skip to main |
skip to sidebar
PMII, HMI, IMM UIN MALIKI akan Kemanakah Engkau?
Satu
setengah tahun terakhir saya tidak merasakan hiruk-pikuknya arus wacana
di dunia pergerakan. Hanya ada dua gerakan yang sampai hari ini
konsisten dalam rangka mengkampanyekan ide-idenya, Gema Pembebasan dan
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Sedangkan Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) baik
MPO maupun DIPO serta Ikatan Mahasiswa Muhammadiyyah (IMM) absen dari
percaturan wacana itu. Kemakah mereka? Saya sendiri bukan salah satu
anggota dari lima organisasi pergerakan mahasiswa di atas. Tetapi saya
cukup galau ketika menyaksikan beberapa organisasi (yang saya sebut di
atas) mengalami kemandulan intelektual. Mungkin dalam internal mereka,
dinamika masih terjadi. Namun, sebagai out sider, saya tidak pernah
melihatnya. Sampai hari ini hanya satu organisasi Islam yang secara
kontinyu masih mengkampanyekan ide-ide [i]slamnya, yakni Gema Pembebasan
dengan menawarkan konsep Khilafah Islamiyyah. KAMMI sendiri saya
pandang masih kurang, atau pun belum terlalu tegas selain mengutip
pandangan-padangan Hasan al-Banna sebagai repesentasi salah satu
ideologi Islam. Apalagi PMII, HMI, IMM, sama sekali saya tidak melihat
gaung kampanyenya melalui pamflet atau buletin di kampus-kampus.
Meskipun saat ini saya tahu bahwa HMI sedang menjajakan Islam Tamaddun,
tetapi bagaimana cara pandang Islam Tamaddun dalam menghadapi realitas
sepertinya sama sekali belum tereskpos. Sedangkan PMII, meskipun saya
yakin tidak akan berbeda jauh dengan Nahdlatul Ulama, Islam Indonesia,
tetapi artikulasi ide Islam Indonesia seperti apa yang mereka maksud
belum juga tersemai secara massal. Apalagi IMM, saya sama sekali tidak
tahu menahu wacana apa yang hari ini mereka tawarkan selain Tauhid
Sosial a la Amien Rais. Kadang saya gregetan kepada
organisasi-organisasi pergerakan yang besar-besar itu. Gregetan, bahwa
mereka ditunggu kiprahnya di kampus, minimalnya melalui urun rembug
wacana sebagai elan vital dari pergerakan mahasiswa itu sendiri. Apakah
sudah terlalu letih ketika berlama-lama ‘jualan’ namun tidak laku-laku?
Atau kader-kader saat ini sama sekali tidak menggeluti pemikiran Islam
secara baik. Semoga saja bukan alasan yang terakhir, kenapa hari ini
mereka lesu. Saya seringkali mendambakan lahirnya ruang publik yang
dinamis dan penuh dengan sebaran wacana. Satu wacana menawarkan dan yang
lain akan membawa produk lain sebagai pelengkap atau justru counter.
Semisal, saya heran, saya yakin ide dasar PMII, HMI, IMM sama sekali
berbeda dengan Gema Pembebasan yang jelas-jelas mengusung Khilafah
Islamiyyah, tetapi kenapa tetap saja diam, dan sama sekali tidak
melakukan counter wacana. Counter wacana dalam konteks ini tentu saja
bukan adu jotos wacana atau konflik wacana, melainkan lebih pada debat
wacana dalam kerangka fastabiquul khoiroot (berloma-lomba menuju
kebaikan). Mari kita imajinasikan, bila kampus kita andaikan sebagai
forum batsul masail (forum yang membahas masalah untuk kemudian mencari
solusinya bersama, biasanya ada di pesantren-pesantren NU), maka lima
organisasi Islam di atas akan datang dengan membawa kitab atau buku
sebagai referensi/hujjah-nya masing-masing. Satu dengan yang lain bisa
sependapat atau bisa juga berbeda pendapat. Kemudian, satu dengan yang
lain akan mempertimbangkan dengan standar-standar hukum yang lain,
misalnya maslahatul mursalah dan sebagainya. Dan tentunya ada sebagian
yang lain tidak menyetujui dengan standar hukum tersebut. Terjadilah
proses ijtihad dengan mengupayakan segala daya pikiran, pemahaman juga
kejernihan akal budi dalam rangkan mencari sebuah pemecahan masalah yang
produktif bagi kemanusiaan, kehidupan juga keislaman. Ruang publik
semacam itulah yang saya rindukan. Satu organisasi dengan yang lain
menawarkan idenya, tanpa perlu terjebak kepada klaim kebenaran. Dampak
dari adu wacana tersebut adalah transfer pengetahuan kepada publik.
Lantas dengan kedewasaan, publik akan memilih ide mana yang sesuai
dengan pikiran dan keyakinannya masing-masing. Sedangkan hari ini, semua
itu tidak nampak di kampus yang sebenarnya sangat potensial untuk
menyemai ide-ide pembaharuan keislaman. Kritik saya yang paling tegas,
bahwa PMII, HMI, IMM kurang memainkan kampanye idenya dalam rangka
dakwah [i]slam, sebagaimana Gema Pembebasan dan KAMMI yang masih sering
terlihat dengan pernyataan-pernyataan sikapnya. Saya kira iklim semacam
ini harus kita kikis, jika tidak, nasib dunia pergerakan mahasiswa tidak
akan menjajikan. Selebihnya, publik saya kira akan memosi-tak percaya
pada beberapa organisasi yang mandul. Saya kira organisasi pergerakan
mahasiswa, Islam khusunya tidaknya hanya terlihat ketika menyikapi
sebuah isu-isu yang sifatnya temporer tergantung dengan momentumnya.
Tetapi juga harus secara konsisten dan kontinyu mendakwahkan ijtihad
yang hari ini mereka anggap mencukupi untuk mengatasi persoalan yang
ada. Saya tidak tahu apakah nasib PMII, HMI, IMM di kota lain sama
dengan di Purwokerto? Semoga saja tidak. Yang jelas, saya cukup
appreciate kepada KAMMI dan Gema Pembebasan yang masih tetap militan
dalam rangka dakwah [i]slam. Meskipun kepada dua organisasi tersebut
saya masih tetap memiliki sejumlah kritik mendasar. Tetapi, adanya
mereka lebih baik daripada absennya ketiga organisasi di atas dari
percaturan wacana keislaman, pergerakan pun kebangsaan.
Posting Komentar