kedudukan, kekayaan, reputasi, pengaruh, jabatan dan lain
sebagainya. Dalam melandaskan pendapatnya ini, ia mengutip hadist riwayat Imam
Tirmidzi,
“Barang
siapa mencari ilmu pengetahuan demi menjatuhkan ulama (lain) dan berdebat
dengan fuqaha (orang-orang ahli agama), atau demi mendapatkan pengaruh di mata
manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”
Ia
mengingatkan para alim
(ulama) untuk senantiasa takut kepada murka/siksa Allah dalam setiap gerak,
diam, perkataan dan perbuatan. Menurutnya, “Hal
ini sangat penting diperhatikan mengingat seorang alim pada hakekatnya adalah
orang yang dipercaya dan diberi amanat oleh Allah berupa ilmu pengetahuan dan
hikmah. Maka meninggalkannya berarti suatu pengkhianatan atas amanat yang telah
dipercayakan kepadanya itu.”
Seorang
alim bagi KH Hasyim Asy’ari selalu dituntut untuk melakukan hal-hal yang
terbaik dan berusaha mengerjakannya dengan sempurna.“Ini penting, mengingat seorang alim adalah figur yang
dijadikan panutan dan rujukan oleh umatnya dalam masalah-masalah hukum
(syariat). Ia adalah hujjatullah
(juru bicara Allah) atas orang-orang awam yang setiap perkataan dan petunjuknya
akan diperhatikan oleh mereka.”
Pandangan
KH Hasyim Asy’ari menjadi pandangan yang berharga bagi penyelenggaraan
pendidikan saat ini. Ditengah kemelut yang membelit dunia pendidikan kita yang
semakin terjerembab dalam komersialisasi sekularisasi, dan liberalisasi,
pandangan-pandangannya sebagai tokoh yang mewakili dunia pesantren (dan santri
di dalamnya) menjadi pengingat kita akan hakikat pendidikan.
Peringatan
Hari Santri seharusnya dapat menjadi cermin yang memantulkan kontribusi besar
umat Islam di Indonesia. Ingatan publik yang akan terus terawat dari generasi
ke generasi. Bukan menjadi monopoli kebanggaan satu kelompok dan menafikan
kelompok lain. Menghadap-hadapkan santri dengan non santri pun adalah sebuah
kekeliruan yang memecah umat Islam. Memaknai Hari Santri secara luas dan bijak
jauh lebih penting ketimbang memaknainya sebagai eksistensi kelompok
tertentu semata
Posting Komentar