AYAT pertama yang disampaikan
Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad S.a.w. adalah: “Bacalah, dengan menyebut
nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS 96:1). Dalam bahasa Indonesia modern, kata
imperatif “bacalah” itu memecah menjadi dua jenis: “mengaji” dan “mengkaji”.
Tesaurus Bahasa Indonesia karya
Eko Endarmoko menempatkan kedua kata kerja itu di bawah kata dasar “kaji”. Dari
kata dasar itu terbentuklah “mengaji” yang berarti “membaca, mendaras” (tentu
yang dibaca/didaras adalah Al Qur’an) dan “mengkaji” yang bermakna “membahas,
mempelajari, menelaah, menganalisis, menyigi”.
Perbedaan lain dari “mengkaji”
dan “mengaji” adalah jika dari kegiatan pertama hasilnya berupa “kajian”, maka
dari kegiatan “mengaji” hasilnya tidak menjadi “ajian”. Sebab “ajian” umumnya
diasosiasikan dengan satu bentuk mantra, atau rapalan, yang berkaitan dengan
satu kesaktian bela diri tertentu seperti ajian welut putih yang konon dimiliki
Sultan Agung Tirtayasa, atau ajian lembu sekilan yang dimiliki anak buah Patih
Gajah Mada. Ringkasnya, kosa kata “ajian” lebih mudah ditemukan di halaman
cerita silat dibandingkan di halaman Al Qur’an.
Persoalan menjadi agak lebih
pelik, ketika kita masih mudah menduga bahwa “pengkajian” pastilah berasal dari
“kajian”. Namun apakah “pengajian”,
dengan logika yang sama, pasti berasal dari “ajian”? Padahal makna kata
terakhir itu seperti terlihat di atas tak eksklusif terpaut pada ayat-ayat
kitab suci? Maka, biarkanlah pertanyaan ini menjadi urusan para ahli bahasa
sementara kita mengancik pada tema yang lebih menukik pada kaitan antara
“tanda” dan “bencana”.
Al Qur’an menyebut satuan
kalimat terkecil yang menyampaikan pengertian tertentu sebagai “ayat” (??????)
dengan bentuk jamaknya “ayah” (?????). Dari beberapa arti yang dikandungnya
seperti “mukjizat (mu’jizah)”, “pelajaran (‘ibrah)”, “sesuatu yang menakjubkan
(al amrul ‘ajib), atau “tanda (‘alamah)” yang merupakan makna paling populer.
Sehingga, frasa “mendaras ayat” memiliki maksud serupa dengan “mengaji tanda”.
Teori Semiotika yang
dikembangkan C.S. Peirce mengembangkan teori Segitiga Makna (Triangle Meaning)
yang terdiri dari tanda (sign), acuan tanda (object) dan pengguna tanda
(interpretant) dalam memahami sebuah pesan. Jadi, seandainya seorang perempuan
yang mengenakan jilbab lewat di depan sekelompok orang, maka mereka akan
memahami “pesan yang disampaikan” sang perempuan bahwa dia adalah seorang
muslimah.
Dalam Al Qur’an, salah satu
tema “pesan yang ingin disampaikan” Allah agar dipahami manusia adalah
menyangkut kisah-kisah kaum terdahulu. Khususnya lagi, kisah kehancuran mereka.
Kaum Tsamud – kaum Nabi Shaleh
a.s. — musnah setelah mendengar suara yang sangat keras dari langit (petir dan
guntur yang sambar menyambar), sedangkan kaum ‘Ad – kaum Nabi Hud a.s. — binasa
setelah dirajam angin dingin selama delapan hari tujuh malam tanpa henti,
sehingga mereka mati bergelimpangan seperti batang kurma lapuk. Allah
mengabadikan kehancuran kedua kaum itu dalam QS 69:4-7. Kaum Nabi Nuh lenyap
dengan sapuan air bah yang menenggelamkan mereka satu per satu, tak ada yang
tersisa, kecuali yang mengikuti anjuran Nabi Nuh a.s. untuk naik ke atas
bahtera.
Apa kesamaan dari ketiga kaum
yang mengalami “bencana ekologis” ini? Apakah karena mereka merupakan
orang-orang yang tak bisa menjaga kelestarian alam, atau gagal menata
lingkungan? Ternyata pandangan environmentalism tak menemukan landasan yang
kuat dalam Al Qur’an.
Sebab mustahil menjelaskan
penyebab banjir besar di masa Nuh a.s. – yang disebut Ibnu Katsir sebagai
“rasul pertama bagi penduduk bumi” — adalah karena adanya mismanajemen
pengelolaan sampah, gagalnya pembuatan waduk sebagai pengontrol debit air, atau
hal-hal teknis lain yang terkait dengan tidak lancarnya arus air menuju muara
terakhirnya: laut. Apalagi mengingat jumlah penduduk bumi yang waktu itu masih
sedikit. Karena itu dibutuhkan sebuah “tanda” lain untuk membuat kita, sebagai
pembaca tanda-tanda, agar paham mengapa kehancuran kaum Nuh terjadi.
Al Qur’an menjelaskan bahwa
penyebab datangnya air bah yang mendadak itu (kira-kira seperti pengertian
“banjir bandang” sekarang, namun dalam skala yang lebih mengerikan dari yang
bisa dibayangkan), terkait dengan keyakinan mereka yang mulai mencampuradukkan
kepercayaan terhadap Tuhan dengan kepercayaan terhadap lima orang saleh seperti Wadd, Suwa’a,
Yaghuts, Ya’uq dan Nasr, yang mereka buatkan patungnya dan mereka sembah,
setelah kelimanya meninggal. Tersebab kesalahan itulah mereka ditenggelamkan
(QS 71:23-25), bukan karena faktor-faktor kegagalan mengelola alam dan
lingkungan.
Begitu juga dengan kejadian
yang menerpa kaum ‘Ad yang hidup di zaman Nabi Hud. Mereka adalah generasi pertama yang menyembah berhala setelah
kejadian banjir besar. Pengajaran Hud agar mereka menghentikan penyembahan
terhadap tiga berhala utama: Sadd, Samud, dan Hera, dan kembali menyembah Allah
pencipta alam semesta, sama sekali tak diindahkan kaum ‘Ad. Mereka bahkan balik
menuduh Hud a.s. sebagai “orang yang kurang waras dan pendusta” (QS: 7:66).
Sikap kaum ‘Ad seperti itulah — bukan akibat kecerobohan mereka menjaga lingkungan
— yang menyebabkan Allah membuat “anomali cuaca” dengan datangnya angin dingin
yang sangat menyiksa selama sepekan tanpa henti.
Sementara kaum Tsamud yang
mahir memahat gunung-gunung batu sebagai rumah-rumah tempat tinggal mereka yang
indah, tangguh, dan mencengangkan, mengulangi apa sikap kaum ‘Ad yang hidup
sebelum mereka dengan penuh kesombongan. Mereka bahkan menantang Nabi Shaleh
yang mereka cap “… salah seorang dari orang-orang yang kena sihir.” (QS 26:153)
untuk membuktikan kerasulannya dengan meminta agar dari sebuah batu besar
dikeluarkan seekor unta betina bunting dengan ciri-ciri fisik yang mereka
persulit. Semua itu dilakukan untuk mempermalukan Nabi Shaleh. Namun ketika
atas izin Allah, Shaleh a.s. bisa membuktikan apa yang mereka minta, kaum itu
lantas menganiaya unta betina itu.
Jadi, bukan perilaku kaum
Tsamud yang gemar memahat gunung-gunung batu sebagai tempat tinggal itu yang
mendatangkan “kemarahan alam” dalam bentuk rantai petir dan guntur sambar
menyambar sehingga membuat kaum itu tewas dalam wajah pucat akibat ketakutan yang
sangat, melainkan karena sikap melampaui batas yang mereka tunjukkan dalam
menanggapi risalah ilahiah yang disampaikan Shaleh a.s. itulah yang
mendatangkan murka Allah.
Tiga “tanda” yang disampaikan
Al Qur’an lewat kisah-kisah di atas mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam
menafsirkan bencana alam yang terjadi susul menyusul, termasuk seperti yang
belakangan terjadi di tanah air. Karena itu, mengkaji bencana hanya dari
perspektif environmentalisme — yang seakan-akan ingin membebaskan diri dari adanya
campur tangan Allah — adalah sebuah penjelasan ahistoris bagi mereka yang
cermat membaca “tanda-tanda”.
Dalam konteks ini, “mengkaji
bencana” dan “mengaji tanda” menjadi satu kesatuan yang mutlak dilakukan. Yang
satu memperkuat yang lain. Dari masa ke masa. Dari saat dunia hanya dihuni oleh
segelintir kepala, sampai kini disesaki milyaran jiwa.
Sebab bencana adalah salah satu
tanda yang ditunjukkan Allah dengan penuh cinta kepada manusia, untuk selalu
menakar kadar ketaatan terhadap risalah-Nya. Untuk selalu tunduk tulus menjaga
diri agar tak melewati batas.
Posting Komentar