Membaca Makna Hujan
Hujan telah mengajarkanku tentang cara mencintai. Yang tetap teguh menanti kala kemarau paling panjang tanpa henti. Yang tak lupa diri walau mewujud banjir melimpahi. Seperti penerimaan takdir yang tak perlu digugat sama sekali.
Pada hujan, aku bersumpah untuk tak menangisi, apa-apa yang telah pergi. Bahwa Tak ada air yang akan bertahan tetap ada di sisi. Ia yang mengalir ke samudera. Ia yang meresap melesap ke celah sepenjuru arah. Ia yang menguap luruh lepas ke udara. Tak ada yang bisa ditahan untuk tak pernah pergi menghilang.
Selagi hujan, seringkali aku belajar memahami. Tentang tak ada apa-apa yang menjadi milik diri: bahkan raga berkhianat untuk tak sehat dan tak mati, pun hati menuntut sulit untuk sekedar menjadi jinak. Tak ada apa-apa adalah milik diri. Apalagi kau yang serumit puisi, yang berulang kali keliru kumaknai.
Dan kusadari, rindu adalah lebih dari hujan. Datang tak peduli musim, tanpa isyarat, tanpa aba-aba. Tapi tak pernah kuinginkan kau basah kuyup entah di belahan bumi mana. Apalagi tenggelam terseret banjir yang menggila. Jikapun ada pelangi, tak harus kau anggap indah. Apalah aku selain doa. Kau bukan Tuhan untuk mengabulkan apa-apa.
Begitulah hujan telah mengajarkanku, tentang cara mencintai. Walau lama benar kemarau menghilangkan titik air, tak ada apa-apa perlu dituntut untuk selalu ada. Bahkan tak ada pula yang sebenar-benar hilang karena hati tetap terjaga.
Kala hujan, tak perlu menghujat kenangan. Kumpulan masa lalu bukanlah kumpulan sesal. Selain untuk menjadikan sekuat-kuat diri, sebijak-bijak jiwa.
Dalam hujan, dalam badai, dalam kemarau, rasakan hanya damai. Hidup mungkin tentang dari sudut pandang mana kau menilai.
Pada hujan, aku belajar. Semua hal. Seharusnya.
Posting Komentar