Tahun 2013
lalu tepatnya di bulan September saya menginjakkan kaki di tanah Malang. Sebuah
kota yang kata banyak orang dingin dan bernuansa pendidikan. Hanya ada satu
tujuan dan niat. Menjadikan diri saya ini bukan seorang pengangguran dengan
mendapatkan gelar mahasiswa.
Sebagai
mahasiswa yang hijrah ke kota orang tentu harus punya modal baik mental maupun
materi. Dengan uang dua juta lima ratus ribu rupiah saya pun memberikan diri
melancong untuk kuliah di kampus Univeristas Islam Malang.
Salah satu
kampus swasta dibawah naungan Nahdatul Ulama yang saat itu masih menerima
pendaftaran. Tiba di kota berjulukan kota wisata ini, saya tak punya tujuan
untuk tinggal dimana. Ngekos ataupun ngontrak sesuatu yang tidak memungkinkan
dengan kondisi isi dompet yang hanya dua lembar kertas berwarna merah bergambar
soekarno hatta.
Dua hari
dua malam saya berkeliling di daerah dinoyo dari masjid ke masjid. Tidak
satupun seorang ketua takmir menerima saya untuk jadi marbot masjid. Akhirnya
saya pun teringat sama seorang teman sewatku MAN JCC Pamekasan, bahwasanya
teman saya itu punya paman di daerah Joyogrand tepatnya di Jl. Kanjuruhan Asri.
Saya dengan
cepat berkunjung ke alamat ini, dan dengan senang hati saya melihat kubah
masjid kecil berwarna hijau diantara perbatasan dua perumahan. Perumahan
kanjuruhan asri dan perumahan tlogomas asri. Dua perumahan yang dibatasi kali
kecil dan di atasnya berdiri tegak Masjid Ahlussunnah Waljamaah.
Saya pun
diterima dengan penuh senang hati untuk tinggal di tempat ini. Hal ini tidak
lepas dari bantuan paman teman saya untuk menawarkan dan mempromosikan segala
kemampuan saya. Saya pun disambut dengan ramah oleh warga setempat setelah
adzan dzuhur pertama saya kumandangkan di masjid ini.
Kamar berukuran
1,5 x 2 m disediakan untuk saya.
Kamar di sebelah samping kanan masjid itu
sangat bersih dan asri. Dedaunan bambu menjadi teman saat angin datang. Bunyi
gesekan antar pohon ikut serta untuk memeriahkan kedatangan saya. Rumput hijau
nan indah menari-nari dari pagi sampai pagi lagi. Sedikit tanda bahwa kehijauan
tempat ini masih tidak jauh dari kampung halaman.
Kesepian
tanpa teman. Kesendirian tanpa kenalan. Membuat hati ini diuji kemandirian yang
sebenarnya. Setiap malam tiba, hanya bunyi angin yang saya rasakan. Terasa
ingin cepat datang pagi. Saat tiba di waktu pagi rasanya pengen sekali cepat
malam. Rasa itu terus menerus datang bergantian. Apakah ini tanda bahwa saya
tidak kerasan. Ah.... abaikan saja, saya harus kuat. Ada dua buku yang kala itu
menemani saya dalam tangisan ingat suasana rumah. Buku berjudul tanah palestina
dan satunya novel berjudul sang kesatria langit.
Oshika maba
pun dimulai di UNISMA. Hari-hariku dihabiskan bersama teman-teman baru dari
kota-kota seluruh Indonesia. Saya pun mulai merasakan aura jabatan saya sebagai
mahasiswa. Dan masjid Aswaja hanya menjadi persinggahan rasa ngantuk di malam
hari. Kesibukan membuat saya lupa semuanya. Dan yang diingat akan tujuan dan
niat saja di persinggahan yang mungkin empat tahun lamanya.
Waktu terus
berjalan, aktifitas masjid pun mulai meriah dengan segala dukungan warga. Sehingga
saya pun ditemani oleh teman baru yang datang ke masjid ini. Ada banyak teman
yang pernah menjadi teman di kamar pojok masjid itu. Bahkan teman yang terahir
bersamaku masih setia sampai saat ini.
Saya hanya
ingin berterimakasih dengan penuh rasa hormat kepada Pak Yudi selaku ketua
takmir waktu itu telah memberikan ruang dan kesempatan untuk saya hidup dalam
dunia perkuliahan dengan dipersilahkan tinggal di Masjid ini. Dan om Aan yang memberikan jalan masuk untuk tinggal di
masjid yang didanai oleh Abah Anton yang kebetulan menjadi Wali Kota Malang.
Warna yang
indah di masjid beraviliansi Nahdatul Ulama ini mengajarkan banyak hal pada
saya. Kuliah di perguruan tinggi sama sekali tidak cukup untuk modal hidup bisa
berinteraksi di lingkungan masjid yang masyarakatnya beranika ragam faham. Memposisikan
diri sebagai pendatang tentu akan selalu mendapat tantangan dari berbagai sudut
pemikiran. Perbedaan yang perlu disikapi oleh pengetahuan sosial dan diatasi
dengan sikap spiritual harus selalu seimbang.
Dengan modal
ilmu agama saat Madrasah Diniyah di kampong akhirnya saya mampu hadir dari
setiap apa yang dibutuhkan warga. Menjadi guru ngaji, doa-doa harian,
bacaan-bacaan sholat dan ilmu-ilmu kesilaman yang lain. Itu semua menjadi
kebanggaan saya, bahwa di kota besar seperti ini masih banyak ana-anak yang
antusiasme belajar ngaji begitu tinggi. Sungguh saya pun tambah kerasan
ditemani kurcaci-kurcaci setiap sore.
Satu tahun
pertama di tempat ini membuat saya terbantu dari segala macama aspek. Mulai dari
ekonomi sehari-hari, pengalaman sosial, dan pengamalan ilmu. Ketika masuk
semeseter tiga di Unisma saya pun harus pamit untuk tinggal Ma’had Al-Ali
Sunan Ampel tepatnya di UIN Maulana Malik Ibrahim. Saat saya pamit ke ketua
takmir, bahwa tahun berikutnya saya akan kembali ke tempat ini lagi setelah
kewajiban mahad selesai. Beliau pun menyetujui dengan penuh harap saya bisa
kembali.
Dan tahun
2015 tiba, saya semester III Uin Maliki dan semester V di Unisma membuat
hari-hari di Masjid ini tidak seperti tahun sebelumnya saya tinggal. Tanggung
jawab besar dan beban moral yang sering saya tinggalkan membuat saya tidak
pantas untuk tinggal di masjid ini lagi. Akhirnya saya disini hanya
menghabiskan waktu satu tahun saja, atau selama dua semester di kampus. Setelah
itu saya keluar tanpa mengurangi rasa hormat dan tetap menyambung silaturrahmi.
Posting Komentar