Sepertinya
sudah bosan untuk mengupas masalah-masalah lucu negeri ini, mungkin akan lebih
baik kita sejenak berfikir dan merenung
kembali keberadaan diri kita, alam sekitar, serta sang maha kuasa.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan demikian cepat. Sementara
itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan teknologi yang mendasarkan pada
keimanan berjalan lebih lambat. Para ilmuwan berargumentasi bahwa semua
penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan,
sebaliknya para agamawan lebih sibuk membicarakan persoalan akhirat dan
pesan-pesan moral. Tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu
pengetahuan dan agama.
Kaum
agamawan memerlukan etika dalam arti, memakai akal budi dan daya pikirnya untuk
memecahkan masalah bagaimana harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Orang
beragama diharapkan menggunakan anugerah Sang Pencipta, yaitu akal budi. Jangan
sampai akal budi dikesampingkan dari agama. Oleh karena itu kaum agamawan yang
diharapkan betul-betul memakai rasio dan memahami ilmu pengetahuan serta
kemajuan teknologi.
Pada
sisi lainnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah dapat menjawab
semua hal. Memang sains tidak dimaksudkan seperti itu. Hal yang membuat sains
begitu berharga adalah karena sains membuat kita belajar tentang diri kita
sendiri. Oleh karenanya diperlukan kearifan dan kerendahan hati untuk dapat memahami
dan melakukan interpretasi maupun implementasi teknologi dan ilmu pengetahuan
manusia. Albert Einstein berkata dalam salah satu pidatonya bahwa ilmu
pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Pergulatan
Einstein dengan sains membawanya menemukan Tuhan.
Perkembangan
sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami dari tumbuhnya sikap pencerahan
rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan dikenal sebagai sikap
rasionalime. Dengan pandangan rasionalisme, semua tuntunan haruslah dapat
dipertanggungjawabkan secara argumentatif.
Ciri
paling utama dalam rasionalisme adalah kepercayaan pada akal budi manusia.
Segala sesuatu harus dapat dimengerti secara rasional. Sebuah pernyataan hanya
boleh diterima sebagai sebuah kebenaran apabila dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional. Dalam sisi lainnya, tradisi, berbagai bentuk wewenang
tradisional, dan dogma, adalah sesuatu yang tidak rasional bagi masayarakat
modern.
Perkembangan
selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, yaitu
sebuah aliran yang sangat mengedepankan metode ilmiah dengan menempatkan
asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Menurut aliran ini,
sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains merupakan
‘dewa’ dalam beragam tindakan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Menurut
sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat
diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau
oleh indra manusia.
Sedangkan
agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh
indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan
harus diterima dengan keyakinan, kebenaran di sini akan menjadi rujukan bagi kebenaran-kebenaran
yang lain.
Sains
dan agama berbeda, karena mungkin mereka berbeda paradigma. Pengklasifikasian
secara jelas antara sains dan agama menjadi suatu tren tersendiri di masyarakat
zaman renaisan dan tren ini menjadi dasar yang kuat hingga pada perkembangan
selanjutnya. Akibatnya, agama dan sains berjalan sendiri-sendiri dan tidak
beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran di antara
keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang
dengan mengatakan bahwa sains sebagai musuh Tuhan.
Pembahasan
mengenai ilmu pengetahuan dan agama tidak terlepas dari masalah dasar dari
perdebatan, yaitu persoalan “kebenaran“ dan persoalan “etika“ dalam kehidupan.
Oleh karena itu, diperlukan kearifan manusia untuk bersikap rendah hati dalam
memahami esensi kebenaran dan etika dalam kehidupan ini.
Dapat
dijelaskan bahwa dalam menelaah fakta dan kebenaran yang ada di kitab suci
maupun yang nampak secara fisik di alam semesta ini diperlukan kearifan dan etika
dalam proses pemahaman tersebut. Sikap arif dari manusia yang mencoba
menginterpretasi hukum Tuhan maupun hukum alam akan memberikan kesimpulan atas
kebenaran yang ada dapat lebih dipertanggungjawabkan dalam konteks sains maupun
dalam konteks religi.
Ketika
pada abad ke 17 dan ke 18 muncul pemahaman “pencerahan” di Eropa sebagai sikap
penentangan terhadap segala bentuk tradisi dan dogma, hal ini dianggap sebagai
bentuk kesadaran akan hakekat manusai sebagai individu yang mempunai akal budi.
Jaman pencerahan ini membawa manusia semakin maju ke arah rasionalitas dan
kesempurnaan moral.
Dengan
pemahaman rasionalitas, ilmu penegtahuan telah tumbuh berkembang dan
mendasarkan pada kegiatan pengamatan, eksperimen, dan deduksi menurut ilmu
ukur. Dengan demikian manusia semakin bersikap rasional dalam memandang alam
semesta. Gerakan-gerakan yang terjadi di alam, misalnya, tidak lagi diyakini
sebagai disebabkan oleh kekuatan-kekuatan gaib yang menggerakan dan berada di
belakangnya. Pergerakan itu diyakini terjadi didasarkan kekuatan-kekuatan
objektif alam itu senndiri yang dikenal sebagai hukum alam.
Etika
dalam interpretasi dan implementasi hukum alam, dalam hal ini sains merupakan
bahasan yang lebih rumit karena hal ini menyangkut hakekat penguasaan penentuan
kehidupan maupun hal lain terkait dengan proses penciptaan. Diperlukan
pembelajaran etika, terutama dari kalangan saintis untuk terus melakukan
observasi dan eksplorasi alam semesta ini.
Dalam
sudut pandang yang sama, pengkuatan eksistensi agama di dunia seharusnya juga
dilakukan dengan lebih membuka diri pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah rahmat Tuhan sebagai hasil
dari dibekalinya manusia dengan akal budi. Pemahaman yang lebih baik mengenai
sains dan rasionalitas akan membuat para agamawan menjadi manusia yang juga
akan sangat arif dalam menyikapi perintah Tuhan dalam menata kehidupan beragama
manusia di dunia ini.
Posting Komentar