“Ibadah bukan saja sia-sia dan tidak akan membawa kepada keselamatan, malahan terkutuk oleh Tuhan, sekiranya tak melahirkan solidaritas sosial.” (Madjid 1992: 62)
Perdebatan tentang Tuhan, Agama, dan Kebenaran seolah tak pernah henti. Bahkan, sejarah memberi catatan pada kita bahwa pertumpahan darah yang paling banyak terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh karena memperebutkan ketiga hal tersebut. Tak berhenti di sana. Sebutan nama Tuhan pun kini semakin dipersempit oleh kelompok tertentu. Menyatakan siapa yang berhak atas penyebutan nama Tuhan.
Ironi, dengan sikap rahman dan rahim-Nya, Tuhan menciptakan masing-masing individu manusia sepaket dengan tugasnya. Selain, untuk berhubungan baik dengan penciptanya (hablumminallah)—yang tertuang dalam firman-Nya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz Dzariyat: 56-58), juga untuk berhubungan baik dengan sesama manusia, serta alam sebagai manifestasi sikap kasih sayang-Nya.
Kita berpijak di bumi yang sama. Beratapkan pada langit yang sama. Pun dengan berbagai kejadian yang kelak akan menimpa manusia dengan kembali pada Tuhannya melalui jalan kematian. “Tiap-tiap yang benyawa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 57).
Yang menjadi pertanyaan adalah, jika kita percaya pada Tuhan, lantas Tuhan yang mana yang menciptakan semua itu? Tuhanku, Tuhan Anda, Tuhan mereka? Dan, karena masing-masing orang mengklaim bahwa Tuhan itu milik mereka, dan manusia di luar keyakinannya tidak memiliki tempat di sisi Tuhan, maka Tuhan itu sebenarnya milik siapa?
Patut disayangkan memang, jika di sisi lain keyakinan yang kuat dapat memberikan efek positif dengan cara mengikuti aturan yang berlaku—menjadikan agama sebagai perekat hubungan yang harmonis, baik antar sesama manusia, alam, maupun dengan Tuhan. Memberikan semangat dalam beribadah. Di sisi lain, ketaatan dalam agama tanpa diiringi pengetahuan yang mendalam dan sikap toleransi, kehadiran agama justru menimbulkan kebencian dan dijadikan sebagai alat mendulang keuntungan duniawi semata–yang bahkan dapat menjadi racun bagi masyarakat.
Orang-orang yang overdosis dalam beragama, kemudian melakukan apapun yang dianggapnya benar, termasuk jika menggunakan jalan kekerasan, melakukan tindakan pemaksaan kepada orang di luar agamanya yang seolah-olah telah mendapat mandat langsung dari Tuhan, dan berbagai hal yang sebetulnya jauh dari nilai-nilai ilahiyah yang rahman dan rahim.
Jutaan nyawa dan harta benda hilang akibat overdosis beragama ini. Tangis anak-anak dan kaum lemah pun tampaknya hanya terdengar samar, bahkan mungkin sama sekali tak terdengar.
Berperang Demi Tuhan, Sejarah Tuhan, Masa Depan Tuhan, Compassion, dan beragam karya Karen Amstrong lainnya seolah menjadi pecut bagi dunia terkait dengan Tuhan. Buku-buku ini memberikan gambaran bahwa pertumpahan darah bagi penganut agama sudah ada sejak sejarah manusia itu sendiri.
Di sinilah letak ketidaksinkronan pemahaman kita terhadap Tuhan. Satu sisi kita meyakini bahwa di seluruh jagad raya hanya ada satu Tuhan—yang menciptakan langit bumi dan seisinya–yang digunakan secara bersama. Tapi juga di sisi lain, kita memberikan ruang bahwa seolah-olah ada Tuhan lain yang harus dimusnahkan agar orang-orang yang menyembah Tuhan selain yang kita percaya tersebut tunduk kepada Tuhan kita.
Padahal, jika dalam Islam, kata Allah yang memang berasal dari bahasa Arab dengan arti “Tuhan”, sudah sejak zaman prasejarah bangsa-bangsa dalam rumpun Semit, yang di dalamnya termasuk Arab dan Israel, mengenal kata itu dalam berbagai varian. Ada Allah, Ilah, El, Eloh, Elohim, Il, dst. Mereka tidak membatasi hanya pada satu kata untuk menyebut Tuhan.
Bahkan, dalam surat Yusuf ayat 67 disebutkan bahwa untuk mengenal Islam dan Tuhannya, Ya’qub berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak hanya masuk pada satu pintu, melainkan dari berbagai pintu yang berbeda. “Wahai anak-anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu, melainkan masuklah dari berbagai pintu yang berbeda.” (QS. 12 : 67)
Cak Nur pun mengaminkannya dalam buku Banyak Jalan Menuju Tuhan karya Budhy Munawar-Rachman. Menurut Cak Nur, sebaik-baik agama di sisi Tuhan ialah semangat mencari kebenaran yang lapang, tidak sempit, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa. Sebab itu Islam harus dipahami sebagai ajaran dan cita-cita, yang intinya ialah sikap hidup yang berserah diri kepada Tuhan. Pemahaman kita kepada Islam adalah pemahaman yang terbuka, yang karena keterbukaannya itu ia bersikap inklusif dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Kemenangan Islam harus merupakan kebahagiaan bagi setiap orang, malah setiap makhluk.
“Dalam Kitab Suci dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek terpenting ibadah ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial. Bahkan ditegaskan, ibadah bukan saja sia-sia dan tidak akan membawa kepada keselamatan, malahan terkutuk oleh Tuhan, sekiranya tak melahirkan solidaritas sosial.” (Madjid 1992: 62)
Tuhan, Allah, Yahweh dan lainnya untuk menyatakan Dia, Dzat yang Maha Memiliki, pada dasarnya bersifat universal. Siapa pun berhak memanggil-Nya dengan sebutan apapun yang mereka mampu dan pahami. Karena sesungguhnya jalan menuju Tuhan tidak hanya satu, melainkan banyak. Sehingga, Tuhan milikku, milik Anda, milik mereka pada dasarnya merujuk pada apa yang kita sendiri pahami. Tuhan kita adalah Tuhan yang universal. Yang karena ke-universalan-Nya, Dia akan selalu ada bersama kita, bahkan lebih dekat dari urat leher manusia. Bagaimana dengan saya?
Posting Komentar