Tepat
jam 02.00 WIB saya tiba di pasar Waru sebelum masuk wilayah Desa, perjalanan
malam saya dari kota Malang merupakan waktu ke tiga pulang di waktu malam.
Kebetulan
bensin saya habis, dan bolak balik mencari eceran bensin sudah pada tutup
semua. Dengan terpaksa saya harus menunggu pagi dengan masuk ke halaman Masjid
untuk memarkir motor. Sehabis teman saya yang bernama Dilah terlelap tidur,
saya pun berkomunikasi dengan tuhan sebentar, lalu setelah itu mengunjungi
sebuah warung kopi sebelah jalan berseberangan dengan Masjid tempat teman saya
tidur.
Tempat
ini sudah dari dulu saya kenal karena ada di pasar tempat orang Desa saya
belanja, kebetulan malam ini dengan tidak sengaja saya harus berkomunikasi
dengan tiga pemuda dan orang tua. Saya sebut dalam ulasan cerita dibawah ini sambil
menunggu subuh di emperan Masjid Nurul Huda. Selamat mengunyah tulisan lepas
ini.
Langit
mulai mendung.
Dan
bulan telah tenggelam bersamaan dengan turunnya rintik-rintik hujan.
Hawa
dingin pun dengan cepat merasuki sendi sendi malam itu. Namun, di sudut desa,
tiga orang pemuda tak sedikit pun terganggu dengan perubahan alam yang mulai
mendadak berganti haluan. Secangkir kopi nan lembut menemani obrolan tiga orang
pemuda yang semakin lama semakin memanas, mengalahkan dinginnya sang malam.
Lampu yang remang-remang pun kian menambah hangat suasana yang ada.
“Pak,
apa kita harus diam saja, melihat kondisi desa seperti sekarang ini ?” seru
pemuda pertama dengan lirih. Sebut saja namanya cak Moh.
“Tentu
tidak cak, bagaimana mungkin kita bisa diam saja sedangkan hati kita tersiksa
melihat kondisi desa yang semakin parah,” ucap pemuda yang kedua datar sambil
sedikit menghela nafas. “Kita harus berjuang cak, kita harus berjuang !” walau
bekerja di luar desa, dedikasi pemuda yang disebut pak Komar ini tidak
diragukan lagi. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang berfikir sedikit
maju, disaat yang lain berfikiran stagnan.
Pemuda
yang ketiga tetap terdiam. Diambilnya segelas kopi seraya mendengarkan dua
orang temannya yang lagi berfikir keras menghadapi problematika pedesaan.
Mungkin, ini bukan urusan sepelik urusan negara, bukan pula konflik hebat
sebagaimana di daerah Timur Tengah. Akan tetapi, bagi para pemuda ini, desa
mereka adalah tempat dimana mereka tinggal, tempat dimana keluarga mereka
mengais nikmat dan yang terpenting lagi yaitu tempat dimana orang-orang yang
mereka cintai bersandar dan berteduh.
Tiba-tiba
dengan suara agak tinggi, cak Moh pun bertanya,“Trus, bagaimana kita berjuang
pak? ..Apakah anda tidak tahu pemuda kita lebih senang mabuk-mabukan dan
tawuran dari pada sekedar berfikir masalah desa? Tentu anda juga mengerti
bagaimana para penguasa desa hanya bisa diam ketika desa kita terjajah? Uang
terlalu kuat pak, uang telah menjadi tujuan akhir sehingga alam dikorbankan,
rakyat ditelantarkan dan penguasa terbungkam.”
“Tentu
saya sadar cak, tapi saya tetap punya keyakinan yang kuat bahwa tidak semua
pemuda seperti itu. Banyak dari mereka yang masih memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap desanya. Hanya saja, mereka hanya lagi tertidur. Dan disaat
orang-orang yang baik terdiam maka suara-suara yang tidak baik lah yang
terdengar agak keras. Lah...tugas kita cak, untuk membangunkan orang-orang yang
tertidur itu.” jawab pak Komar dengan tenang. Tak lupa kopi yang terletak di
samping kanannya dia minum dengan pelan-pelan. Alunan lagu dangdut tahun 80-an
semakin menambah nikmat suasana yang semakin malam semakin dingin.
Kali
ini, pemuda yang ketiga mengangguk-ngangguk tanda setuju sembari tetap terdiam
menyimak obrolan yang semakin lama semakin menarik.
Sementara
itu, cak Moh berupaya menenangkan dirinya. Diminumnya segelas kopi seraya
kembali bertanya,”mungkinkah mereka akan bangun pak ?” dengan nada optimis pak
Komar pun menimpali, “kenapa tidak? Janganlah menyerah sebelum bertanding !
Yang kita harus lakukan hanyalah berusaha dan berusaha, berjuang dan berjuang,
berdoa dan berdoa. Sisanya, kita pasrahkan pada dzat yang maha membolak-balikan
hati, Tuhan semesta alam.” Seakan sadar akan keberadaan pemuda yang sedari tadi
terdiam, pak komar pun berkata, “bukan begitu mas?” sambil menepuk bahu pemuda
yang ketiga itu.
“Ya
pak, sepakat.” Jawab pemuda itu singkat.
Selang
beberapa detik, cak Moh pun juga menyadari keberadaan sesosok pemuda
disampingnya yang dari tadi hanya terdiam dan mengangguk-anggukan kepala itu.
Tidak butuh waktu lama, tiba-tiba dengan sedikit asupan kopi yang sudah mulai
mendingin, cak Moh pun bertanya,” Menurutmu gimana mas?”
Pemuda
ketiga yang sering kali dipanggil mas Jose itu pun membisu sejenak, seakan
menarik diri sesaat untuk menyiapkan kata-kata.
Di
sisi lain, hujan sudah mulai agak mereda. Si penjaga warung juga mulai
membereskan apa yang bisa dibereskan. Sedangkan sang malam, tertunduk dengan
sejuta kantuk yang mulai mendera.
Dengan
tenang mas Jose pun mulai membuka suara. “Kita pernah berjuang pak, kita pernah
berjuang cak. Apakah kalian lupa? ” dengan suara agak parau mas jose pun
melanjutkan,” Kita dulu pernah membangunkan mereka, para pemuda bahu-membahu
berfikir, menghabiskan daya dan upaya untuk kemajuan desa. Kita berhasil
menggulingkan para setan desa dan menyatukan pemuda. Tetapi...”
suara
mas Jose tertahan sejenak. Diminumnya segelas kopi yang tinggal setetes
bercampur ampas, seraya kembali berkata“ tetapi...kita hanya salah langkah,
yang kita bangunkan hanyalah raga mereka dan bukan kesadarannya. Sehingga
ketika raga itu lelah atau didera tuntutan hidup, raga itu akan kembali
tertidur...dan berkali kali kita bangunkan pun akan kembali tertidur...”
Cak
Moh pun membisu, begitu pula pak komar. Keduanya terlihat menganggukan diri
tanda setuju dengan ucapan mas Jose barusan.
Cak
Moh dan pak Komar sebenarnya sadar bahwa sebagai tokoh pemuda masalah yang
paling sulit diatasi adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat desa, terutama
pemuda desa untuk ikut berjuang menjaga dan melestarikan desa.
Melihat
si penjaga warung sudah mulai menutup jendela warungnya. Pak Komar pun bergegas
mengakhiri pembicaraan tersebut. “gimana cak Moh? Mas Jose?...Uda malam.
Kapan-kapan kita lanjut lagi pembicaraannya..alhamdulillah sudah menemukan
titik temu.”
Sembari
mencari kunci motor, yang sebenarnya ada dalam sakunya sendiri, cak Moh pun
menimpali, “iya pak, nanti kita lanjut lagi..sekalian mengajak pemuda-pemuda
yang lain untuk dibangunkan dan disadarkan. Bukan e begitu mas Jose ?”
“wah,,sepakat
kalau itu pak...masak yang di perantauan aja bisa mencintai desanya dalam
ketiadaan..lha.. kita yang jelas-jelas desanya kita injak, kita buat tidur,
kita buat beribadah, kita buat mencari nafkah justru kita lupakan
keberadaannya..he he.” Gelak tawa nan optimis pun menyertai langkah mereka
meninggalkan gelas-gelas kopi yang tidak lagi bertuan.
#suatu
malam, di pojok desa
Pamekasan,
26-Sep-2016
Posting Komentar