SEJARAH
dan ajaran normatif terkait hari raya Idul Adha umumnya telah diketahui
umat Islam. Begitu pula dengan kaitan antara Idul Adha dengan Idul
Kurban dan Idul Haji. Ketiga hari raya ini berjalin berkelindan dalam
semangat, makna, dan hikmahnya, baik untuk kehidupan pribadi maupun
bermasyarakat dan berbangsa-bernegara.
Secara
sosial-keagamaan, hari raya ini ditandai penyembelihan hewan kurban,
seperti kambing dan sapi, untuk dibagikan kepada fakir, miskin, dan
pihak lain yang berhak menerima.
Pada
saat yang sama, hari raya ini merupakan puncak prosesi ibadah haji di
Makkah al-Mukarramah. Dengan menjalankan semua ritual yang ditentukan
fikih haji, mereka yang menunaikan ibadah haji diharapkan dapat mencapai
haji mabrur—haji yang mendatangkan lebih banyak lagi birr (kebaikan)
dalam kehidupan.
Tradisi
berkurban dengan hewan sembelihan bukan unik milik Islam dan kaum
Muslimin-Muslimat. Dalam konteks Islam, ajaran untuk melaksanakan kurban
bersumber dari Nabi Ibrahim dengan putranya, Nabi Ismail. Ibrahim yang
juga disebut sebagai Abraham merupakan nabi yang mewariskan Abrahamic
religions, yaitu Yudaisme, Kristianitas, dan Islam.
Karena
itu, dalam kajian agama (religious studies), ketiga agama ini sering
disebut siblings (kakak-adik), yang di samping memiliki banyak kesamaan
(commonalities), juga mengandung perbedaan tertentu. Karena itu pula
para penganut ketiga agama yang sering disebut sebagai revealed
religions (agama wahyu) seyogianya dapat hidup berdampingan secara damai
dengan lebih banyak menekankan kesamaan-kesamaan daripada perbedaan.
Kosakata
kurban yang berasal dari bahasa Arab qurban memiliki banyak kata
terkait yang sudah menjadi kosakata Indonesia seperti taqarrub
(takarub/saling mendekat) dan aqrab (akrab). Semua kosakata ini tidak
hanya memiliki arti keagamaan, tetapi juga makna sosial dan politik.
Dalam
konteks itu, baik ibadah kurban maupun ibadah haji adalah ritual untuk
mencapai taqarrub ila Allah—mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk
taqarrub ila Allah, kaum Muslimin dan Muslimat memberikan pengorbanan
dengan mengeluarkan sebagian kekayaan yang mereka miliki.
Untuk
naik haji, mereka mengorbankan dana puluhan juta rupiah, yang bukan
tidak sering diperoleh setelah menabung puluhan tahun. Begitu juga
ketika menjalankan ibadah kurban yang wajib bagi setiap
Muslimin-Muslimat yang mampu, mereka juga mengorbankan dana jutaan
rupiah.
Dengan
kemampuan melakukan pengorbanan harta benda itu, kaum Muslimin dan
Muslimat Indonesia patut bersyukur menjadi anak negeri ini. Kenapa?
Berkat Indonesia yang damai dan stabil, ekonomi bisa tumbuh cukup baik.
Kaum
Muslimin dan Muslimat negeri ini adalah penerima manfaat terbesar
(largest beneficiaries) dari peningkatan ekonomi dan sosial bangsa
Indonesia. Karena itu, mengimpor kekacauan seperti dari kawasan NIIS,
misalnya, ke Indonesia tidak bisa lain, kecuali adalah satu bentuk
tindakan kufur nikmat.
Hasil
Indonesia yang damai dan stabil terlihat jelas. Karena kemampuan
ekonomi yang terus meningkat, daftar tunggu untuk berangkat haji
berkisar 10 sampai 17 tahun—tergantung dari daerahnya. Karena itu, boleh
jadi menjadi ”wajib” hukumnya bagi mereka yang sudah
naik haji untuk tidak lagi mendaftar pergi haji; memberikan kesempatan kepada mereka yang belum pernah naik haji.
naik haji untuk tidak lagi mendaftar pergi haji; memberikan kesempatan kepada mereka yang belum pernah naik haji.
Dalam
situasi seperti itu, bisa dipahami kian banyak Muslimin Indonesia yang
melaksanakan ”haji kecil” yang populer sebagai umrah. Sepanjang tahun di
luar musim haji, mereka yang punya istitha’ah (kemampuan) itu dapat
melaksanakan umrah.
Pada
saat yang sama, jumlah hewan kurban sembelihan juga meningkat tajam.
Hal ini terkait banyak dengan peningkatan lembaga filantropi Islam, yang
mampu mengumpulkan dana dan hewan kurban dalam jumlah yang terus
bertambah setiap tahun. Hasilnya, kian meningkat pula pemerataan
distribusi hewan kurban ke lingkungan masyarakat fakir miskin yang
hampir tidak pernah makan daging.
Dengan
demikian, ibadah haji dan ibadah kurban untuk taqarrub ila Allah
sekaligus menjadi taqarrub ila al-nas—saling mendekat dan akrab di
antara sesama manusia. Ibadah kurban, sesuai dengan kandungan makna
kurban, juga bertujuan membuat seseorang lebih qarib dengan Tuhan dan
sekaligus dengan manusia lain.
Hewan
sembelihan kurban mendekatkan hubungan antarmanusia; antara mereka yang
memiliki kelebihan rezeki dan harta dengan mereka yang fakir, miskin,
dan nestapa. Inilah takarub sosio-religius yang terlihat terus meningkat
dalam kehidupan bangsa.
Takarub
sosial-politik Semangat berkurban serta taqarrub ila al-nas dan akrab
di antara sesama Muslim dan anak bangsa lain tentu juga terwujud dalam
kehidupan sosial politik. Jika taqarrub ila al-nas tidak terwujud dalam
kehidupan berbangsa-bernegara, bisa dipastikan terwujudnya situasi yang
tidak kondusif bagi masa depan Indonesia yang demokratis, berharkat,
bermartabat, dan dihormati bangsa-bangsa lain.
Mengamati
perkembangan sosial-politik bangsa belakangan ini, orang dengan mudah
bisa melihat merosotnya semangat dan aktualisasi taqarrub ila al-nas
dalam kehidupan sosial politik. Justru yang terjadi adalah sebaliknya;
yaitu kian meningkatnya diskrepansi dalam kesediaan memberikan
pengorbanan untuk kemajuan kehidupan bangsa.
Merosotnya
semangat berkurban untuk kepentingan warga bangsa terlihat misalnya
dalam kasus penetapan UU Pilkada pada 26 September lalu. Penetapan UU
Pilkada ini tidak lain adalah akuisisi hak dan kedaulatan rakyat
(al-Hakimiyyah al-ra'iyah) untuk memilih pemimpin daerah mereka secara
langsung.
Kedaulatan
rakyat justru dikorbankan untuk kepentingan politik oligarki
partai. Hasilnya, yang terlihat kian menguat adalah "kedaulatan partai"
(al-Hakimiyyah al-hizbiyyah) yang membuat partai teralienasi dari
rakyat.
Dengan
demikian, merupakan kebutuhan urgen untuk segera membangun kembali
takarub sosial-politik. Untuk itu perlu kesediaan mengurangi egoisme dan
sektarianisme politik yang bernyala-nyala; dan sebaliknya membangun
kesediaan berkorban untuk kepentingan rakyat dan negara-bangsa lebih
besar.
Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Visiting Professor Chinese University of Hong Kong
Posting Komentar